Ikhtilaf (perbedaan pendapat) dalam hukum Islam adalah fenomena yang sangat kaya dan luas, yang melibatkan berbagai aspek pemahaman terhadap sumber-sumber hukum Islam, seperti al-Qur’an, hadits, ijma’, dan qiyas. Perbedaan ini tidak hanya terbatas pada masalah fiqh (hukum) saja, tetapi juga dapat meluas ke berbagai bidang dalam kehidupan beragama. Dalam kajian Islam, terdapat berbagai sebab yang mengarah pada perbedaan pendapat ini. Di bawah ini akan diuraikan beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya ikhtilaf, termasuk tafsiran ayat, riwayat hadis, nashih-manshukh, dan metodologi pengambilan kesimpulan hukum.
1. Berbeda Pengertian dalam Mengartikan Kata
Salah satu alasan utama munculnya perbedaan pendapat dalam hukum Islam adalah adanya perbedaan pengertian dalam mengartikan kata atau istilah dalam teks agama. Ayat al-Qur’an atau hadits terkadang menggunakan kata yang memiliki lebih dari satu makna atau arti. Kata-kata ini bisa bermakna literal (hakiki) maupun kiasan (majazi). Dalam hal ini, para ulama dapat berbeda dalam menafsirkan makna kata tersebut, yang berdampak pada perbedaan dalam kesimpulan hukum.
Contoh pentingnya masalah ini adalah perbedaan dalam penafsiran kata “‘illah” (sebab) dalam beberapa ayat al-Qur’an yang bisa diterjemahkan dengan beberapa cara, sehingga mempengaruhi pengambilan hukum terkait hal tersebut.
2. Perbedaan Penilaian Hadis
Hadis adalah salah satu sumber utama dalam fiqh Islam. Namun, perbedaan dalam menilai derajat keotentikan hadis (shahih, hasan, atau dha’if) sering kali menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada kalanya sebuah hadis dianggap shahih oleh satu kelompok ulama, tetapi dianggap dha’if atau lemah oleh kelompok lainnya. Hal ini terjadi karena perbedaan dalam menilai perawi hadis dan sanadnya. Misalnya, seorang perawi yang tidak terkenal atau memiliki cacat tertentu dalam riwayatnya dapat diterima oleh sebagian ulama dan ditolak oleh yang lain.
Selain itu, perbedaan juga bisa terjadi apabila hadis tersebut sampai pada sebagian sahabat, tetapi tidak sampai pada sahabat yang lain. Bahkan, meskipun hadis yang sama diterima oleh beberapa sahabat, cara mereka menginterpretasikan hadis tersebut bisa berbeda. Akhirnya, ini menyebabkan perbedaan dalam penerapan hukum terkait dengan hadis tersebut.
3. Nashih-Manshukh (Nasikh dan Mansukh)
Perbedaan yang lebih rumit sering kali muncul ketika ada ayat atau hadis yang dianggap “menghapus” (mansukh) ayat atau hadis sebelumnya. Dalam hal ini, ulama harus menentukan mana yang berlaku dan mana yang tidak berlaku lagi. Beberapa ulama berpendapat bahwa suatu ayat atau hadis tertentu telah dihapus oleh ayat atau hadis lain yang lebih baru, sementara yang lain mungkin berpendapat bahwa keduanya tetap berlaku dalam konteks yang berbeda.
Contoh klasik adalah tentang hukum pewarisan, di mana terdapat ayat yang seolah-olah menghapus hukum sebelumnya, tetapi banyak juga ulama yang berpendapat bahwa keduanya berlaku bergantung pada konteks dan situasi hukum.
