Menu Tutup

Sejarah Peradaban Islam Masa Ali bin Abi Thalib

Riwayat Singkat Ali bin Abi Thalib

Nama lengkapnya adalah Ali bin Abi Thalib bin Abd al-Muththalib bin Hasyim bin Abd al-Manaf bin Luay bin Kilab bin Qushai. Dia dilahirkan di Makkah sepuluh tahun sebelum kerasulan Nabi Muhammad s.a.w. Ibunya bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abd al-Manaf.

Abu Thalib dikenal mempunyai banyak anak. Ketika Makkah dilanda paceklik, Rasulullah mengajak pamannya Abbas untuk bersama-sama meringankan beban Abu Thalib dengan mengasuh sebagian di antara anaknya. Mereka berdua mendatangi Abu Thalib untuk menawarkan bantuan kepadanya, tawaran tersebut diterima Abu Thalib. Abbas mengambil Ja’far dan Rasulullah mengambil Ali.[1]

Ali adalah orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak, pada saat itu umurnya belum genap berusia tiga belas tahun. Ali adalah orang yang tidur di tempat Nabi, waktu malam beliau hijrah dari Makkah ke Yatsrib dan menyusul Nabi ke Yatsrib setelah menunaikan segala amanah yang dipercayakan Nabi kepadanya.

Ali dinikahkan Nabi dengan puterinya Fathimah binti Muhammad s.a.w. pada tahun ketiga hijrah, saat itu usia Ali dua puluh enam tahun. Dari hasil pernikahan itu, mereka dikurnia Allah s.w.t. dua orang patera, yaitu Hasan dan Husein. Ali bersama Rasulullah turut dalam semua perang yang diikuti Nabi, kecuali hanya perang Tabuk yang tidak dapat diikuti Ali, karena saat itu dia dipercayakan Nabi menggantikan beliau di Madinah.[2]

Ali terkenal ahli menunggang kuda dan sebagai seorang pemberani. Abu Bakar dan Umar telah menjadikan Ali sebagai anggota musyawarah dalam berbagai urusan penting, mengingat Ali adalah seorang faqih dalam agama, di samping sebagai orang yang cerdas.

Diangkat Menjadi Khalifah

Kaum pemberontak menguasai Madinah dan orangorang Bani Umayyah banyak yang meninggalkan ibu kota itu, di antaranya Marwan bin Al-Hakam yang berhasil menyelundupkan baju Utsman yang berlumuran darah ke Makkah.

Kaum pemberontak mendesak Ali supaya bersedia diangkat menjadi khalifah, tetapi ditolaknya, dan dia menegaskan bahwa masalah itu bukanlah urusan mereka, tetapi urusan para pejuang perang Badr. Mana Thalhah, Zubeir, dan mana Sa’ad, tanya Ali kepada mereka. Karena ditolak Ali, mereka kemudian meminta kesediaan Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin Auf. Tetapi masingmasing dari mereka juga menolak.

Kaum pemberontak kembali mendesak Ali supaya bersedia diangkat menjadi khalifah. Ali akhirnya menerima jabatan itu dengan ketentuan dia diberi kesempatan memerintah sesuai dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul. Ia memangku jabatan khalifah itu mulai 24 Juni 656 M. atau tahun 35 H. dalam usia 58 tahun.

Tidak seorang pun di antara sahabat terkemuka yang sanggup menerima jabatan khalifah dalam menghadapi suasana pancaroba seperti itu. tetapi juga mereka tidak mau memberikan bai’at kepada Ali seperti sa’ad bin Abi Waqqash,

Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, dan Abu Sa’id al-Khudri.[3]

Dari fakta di atas membuktikan bahwa Ali tidak mendapat pengakuan dari beberapa sahabat penting di Madinah, ditambah lagi dari penduduk wilayah Syam. Maka tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa pemerintahan Ali inilah yang paling tidak stabil. Dia dihadapkan pada konflik berkepanjangan dari awal sampai akhir pemerintahan beliau. Konflik dengan Aisyah, Muawiyah, dan dengan bekas anak buahnya Khawarij.

