Menu Tutup

Sikap Para Ulama Ketika Zahir Al-Qur’an Berhadapan dengan Sunah

Menurut Imam Abu Zahrah, perbedaan pendapat para ulama juga terjadi karena adanya dilalah yang penjelasannya berkaitan erat dengan nash sunah, seperti sunah yang men-takhshish keumuman dilalah  Al-Qur’an. Dalam hal ini, para ulama berbeda pandangan. Imam Asy-Syafi’I, Ahmad Ibnu Hambal, dan ulama lainnya berpendapat bahwa pemahaman Al-Qur’an itu mesti disesuaikan dengan keterangan yang ada dalam Sunah, karena sunah berfungsi sebagai penjelas dan penafsir Al-Qur’an, dan juga sebagai takhsis terhadap ayat-ayat yang mujmal (umum), sehingga artinya menjadi jelas. Contohnya sangat banyak, dan para ualam pun bila tidak menemukan penafsirannya dari Sunah.

Dengan demikian, semua lafazh ‘amm yang ada dalam Al-Qur’an jika sudah ada keterangan dalam hadis, meskipun menyalahi zahir ayat tersebut, harus di-takhsish dengan sunah

Adapun Abu Hanifah dan beberapa ualama lain berpendapat bahwa lafazh umum yang ada dalam Al-Qur’an itu dijalankan sesuai dengan kebutuhan terhadap keumumannya. Jika ada sunah yang mutawatir atau yang masyhur, sunah tersebut yang bisa men-takhshish-nya. Namun jika sunahnya tidak mutawatir, Al-Qur’an dipahami berdasarkan keumumannya karena Al-Qur’an itu qath’I ke mutawatir-annya. Menurutnya, hadis ahad  tidak bisa dipakai men-takhsis Al-Qur’an karena tidak sahih untuk dinisbatkan kepada Nabi.

Dengan demikian dapat dipahami bahwa pendapat para ulama mengenai takhshish sunah terhadap Al-Qur’an terbagi dua:

  1. As-Sunah sebagai hakim terhadap Al-Qur’an, yakni As-Sunah sebagai tafsir dan penjelas maksud-maksud ayat yang ada dalam Al-Qur’an. As-Sunah dianggap sebagai kunci untuk memahami Al-Qur’an yang tidak mungkin dilepaskan dalam memahami Al-Qur’an.
  2. Al-Qur’an sebagai hakim bagi sunah, yakni sunah tidak dianggap sahih jika bertetangan dengan Al-Qur’an, termasuk didalamnya khabar Ahad.

Perbedaan pendapat mengenai pemahaman terhadap dilalah Al-Qur’an, juga terjadi golongan Sunni dan Syi’i. kaum Sunni memahami dilalah Al-Qur’an melalui sunah. Jika tidak ditemukan dalam sunah, mereka memahaminya melalui ilmu bahasa Arab dan ilmu syari’at dengan mengambil muqashid dan tujuan disyariatkannya ayat tersebut.

Sedangkan golongan Syi’i (Imamiyah) berpendapat bahwa tidak seorang pun yang mampu memahami Al-Qur’an selain Imam mereka yang dua belas. Mereka beranggapan bahwa Imam yang dua belas tersebut sebagai kunci dalam memahami Al-Qur’an, sedangkan selain mereka tidak ada yang mampu mencapainya. Selain itu, mereka juga dianggap ma’shum, terhindar dari kesalahan. (Abu Zahrah, II : 59-60).