4. Perbedaan Dalam Pengistimbathan Hukum
Pengistimbathan hukum, yaitu metode dalam mengeluarkan kesimpulan hukum dari sumber-sumber yang ada, adalah faktor penting yang mempengaruhi munculnya perbedaan pendapat. Ulama memiliki pendekatan yang berbeda dalam menggunakan sumber-sumber hukum yang disepakati, seperti al-Qur’an, hadis, ijma’, dan qiyas. Beberapa ulama menerima metode syar’u man qablana (hukum-hukum yang datang sebelum Islam) dan istihsan (pemilihan pendapat yang lebih baik berdasarkan pertimbangan maslahat), sementara yang lain menolaknya.
Misalnya, dalam hal penggunaan istihsan, sebagian ulama berpendapat bahwa istihsan dibenarkan ketika suatu kasus tidak dapat diselesaikan dengan qiyas, sementara yang lain berpendapat bahwa istihsan tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Ini menyebabkan perbedaan dalam penerapan hukum dalam kasus-kasus tertentu.
5. Perbedaan Dalam Dalil yang Bertentangan
Terkadang, terdapat dua dalil yang tampaknya saling bertentangan, misalnya, satu dalil menunjukkan suatu hukum secara umum (عام, ‘aam) dan dalil lainnya menunjukkan pengecualian atau ketentuan khusus (خاص, khaash). Dalam hal ini, para ulama akan berbeda dalam cara menginterpretasikan dalil tersebut, apakah yang berlaku adalah dalil yang lebih umum atau yang lebih khusus. Penentuan mana yang lebih kuat dan relevan dalam konteks tertentu akan menjadi faktor yang menentukan hasil dari pengambilan hukum tersebut.
Selain itu, terdapat juga masalah perbedaan dalam memahami dan mengaplikasikan prinsip-prinsip fiqh dalam masyarakat, yang dipengaruhi oleh budaya dan kebiasaan setempat. Misalnya, ketika Imam Syafi’i berpindah dari Iraq ke Mesir, beliau mengubah beberapa pandangannya karena perbedaan budaya setempat.
6. Pengaruh Kultur dan Budaya Setempat
Pengaruh budaya dan kebiasaan lokal sangat besar dalam pengambilan keputusan hukum. Tempat dan waktu di mana para fuqaha (ahli fiqh) hidup mempengaruhi cara mereka mengistimbathkan hukum. Imam Syafi’i adalah contoh klasik dalam hal ini. Ketika beliau berada di Iraq, beliau menulis qaulul qadim (pendapat lama), yang berbeda ketika beliau berpindah ke Mesir dan menulis qaulun jadid (pendapat baru), karena perbedaan kultur dan konteks sosial yang ada di tempat-tempat tersebut. Begitu juga dengan perbedaan antara dua ormas terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, yang meskipun sama-sama mengikuti aliran Ahlus Sunnah wal Jama’ah, tetap memiliki perbedaan metodologi dalam menetapkan hukum karena perbedaan konteks sosial, politik, dan budaya yang mempengaruhi mereka.
7. Khususnya Khilafiyah Antara NU dan Muhammadiyah
Di Indonesia, dua ormas besar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah, terkenal dengan perbedaan metodologi dalam pengambilan keputusan fiqh. NU cenderung lebih mengikuti pendekatan tradisional, termasuk menerima fatwa yang dikeluarkan oleh Bahtsul Masa’il (lembaga fatwa NU). Sebaliknya, Muhammadiyah memiliki lembaga fatwa yang disebut Majelis Tarjih, yang kadang mengeluarkan keputusan yang berbeda dalam beberapa hal.
Contoh perbedaan ini bisa ditemukan dalam masalah seperti pelaksanaan shalat tarawih, penentuan awal Ramadhan dan Idul Fitri, serta masalah qunut dalam shalat subuh. Pemahaman terhadap dasar-dasar pengambilan hukum dalam kedua ormas ini sangat membantu dalam memahami perbedaan yang ada dan memaklumi perbedaan pendapat fiqih di antara keduanya.
Sumber: M.Yusuf Amin Nugroho, Fiqih Ikhtilaf NU dan Muhammadiyah, h. 15-17