Menurut al-Khudri Bek, yang menjadi penyebab utama tidak stabilnya keadaan di masa pemerintahan Ali karena Ali terlalu percaya diri dan memandang hanya pendapatnya saja yang benar. Hampir tidak ada (jarang) dia bermusyawarah dengan orang-orang besar Quraisy dalam urusan penting sekalipun. Malahan ia terlalu keras terhadap orang-orang besar Quraisy itu.

Selanjutnya maha guru itu berkata membandingkan Umar yang keras dengan Ali yang juga keras “Umar dahulu keras, tetapi dia didukung rakyat, Ali bertindak keras tetapi rakyat menentangnya”, karena Umar selalu bermusyawarah sedang Ali tidak.[4]

Pernah Thalhah dan zubeir mencela sikap Ali yang seperti itu, dan Ali menjawab “Apakah yang tidak saya ketahui sehingga saya harus bermusyawarah”?[5]

Berdasarkan fakta di atas, nampaknya Ali ditinggal para pembesar Quraisy bahkan pengikut setianya sekalipun memisahkan diri dari dia, kemudian menjadi kelompok Khawarij. Dia berperang dengan Aisyah, isteri Nabi yang didukung Thalhah dan Zubeir, kemudian dengan Muawiyah, gubernur Syam.

Kebijaksanaan Ali

Setelah Ali diangkat menjadi khalifah, dia mengambil dua kebijaksanaan. Pertama, memecat gubernur yang diangkat Utsman termasuk Muawiyah yang sudah menjadi gubernur Syam semenjak khalifah Umar. Kedua, mengambil kembali tanah-tanah negara yang sudah diperjual-belikan kroni-kroni khalifah Utsman.[6]

Banyak pendukung dan penasehat Ali serta kaum kerabatnya, menasehatinya agar tidak melakukan perubahan dulu atau menangguhkan tindakan radikal seperti itu sampai keadaan stabil. Akan tetapi Ali tidak mengindahkan nasehat itu. Mereka merasa tidak diindahkan Ali, akibatnya Mughirah bin Syu’bah dan Abdullah bin Abbas meninggalkan Ali. Dan yang konyol, semua kepala daerah yang diangkat Ali terpaksa kembali lagi ke Madinah karena tidak dapat memasuki daerah yang ditugaskan kepadanya.

Dari fakta sejarah di atas, diketahui bukan berarti para penasehat Ali itu setuju kepada gubernur yang diangkat Utsman. Mereka pun tidak akan membiarkan pejabat-pejabat yang berbuat aniaya di masa Utsman bekerja terus, tetapi menunggu waktu stabil, kemudian baru dipecat. Akibat tindakan Ali itu, dia kehilangan dukungan dari sahabat-sahabat karibnya. Jika pemuka-pemuka Quraisy seperti Abdullah bin Abbas tidak lagi mendukung Ali, apalagi Muawiyah tentu memusuhinya lagi.

Konflik Dengan Aisyah (Perang Jamal)

Saat rumah Utsman dikepung oleh pemberontak, Aisyah meninggalkan Madinah menuju Makkah. Setelah Utsman terbunuh, dia kembali lagi ke Madinah. Setelah dia ketahui bahwa Ali telah dibai’at menjadi khalifah, dia marah dan berkata: “Demi Allah! Sekali-kali ini tidak boleh terjadi, Utsman telah dibunuh secara aniaya, saya akan menuntut balas atas kematian Utsman”.

Jika Ali konflik dengan pembesar Quraisy karena dia hampir tidak pernah mengajak mereka bermusyawarah atau tidak mengindahkan nasehat mereka. Dengan Aisyah lain lagi halnya. Paling tidak ada dua faktor. Pertama, dulu waktu terjadi peristiwa Hadits Ifqi, Ali memberatkan Aisyah.

Kedua, dulu Ali lama memberi bai’atnya kepada Abu Bakar, ayah Aisyah. Jadi menuntut bela atas kematian Utsman apakah didorong oleh kepiluan hatinya atas kematian Utsman atau faktor di atas. Hal ini menjadi sebuah teka-teki.

