Sejarah Hukum Hak Cipta

Kalau kita lihat dalam berbagai literatur fiqih klasik, rasanya sulit bagi kita untuk menemukannya.

Barangkali karena ‘urf di masa lalu belum lagi mengenal kekayaan dalam bentuk itu.

1. Tidak Dikenal Dalam Literatur Fiqih Klasik

Saat itu para ulama dan ilmuwan berkarya dengan tujuan satu, yaitu mencari ridha Allah SWT semata tanpa embel-embel untuk mendapatkan harta kekayaan.

Di masa itu, semakin banyak orang mengambil manfaat atas karyanya, semakin berbahagia-lah dia, karena dia melihat karyanya itu berguna buat orang lain. Dan semua itu selain mendatangkan pahala buat pembuatnya, juga ada rasa kepuasan tersendiri dari segi psikologisnya.

Apa yang mereka lakukan atas karya-karya itu jauh dari motivasi materi atau uang. Sedangkan untuk penghasilan, para ulama dan ilmuwan bekerja memeras keringat. Ada yang jadi pedagang, petani, penjahit dan seterusnya. Mereka tidak menjadikan karya mereka sebagai tambang uang.

Karena itu kita tidak pernah mendengar bahwa AlImam Asy-Syafi’i, Al-Imam Malik, Al-Imam Ahmad bin Hanbal atau pun Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Muslim menuntut seseorang karena dianggap menjiplak hasil keringat mereka. Bila ada orang yang menyalin kitab shahihnya, maka beliau malah berbahagia.

2. Hak Cipta Lahir di Barat

Hak cipta atau copy right baru ramai dibicarakan orang setelah peradaban manusia memasuki era revolusi industri, wabil khusus ketika ditemukannya mesin cetak.

Meski ribuan jilid buku sudah ditulis ribuan tahun sebelumnya, namun di masa lalu buku-buku itu disalin secara manual oleh banyak orang, namun kita tidak pernah menemukan tuntutan dari penulis buku kepada para penyalin dan pembacanya.

Sekedar diketahui, bahwa sebelum era penemuan mesin cetak, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya. Karena itu jual-beli salinan buku di masa itu tidak termasuk bisnis yang menggiurkan.

Dahulu di negeri muslim dikenal ada profesi yang disebut warraq. Warraq (وراق) merupakan  kata dalam bahasa Arab yang artinya stasioner atau pembuat kertas, termasuk penulis, penerbit, printer,  pencatat dan ‘mesin’ manual untuk memperbanyak buku.

Hanya saja produksinya sangat terbatas, karena semua cuma ditulis dengan tangan, tidak bisa digandakan dalam jumlah besar dan memerlukan waktu yang amat lama.

Pada tahun 1440 Johannes Gutenberg dari kota Mainz, Jerman menciptakan mesin cetak generasi pertama. Mesin ini kemudian terus disempurnakan, sehingga dapat dapat memproduksi buku secara massal dan dalam waktu singkat.