Aisyah kembali ke Makkah, sementara Thalhah dan Zubeir yang telah mendapat izin dari Ali meninggalkan Madinah untuk melakukan umrah berangkat pula ke Makkah dan bergabung dengan Aisyah menentang Ali.[7]

Di Makkah juga telah berkumpul tokoh-tokoh pemerintah di masa Utsman, seperti Marwan bin Al-Hakam (menantu dan sekretaris Utsman), Abdullah bin Amir, gubernur Basrah yang dipecat Ali. Kini mereka semua bergabung dengan Aisyah.

Aisyah menentang Ali karena dia menginginkan anak saudaranya Abdullah bin Zubeir (putera Zubeir yang sedang bergabung dengannya) diangkat menjadi khalifah. Dan Abdullah bin Zubeirlah yang mendorong Aisyah melanjutkan perjalanan, karena dia pun berambisi menjadi khalifah. Tidak salah kiranya kalau dikatakan Aisyah diperalat oleh Abdullah bin Zubeir untuk mencapai tujuan pribadinya.[8]

Untuk membuktikan betapa besar ambisi Abdullah bin Zubeir menjadi khalifah dan mendorongnya melakukan peperangan, dapat dilihat meskipun dia gagal memperolehnya setelah perang Jamal, tetap diperjuangkannya setelah Husein wafat pada masa pemerintahan Yazid bin Muawiyah, dia mengumumkan dirinya sebagai khalifah. Sementara Aisyah, walaupun dia menginginkan anak saudara sekaligus anak angkatnya itu menjadi khalifah dan menuntut bela atas kematian Utsman, tidak menginginkan diselesaikan melalui perang.

Akan tetapi dorongan Abdullah bin Zubeir lebih kuat dari segala-galanya, sehingga Aisyah kehilangan segala daya untuk menolak. Dia dinaikkan ke atas Unta dan berangkat dengan iring-iringan menuju Basrah. Keberangkatan Aisyah ditangisi ribuan orang, akan tetapi tangisan itu tidak bisa mencegahnya untuk berangkat.[9]

Di Basrah, Aisyah didukung 20.000 orang karena Abdullah bin Amr yang kini bergabung dengan Aisyah, bekas gubernur Basrah yang pecat Ali. Sementara Ali berangkat ke Kufah didukung oleh para pemberontak yang telah membunuh Utsman. Di Kufah, Ali dapat mengumpulkan pasukan sebanyak 10.000 orang.

Di suatu tempat bernama Huzaibah, kedua pasukan itu berhadap-hadapan. Ali berusaha menyelesaikan konflik itu secara damai. Ia menasehati supaya Aisyah dan para pengikutpengikutnya mengurungkan niat mereka berperang. Nasehat Ali termakan oleh mereka. Kemudian diadakan perundingan, jika saja perundingan itu berhasil maka kaum muslimin akan terhindar dari bahaya perang.

Namun di pihak Ali terdapat orang-orang munafik, pengikut Abdullah bin Saba’. Mereka tidak ingin kedua golongan ini berdamai. Tanpa sepengetahuan Ali, pengikutpengikut Abdullah bin Saba’ ini memancing perkelahian dan dibalas oleh pengikut-pengikut Aisyah. Maka terjadilah pertempuran antara dua golongan kaum muslimin itu.

Perang ini disebut perang Unta, karena Aisyah menunggang Unta, suatu peperangan yang pertama kali terjadi antara sesama kaum  muslimin. Dan telah memakan korban lebih kurang 10.000 (sepuluh ribu) orang kaum muslimin, termasuk Thalhah dan Zubeir.

Setelah Unta yang ditumpangi Aisyah dapat dibunuh, peperangan berhenti dengan kemenangan di pihak Ali. Tetapi Aisyah dihormati Ali, dan dipulangkannya ke Makkah dengan penuh kehormatan yang didampingi oleh saudara kandungnya Muhammad bin Abu Bakar yang ikut berperang di pihak Ali.

Menurut Ahmad Syalabi dan sebagian ahli sejarah, perang Jamal bukanlah perang membela kebenaran, tatepi karena keinginan dan nafsu dari Abdullah bin Zubeir, Thalhah, Zubeir dan kebencian Aisyah kepada Ali. Dapat diketahui bahwa kedua orang ini sudah lama tidak berbaikan. Kebencian Aisyah disulut Abdullah bin Zubeir menghidupkan api peperangan agar keinginannya menduduki kursi khalifah dapat tercapai. Maka yang memikul tanggung jawab perang Jamal adalah mereka ini. Kemudian ditambah Ali yang tidak mampu menguasai pasukannya. Kalau dia menguasai mereka, pasti peperangan tidak akan terjadi.

Konflik Dengan Muawiyah (Perang Shiffin)

Konflik Ali yang paling lama, bahkan membawa kepada kematiannya adalah dengan Muawiyah. Ketika Ali diangkat menjadi khalifah, Muawiyah sudah menjadi gubernur Syam selama 22 tahun. Bukan saja semenjak khalifah Utsman tetapi sudah semenjak khalifah Umar.

Riwayat singkat Muawiyah dapat dikatakan bahwa dia sebagai keturunan Bani Umayah masih satu keturunan dengan Utsman bin Affan. Sehingga yang paling patut menuntut bela atas kematian Utsman adalah dia, bukan Aisyah. Dia bersama ayahnya Abu Sofyan dulu adalah penentang utama Nabi. Ibunya Hindun memakan hati Hamzah, paman Nabi waktu perang Uhud. Saudaranya Ummi Habibah menjadi isteri Nabi setelah dikejar-kejar ayahnya dari Makkah karena masuk Islam.

Dalam usia 23 tahun, dia bersama ayahnya masuk Islam waktu penakhlukkan kota Makkah, tahun 8 H. Setelah itu Nabi mengangkat dia menjadi salah seorang penulis wahyu bersama Zaid bin Tsabit.

Muawiyah dan penduduk Syam menuduh Ali ikut terlibat dalam peristiwa pembunuhan Utsman. Mereka meminta pertanggung jawaban Ali terhadap peristiwa itu atau setidak-tidaknya mengajukan ke pengadilan orang-orang yang ikut membunuh Utsman.[10]

Karena Ali tidak dapat memenuhi permintaan yang ajukan, maka mereka menolak membaiat Ali, juga mereka menolak memberikan jabatan khalifah kepada Ali, karena hal itu menurut mereka berarti menyerahkan jabatan itu kepada Bani Hasyim untuk selamanya.

Mereka berpihak kepada Muawiyah karena kehidupan mereka bertambah baik dan semakin makmur di bawah pemerintahannya. Tentu saja mereka ingin makmur selamanya di bawah kekuasaan Muawiyah.

Ali memandang Muawiyah sebagai seorang pembangkang (Bughah) yang harus diperangi. Oleh karena itu, dia bersama 50.000 orang tentaranya berangkat menuju utara dan di suatu tempat bernama Shiffin, di sebelah barat sungai Eufrat, dia bertemu dengan pasukan Muawiyah sebanyak 80.000 orang.

Untuk kedua kalinya Ali tetap berkeinginan untuk tidak berperang. Oleh karena itu dia mengutus delegasi menemui Muawiyah meminta supaya Muawiyah membai’atnya sebagai khalifah. Tetapi Muawiyah tidak mengindahkannya. Oleh sebab itu, tidak ada alternatif lain bagi Ali kecuali memerangi Muawiyah.

Maka perangpun terjadi dalam beberapa hari. Ali berhasil membangkitkan semangat pasukannya sehingga kemenangan sudah hampir dicapainya. Muawiyah yang cemas melihat situasi itu memanggil Amr bin Ash untuk melakukan siasat. Kemudian Amr memerintahkan kepada anggota pasukannya yang membawa Mushaf (Kitab AlQur’an) supaya diangkat dengan tombak ke atas. Sambil berseru mereka mengangkat Mushaf “Inilah Kitabullah yang menjadi hukum antara kita”.[11]

Sebagian pasukan Ali yang melihat hal itu memintanya menghentikan perang, tetapi ditolak Ali sambil menegaskan bahwa “Itu tipu muslihat Muawiyah karena dia sudah mengenal Muawiyah dan Amr sejak kecil”. Katanya mereka itu tidak dapat dipercaya. Seruan Ali agar meneruskan peperangan tidak mendapat sambutan dari mereka, malahan mereka memaksa Ali agar menghentikan perang.

Ali terpaksa mengalah dan mengumumkan peperangan dihentikan. Dan perselisihan itu diselesaikan melalui arbitrase. Perang itu menelan korban sebanyak 70.000 orang.

Dari fakta sejarah di atas dapat diketahui bahwa untuk kedua kalinya Ali tidak dapat mengusai pasukannya. Hal ini membuktikan bahwa orang yang dibelakangnya tidak semuanya murni memperjuangkannya sebagai khalifah. Tetapi ada diantara mereka yang mengaku pengikut Ali, namun mereka berkhianat kepadanya. Ini termasuk kelemahan Ali.

Munculnya Kaum Khawarij

Dalam perjalanan pulang ke Kufah, anggota pasukan kelompok Ali yang tadinya mengancam Ali supaya menghentikan perang dan menerima tahkim berubah pendirian. Kini mereka berpendapat bahwa menerima tahkim adalah salah karena hak mengadili hanya ada di tangan Allah s.w.t. (Semboyan mereka “La Hukma Illa Lillah”). Atas dasar itu mereka mengusulkan agar persetujuan mengadakan tahkim dibatalkan dan usul tersebutditolak Ali, sehingga dia konflik dengan kaum Khawarij.

Ketika diingatkan bahwa merekalah yang memaksa Ali menerima tahkim, mereka menjawab “Kami telah keliru, tetapi mengapa anda mengikuti kekeliruan kami. Sebagai seorang khalifah anda mestinya mempunyai pandangan jauh ke depan dan pikiran yang mendalam”. Mereka tidak menyertai Ali ke

Kufah tetapi menuju ke suatu tempat bernama “Harura” yang lebih dikenal dengan sebutan Khawarij, yaitu mereka yang keluar dari barisan Ali.

Peristiwa Tahkim

Masing-masing pihak disetujui mengutus seorang perunding (hakam). Keputusan mereka mengikat kedua belah pihak. Dari pihak Ali diutus Abu Musa Al-Asy’ari, bekas gubernur Kufah yang pernah dipecatnya. Dari pihak Muawiyah, Amr bin Ash, penakhluk dan bekas gubernur Mesir yang dulu dipecat khalifah Utsman.

Tahkim atau perundingan diselenggarakan pada bulan Ramadhan 37 H / Januari 659 M, di suatu tempat bernama Dumat Al-Jandal, terletak antara Madinah – Damaskus. Agenda perundingan ialah: pertama, Utsman terbunuh secara zalim, kedua, siapa yang tepat untuk menjadi khalifah.

Mengenai agenda pertama, Amr berhasil meyakinkan Abu Musa bahwa Utsman terbunuh secara zalim. Oleh karena itu Muawiyah adalah orang yang paling pantas menuntut bela atas kematian Utsman.

Mengenai agenda kedua, ide yang dikemukakan Abu Musa ialah menghentikan pemerintahan Ali dan Muawiyah dari jabatan masing-masing dan kemudian diserahkan kepada kaum muslimin untuk mencari penggantinya. Usul itu disetujui oleh Amr.

Untuk menyampaikan hasil perundingan di atas ke khalayak ramai, Abu Musa tampil lebih dulu menyampaikan apa adanya. Sementara Amr yang tampil kemudian menyatakan bahwa dia telah menurunkan Ali dari jabatannya sebagai khalifah dan menetapkan Muawiyah sebagai penggantinya.

Dari fakta sejarah di atas, diketahui bahwa dari pihak

Muawiyah tidak ada maksud menyelesaikan perselisihan mereka dengan Ali melalui Tahkim itu. Tahkim bagi mereka hanya sekedar menghindar dari kekalahan waktu perang Shiffin. Termasuk menuntut bela atas kematian Utsman pun hanya kedok belaka. Sebenarnya Muawiyah ingin menjadi khalifah.

Ali Terbunuh

Peristiwa tahkim telah menimbulkan perpecahan di kalangan tentara Ali karena mereka tidak menerima hasil tahkim. Selain itu Ali pun tidak menerima hasil tahkim karena kedua hakam telah menyimpang dari Kitabullah dan Sunnah Rasul. Oleh karena itu Ali tetap merasa dirinya sebagai khalifah dan Muawiyah sebagai pembangkang.

Dengan sisa kekuatan yang ada, Ali bertekad memerangi Muawiyah sekali lagi. Untuk itu ia berhasil menggugah hati 65.000 orang berperang. Dalam perjalanan menuju Syam, ada berita dari Nahrawan bahwa orangorang Khawarij melakukan berbagai tindak kekerasan, yaitu penyiksaan dan pembunuhan. Ali terpaksa membatalkan perjalanan ke Syam dan dialihkan menuju Nahrawan. Di sini Ali kembali ditinggalkan sebagian besar tentaranya.

Tentara Ali yang masih tinggal, mengusulkan agar kembali dulu ke Kufah untuk menyiapkan persenjataan yang lebih baik. Ali menerima usul itu. akan tetapi upaya Ali mengumpulkan mereka kembali tidak mereka indahkan.

Keengganan mereka berperang bersama Ali karena beberapa sebab, antara lain. Ali hanya menghalalkan darah musuh, tetapi tidak boleh mengambil harta rampasan dari mereka. Kemungkinan lain, karena Ali tidak bisa memberikan finansial yang cukup bagi mereka. Suatu hal yang menjadi kelemahan Ali. Menurut riwayat, banyak prjurit Ali yang menderita akibat peperangan, namun Ali tidak dapat turun tangan untuk meringankan beban hidup mereka.[12]

Secara militer, posisi Ali sudah lemah. Kesempatan itu digunakan Muawiyah merebut Mesir dan mengangkat Amr bin Ash menjadi gubernur di situ. Jabatan yang dulu pernah dipangkunya di masa Umar bin Khaththab. Sesudah itu, Muawiyah pun merebut Madinah dan Yaman, tetapi penduduk Makkah menolak mengakui Muawiyah.

Sementara itu kaum Khawarij berpendapat bahwa biang keladi perpecahan umat Islam adalah Ali, Muawiyah dan Amr bin al-Ash. Oleh sebab itu mereka sepakat membunuh ketiga tokoh itu pada waktu yang sama.

Abdurrahman bin Muljan berhasil menikam Ali dalam shalat subuh di mesjid Kufah. Barak bin Abdillah al-Tamimi berhasil menikam Muawiyah tetapi hanya terluka dan tidak membahayakannya. ‘Amr bin Bakr alTamimi tidak berhasil menikam ‘Amr karena sakit tidak keluar  pada waktu subuh itu. Orang yang terbunuh adalah yang menggantikannya sebagai imam shalat.112

Peristiwa itu terjadi pada bulan Ramadhan 40 H (Januari 661 M). Dalam beberapa hari setelah penikaman itu, Ali meninggal dunia dalam usia enam puluh tiga tahun, setelah memerintah selama lima tahun. Dengan wafatnya khalifah keempat itu berakhirlah pemerintahan al-Khulafa’ al-Rasyidun.

[1] Hasan Ibrahim Hasan, h. 505.

[2] Ibid., h. 506.

[3] M. Jamaluddin Surur, Al-Hayah al-Siyasyah fi al-Daulah al-Arabiyah alIslamiyah (Kairo: Dar al-Fikr al-‘Araby,1975), h. 68.

[4] Ahmad Syalabi, op.cit., h. 308-309.

[5] Ibid., h. 310.

[6] Ibid., h. 284.

[7] Ibid., h. 287.

[8] Ibn Katsir, Al-Kamil fi al-Tarikh, J. 3 (Bairut: Da’r al-Sadar, 1965),  h. 195.

[9] Ahmad Syalabi, op.cit., h. 290.

[10] Siti Maryam, dkk., Sejarah Peradaban Islam Dari Masa Klasik Hingga Modern, c. 3  (Yogyakarta: LESFI, 2009), h.56.

[11] Ahmad Syalabi, op.cit, h. 301.

[12] Ibid., h. 214.

Sumber:  Nasution, Syamruddin. “Sejarah Perkembangan Peradaban Islam.” (2017).

Baca Juga: