Menu Tutup

Tafsir bi al-Ma’tsur : Pengertian, Macam dan Bentuknya, Pandangan Ulama, Perkembangan dan Ahlinya

Pengertian Tafsir bi al-Ma’tsur

Menurut ‘Ibn Hayyan ialah tafsir suatu ilmu yang membahas cara menuturkan/membunyikan lafadz-lafadz al-Qur’an, Madlul-Madlulnya baik mengenai kata tunggal maupun mengenai kata tarkib dan makna-maknanya yang digantungkan oleh keadaan susunan dan beberapa kesempurnaan bagi yang demikian seperti, Nasakh, Asbab al-Nuzul, kisah yang mengatakan apa yang tidak terang di dalam al-Qur’an dan lain-lain yang mempunyai hubungan erat dengannya.

Sedangkan ‘Ali Hasan al-‘Aridl menjelaskan bahwa tafsir  ialah ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an, makna-makna yang ditunjukkannya dan hukum-hukumnya, baik ketika berdiri sendiri atau tersusun serta makna-makna yang dimungkinkan ketika dalam keadaan tersusun.

Menurut al-Zarkasyi, istilah tafsir bi al-ma’tsur merupakan gabungan dari tiga kata yaitu itafsirbi dan al-ma’tsur. Secara leksikal tafsir berarti mengungkap atau menyingkap. Kata bi berarti ‘dengan’ sedangkan al-ma’tsur berarti ungkapan yang dinukil oleh khalaf dari salaf. Dengan demikian secara etimologis tafsir bi al-ma’tsur berarti menyingkap isi kandungan al-Qur’an dengan penjelasan yang dinukil oleh khalaf dari salaf.

Sedangkan secara terminologis pengertian tafsir bi al-ma’tsur yaitu:

Artinya :“Tafsir bi al-Ma’tsur ialah tafsir yang berpegang kepada riwayat yang Shahih, yaitu menafsirkan al-Qur’an dengan al -Qur’an, atau dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan kitabullah, atau dengan perkataan para Sahabat  karena merekalah yang paling mengetahui kitabullah atau dengan apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’yn karena pada umumnya mereka menerima dari para Sahabat”.

Definisi seperti ini, menurut catatan al-Suyuthi berasal dari Ibnu Taimiyah, dan dipopulerkan oleh al-Zarqani yang nota bene termasuk ulama’ kontemporer. Al-Zarqani adalah orang yang pertama menyebutkan bahwa tafsir bi al-ma’tsur adalah penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an, atau hadits atau pendapat shahabat atau tabi’in. Sedangkan sebelum al-Zarqani, yang dimaksud tafsir bi al-ma’tsur adalah kompilasi penafsiran nabi, sahabat dan tabi’in. Ulama’ yang memahami bahwa tafsir bi al-ma’tsur bukan penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an atau hadits atau pendapat sahabat atau tabi’in adalah al-Suyuthi. Dalam muqaddimah tafsirnya, al-Suyuthi mengatakan bahwa isi dari kitab tafsirnya adalah kompilasi penafsiran-penafsiran Nabi SAW dan para sahabat.[1]

Macam dan Bentuk Tafsir bi al-Ma’tsur

Tafsir bi al-Ma’tsur merupakan penafsiran dengan menggunakan riwayat sebagai sumber pokoknya. Karena itu, tafsir ini dinamakan juga dengan tafsir bi al-riwayah (tafsir dengan riwayat) atau tafsir bi al-manqal (tafsir dengan menggunakan pengutipan riwayat). Penafsiran corak ini dapat dibagi menjadi empat macam dan bentuknya yaitu:

  1. Penafsiran ayat al-Qur’an dengan ayat yang lain. Ayat-ayat al-Qur’an, menurut para ahli tafsir, saling menafsirkan antara sesamanya. Penafsiran satu ayat dengan ayat lainnya juga bermacam-macam, yaitu:

Pertama, ayat atau ayat-ayat lain menyebarkan apa yang diungkapkan pada ayat tertentu. Misalnya, kata-kata al-Muttaqin (orang-orang yang bertaqwa) dalam ayat 2 surat al-Baqarah, dijabarkan ayat-ayat sesudahnya (ayat-ayat 3, 4, 5) yang menyatakan :

Artinya : “Yaitu orang-orang yang beriman kepada yang gaib, mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezeki yang kami berikan kepada mereka, dan mereka yang beriman kepada kitab (al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelumnya, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhannya, dan mereka orang-orang yang beruntung”. (Q.S. al- Baqarah : 3, 4, 5).

Kedua, ada informasi tertentu, misalnya tentang kisah Nabi Musa pada surah tertentu diungkapkan secara singkat, sementara pada surah lain secara panjang lebar. Dalam hal ini ayat-ayat yang panjang lebar menafsirkan ayat-ayat yang mengandung informasi yang lebih singkat.

Ketiga, ayat-ayat yang mujmal ditafsirkan oleh ayat-ayat yang mubayyan, ayat-ayat yang muthlaq ditafsirkan oleh ayat-ayat yang khas. Ringkasnya, ayat-ayat yang mengandung pengertian umum dan global ditafsirkan oleh ayat-ayat yang mengandung pengertian khusus dan rinci.

Keempat, informasi yang terkandung dalam satu ayat kadang-kadang terlihat berbeda dengan informasi yang terdapat pada ayat-ayat lain. Penafsiran ayat-ayat itu dilakukan dengan mengkompromikan pengertian-pengertian tersebut.

  1. Penafsiran ayat al-Qur’an dengan hadits Nabi Saw. Firman Allah dalam soal ‘amar ma’ruf  nahi munkar :

Artinya : “Dan hendaklah kamu suatu golongan yang menyeru kepada kebaikan dan menyuruh ma’ruf mencegah kemunkaran dan itulah mereka yang mendapat kemenangan”. (QS. Ali Imran: 104).

Sabda Nabi dalam soal tersebut sebagai berikut:

Artinya : “Hendaklah kamu menyuruh ma’ruf dan hendaklah kamu mencegah kemunkaran dan biarlah Tuhan mengeraskan atas kamu orang-orang yang jahat dari kamu, lalu berdoalah kamu orang-orang yang baik dari kamu tetapi tidak diperkenankan doanya”.

  1. Penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapat para Sahabat.

Ayat al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 158 yang berbunyi sebagai berikut:

Artinya : “Sesungguhnya Shafa dan Marwa adalah di antara syiar-syiar Allah. Maka barang siapa yang beribadah haji ke BaitullAh dan berumrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. Dan barang siapa yang mengerjakan suatu kebaikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri Kebaikan lagi Maha Mengetahui.” (Q.S. al- Baqarah : 158)

Mengenai ayat ini seorang kemenakan `Aisyah menanyakan kepadanya, maka `Aisyah ra. menjelaskan bahwa peniadaan dosa di sini dimaksudkan untuk penolakan terhadap keyakinan kaum muslimin bahwa sa’i di antara Shafa dan Marwa termasuk perbuatan jahiliyah. Sebagaimana hadis yang berbunyi sebagai berikut:

Artinya : “Mulailah dengan apa yang dimulai oleh Allah yakni Shafa.” (H.R.Muslim)

  1. Penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapat Tabi’in. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 26 sebagai berikut :

Artinya: “Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan nyamuk atau yang lebih rendah dari itu.” (Q.S al- Baqarah : 26).

Menurut Hasan ‘Ibn Yahya, mengapa Allah menyebut nyamuk atau yang sebangsanya yaitu lalat dan laba-laba, kemudian orang musyrik berkata, mengapa Allah Swt menyebut sebangsa lalat dan laba-laba, menurut ‘Ibn `Abbas ini adalah merupakan tanda-tanda kekuasaan Allah SWT.[2]

Penafsiran ayat al-Qur’an dengan pendapatnya para Tabi’in setelah generasi para Sahabat, mereka adalah orang yang mengetahui kandungan al-Qur’an karena generasi Tabi’in bergaul dengan para Sahabat, pendapat mereka dipandang sangat membantu generasi selanjutnya dalam memahami al-Qur’an. Perkembangan metode penafsiran ini dapat dibagi dua periode, yaitu periode lisan, ketika penafsiran dari Nabi Saw dan para Sahabat disebarluaskan secara periwayatan, dan periode tulisan, ketika riwayat-riwayat yang sebelumnya tersebar secara lisan mulai dibukukan.

Bermacam-macam metodologi tafsir dan coraknya telah diperkenalkan dan diterapkan oleh pakar-pakars al-Qur’an, kalau kita mengamati metode penafsiran Sahabat  Nabi Saw mereka merujuk kepada penggunaan bahasa dan syair-syair `Arab, cukup banyak contoh yang dapat dikemukakan tentang hal ini, misalnya `Umar bin Khattab pernah bertanya tentang arti takhwwuf dalam firman Allah :

Artinya : “Atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa). Maka sesungguhnya Tuhanmu adalah Maha Pengasih lagi Maha penyayang.” ( Q.S. An- Nahl: 47).

Setelah masa Sahabatpun, para Tabi’in dan atba’ at-Tabi’in masih mengandalkan metode periwayatan dan kebahasaan seperti sebelumnya. Menurut Quraish Shihab, mengandalkan metode ini jelas memiliki keistimewaan dan kekurangan. Adapun keistimewaannya adalah :

  1. Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami al-Qur’an.
  2. Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaikan pesan-pesannya.
  3. Mengikat mufassir dalam bingkai teks ayat-ayat sehingga membatasi terjerumus dalam subjektivitas berlebihan.

Di sisi lain, kelemahan yang terlihat dalam kitab-kitab tafsir yang mengandalkan metode ini adalah :

  1. Terjerumusnya sang mufassir dalam uraian kebahasaan dan kesusasteraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok al-Qur’an menjadi kabur di celah uraian itu.
  2. Sering kali konteks turunnya ayat hampir dapat dikatakan terabaikan sama sekali, sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun bukan dalam satu masa atau berada di tengah-tengah masyarakat tanpa budaya.[3]

Pandangan Ulama Tentang Nilai Tafsir bi al-Ma’tsur

Di antara para sahabat yang terkenal banyak menafsirkan al-Qur’an adalah khalifah yang empat, ‘Ibn Mas’ud, ‘Ibn `Abbas, `Ubai bin Ka`ab, Zaid bin Tsabit, ‘Abu Musa al-‘Asy`ari, `Abdullah bin Zubair, ‘Anas bin Malik, `Abdullah bin `Umar, Jabir bin `Abdullah, `Abdullah bin `Amr bin `Ash dan `Aisyah, dengan terdapat perbedaan sedikit atau banyaknya penafsiran mereka. Cukup banyak riwayat-riwayat yang dinisbahkan kepada mereka dan kepada sahabat yang lain di berbagai tempat yang tentu saja berbeda-beda derajat keshahihan, dan kedha’ifannya di lihat dari sudut sanad (mata rantai periwayat). Tidak diragukan lagi, tafsir bi al-Ma’tsur yang berasal dari Sahabat  mempunyai nilai tersendiri.

Jumhur `ulama berpendapat, tafsir Sahabat  mempunyai status hukum marfu’ (disandarkan kepada Rasulullah) bila berkenaan dengan asbab al’nuzul dan semua hal yang tidak mungkin dimasuki ra’yu. Sedang hal yang memungkinkan dimasuki ra’yu maka statusnya adalah mauquf (terhenti) pada sahabat selama tidak disandarkan kepada Rasulullah.

Sebagian ulama mewajibkan untuk mengambil tafsir mauquf pada Sahabat, karena merekalah yang paling ahli bahasa `Arab dan menyaksikan langsung konteks dan situasi serta kondisi yang hanya diketahui oleh mereka, di samping mereka mempunyai pemahaman yang sahih. Yarkasy dalam kitabnya al-Burhan fi ’Ulum al Qur’an berkata : ketahuilah al-Qur’an itu ada dua bagian. Satu penafsirannya datang berdasarkan naql (riwayat) dan bagian yang lain tidak dengan naql. Yang pertama, penafsirannya itu adakalanya dari Nabi, Sahabat  atau tokoh Tabi’in. Jika dari Nabi, hanya perlu dicari kesalahan sanadnya. Jika berasal dari sahabat, perlu diperhatikan apakah mereka menafsirkan dari segi bahasa ? Jika ternyata demikian maka mereka adalah yang paling mengerti tentang bahasa `Arab, karena pendapatnya dapat dijadikan pegangan, atau jika mereka menafsirkan berdasarkan asbab al-nuzul atau situasi dan kondisi yang mereka saksikan, maka hal itupun tidak diragukan lagi.

Perkembangan Tafsir Bil Ma’tsur

Muhammad Husain al Dzahabi dalam Tafsir Wal Mufassirun menyebutkan bahwa perkembangan tafsir bil ma’tsur dapat dikategorikan menjadi dua periode, Pertama, periode periwayatan (daur al riwayah).

Kedua periode kodifikasi/pembukuan (daur al tadwin) yaitu:

Periode pertama yaitu Daur al Riwayah dapat dibedakan dalam empat tahap, yaitu tahap pertama, masa Rasulullah., tahap kedua, pada masa sahabat., tahap ketiga, pada masa tabi’in., dan tahap keempat, pada masa sesudah tabi’in, yang masing masing memilki corak dan karakteristik sendiri sendiri.

Periode kedua adalah periode kodifikasi (Daur al Tadwin) pada periode ini mula mula ditulis dan dibukukan adalah tafsir bil ma’tsur, yaitu segala yang diriwayatkan dari Rasulullah SAW dan sahabat, baik yang terjadi pada permulaan tahun 100 atau 200 Hijriyah.  Periode kedua ini dalam perkembangannya juga melalui beberapa tahap, yaitu:

  1. Tahap pertama pembukuan tafsir bil ma’tsur, belum mengambil bentuknya yang sempurna dan belum berdiri sendiri, yaitu tafsir ditulis dalam kitab kitab hadits, dan didalamnya banyak didapati berbagai macam bab hadits yang berbeda beda , juga masih berupa kumpulan riwayat yang berasal dari Nabi, para sahabat, dan juga tabi’in sebagaimana yang dilakukan oleh Imam Malik bin Anas.
  2. Tahap kedua mulai dilakukan pemisahan antar tafsir bil ma’tsur dengan kumpulan kumpulan tulisan hadits, sehingga tafsir menjadi suatu disiplin ilmu tersendiri. Dan orang yang pertama kalinya mempelopori adalah Ali bin Abi Talhah berdasarkan riwayat ibn Abbas.
  3. Tahap ketiga, tafsir bil ma’tsur mulai dibukukan dalam bebrapa juz secara khusus, seperti yang dilakukan oleh Abi Rauq yang menulis satu juz saja dari tiga juz lainnya oleh Muhammad bin Tsaur dari Ibn Juraij.
  4. Tahap keempat, pengkodifikasian tafsir yang secara khusus memuat tafsir bil ma’tsur lengkap dengan jalur sanad sempai kepada Rasulullah SAW, kepada para sahabat, tabi’in, dan Tabi’ut Tabi’in, seperti yang dilakukan oleh Ibn Jarir At Thabariy.
  5. Tahap kelima, yaitu pengkodifikasian tafsir bil ma’tsur tanpa mengemukakan sanad periwatannya dan kebanyakan para mufassir menggunakan pendapat pendapat tertentu didalam tafsir mereka tanpa membedakan hadits yang sahih dan hadits yang keliru, sehingga mengakibatkan para peneliti tidak tertarik pada isi kitab tafsir tersebut, karena ada kekhawatiran adanya unsur pemalsuan . [4]

Adapun mengenai Perbedaan yang terjadi di dalam tafsir Bil Ma`tsur dapat dibagi menjadi 3 klasifikasi yaitu:

  1. Berbeda lafazh, bukan Makna.

Hal seperti ini tidak memiliki pengaruh terhadap makna ayat. Contohnya adalah firman Allah Ta’ala, “Wa Qadla Rabbuka Alla Ta’buduu Illa Iyyaah [Dan Tuhanmnu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia].” (Q.s., al-Isra`:23) Ibn ‘Abbas berkata, “Makna Qadla adalah Amara (memerintahkan).” Mujahid berkata, “Maknanya adalah Washsha (berwasiat).” Ar-Rabi’ bin Anas berkata, “Maknanya adalah Awjaba (mewajibkan).” Penafsiran-penafsiran seperti ini maknanya sama atau mirip sehingga tidak ada pengaruhnya perbedaan tersebut terhadap makna ayat.

  1. Berbeda lafazh dan makna.

Dalam hal ini, ayat (yang ditafsirkan) dapat menerima (mencakupi) kedua makna tersebut karena tidak bertentangan (kontradiksi). Artinya, ayat tersebut dapat diarahkan kepada kedua makna tersebut dan ditafsirkan dengan keduanya sehingga sinkronisasi terhadap perbedaan ini adalah bahwa masing-masing dari kedua pendapat tersebut hanya diketengahkan sebagai contoh/permisalan terhadap apa yang dimaksud ayat tersebut atau dalam rangka variasi saja. Contohnya adalah firman Allah Ta’ala: “Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi al-Kitab), kemudian dia melepaskan diri dari pada ayat-ayat itu, lalu dia diikuti oleh syaithan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat, Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah…” (Q.s.,al-A’raf:175-176) Ibn Mas’ud berkata, “Ia [orang yang telah Kami berikan kepadanya] adalah seorang yang berasal dari kalangan Bani Israil.” Dari Ibn ‘Abbas, ia mengatakan, “[Ia adalah] seorang laki-laki dari penduduk Yaman”.

  1. Berbeda lafazh dan makna.

Dalam hal ini, ayat tidak dapat mencakupi kedua makna tersebut secara bersama-sama karena terjadi kontradisi di antara keduanya. Karena itu, maknanya harus diarahkan kepada pendapat yang paling kuat dari keduanya, baik melalui petunjuk redaksinya atau lainnya. Contohnya adalah firman Allah Ta’ala, “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah, tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.s.,an-Nahl:115) Ibn ‘Abbas berkata: “Makna Baaghin [dengan tidak menganiaya] terhadap bangkai dan ‘Aadin [tidak pula melampaui batas] di dalam memakannya.“ Menurut riwayat yang lain: “Tidak membangkang (angkat senjata) terhadap Imam (pemimpin, penguasa) dan tidak berbuat maksiat di dalam perjalanannya.” Pendapat yang paling kuat adalah pendapat pertama sebab dalil tidak mengarah kepada makna kedua dalam ayat tersebut sedangkan yang dimaksud dengan kehalalan hal-hal yang disebutkan disitu adalah melawan kondisi darurat (sehingga tidak diharamkan karena khawatir jiwa binasa-red.,) sedangkan di dalam kondisi membangkang terhadap imam (Pemimpin), dalam kondisi bepergian yang diharamkan dan sebagainya; tetap berlaku (diharamkan).[5]

Para Ahli Tafsir Bi Al-Ma’tsur

  1. Tafsir Ibnu Jarir

Pengarangnya adalah Ibnu Jarir Ath Thabary yang panggilannya Abu Ja’far. Ia dilahirkan pada tahun 224 H, dan meninggal dunia pada tahun 310 H. Kitabnya termasuk kitab tafsir dengan ma’tsur yang paling agung, paling benar dan paling banyak mencakup pendapat sahabat dan tabi’in serta dianggap sebagai pedoman pertama bagi para mussafir. Imam Nawawy mengatakan: “ kitab Ibnu Jarir tentang tafsir belum ada seorang pengarangpun yang menyamainya.”

Beberapa keistimewaan tafsir ini adalah:

  1. Berpegang pada atsar berupa hadits (ucapan Nabi saw) sahabat dan Tabi’in.
  2. Senantiasa menyebutkan sanad dan pendapat yang diriwayatkan serta memberi pentarjihan dari riwayat yang dikemukakannya.
  3. Memaparkan ayat-ayat yang nasikh dan mansukh serta menjelaskan tentang riwayat yang shahih dan riwayat yang dha’if.
  4. Menyebutkan segi I’rab (uraian kalimat) dan pengistimbathan hokum syari’at dari ayat-ayat Al-Qur’an. Kesimpulannya, kitab ini adalah kitab yang paling agung dan penuh dengan keindahan, tapi sayangnya kitab ini serring mengemukakan khabar dengan sanad yang tidak benar dengan tidak menjelaskan ketidak benarannya itu. Contohnya adalah kitab ini sering memuat cerita yang bersifat israilliat. Tafsirnya telah diterbitkan dan tersebar luas diseluruh penjuru dunia, lagi pula dijadikan pedoman pokok dikalangan musafir.
  5. Tafsir As Samarqandy

Pengarangnya adalah Nashr Ibnu Muhammad As Samarqandy yang panggilannya adalah Abu Al Laits. Ia meninggal dunia pada tahun 373 H. Kitabnya dinamakan dengan Bahrul Ulum. Tafsir ini adalah tafsir ma’tsur. Didalamnya banyak memuat pendapat para sahabat dan tabi’in, sayangnya beliau tidak menyebutkan sanad-sanadnya. Kitab ini terdiri dari dua jilid dan salah satu dari naskah-naskahnya masih ada di perpustakaan Al-Azhar.

  1. Tafsir Ats Tsa’laby

Pengarang tafsir ini adalah Ahmad Ibnu Ibrahim Ats Tsa’laby An Naisabury. Ia adalah seorang musafir yang ahli membaca Al-Qur’an. Panggilannya adalah Abu Ishak. Ia meninggal dunia pada tahun 427 H, Kelahirannya secara pasti tidak diketahui. Kitabnya dinamakan Al-Kasyfru wal Bayan fi Tafsilih Qur’an. Ia menafsirkan kitabullah Al-Qur’an berdasarkan hadits yang bersumber dari ulama salaf dengan meringkaskan sanadnya. Karena menganggap cukup menyebutkannya pada pendahuluan kitab. Ia sedikit memperluas pembahasan nahwu dan fiqih. Ia sangat senang dengan kisah-kisah dan cerita-cerita isralliyat yang dianggap asing bahkan sama sekali tidak benar adanya.

Ibnu Taimiyah mengatakan: “Ats Tsa’laby pada pribadinya tertanam kebaikan dan agama, tetapi ia bagaikan pencari kayu di malam hari. “surat Al-Furqan.

  1. Tafsir Al-Baghawy

Pengarang tafsir ini adalah Al-Musain Ibnu Mas’ud Al-Farra’ Al-Baghawy, seorang ahli fiqih, mussafir dan ilmu hadits, yang dikenal dengan penghidup sunnah. Panggilannya adalah Abu Muhammad. Beliau meninggal dunia pada tahun 510 H pada usia 80 tahun. Ia sebagai seorang alim dan taat. Imam As-Sudhy menganggap bahwa ia adalah termasuk ulama Syafi’iyah yang alim.

Tafsir ini telah di cetak bersamaan dengan tafsir Ibnu Katsir dan tafsir Al-Khazin. Dalam kitabnya ada sebagian kisah-kisah Isroilliyat, tetapi secara umum adalah lebih baik dan lebih murni dari pada kebanyakan kitab-kitab tafsir dengan ma’tsur.

  1. Tafsir Ibnu ‘Athiyah

Pengarang tafsir ini adalah Abdul Haq Ibnu ‘Athiyah Al-Andalusy Al Mafhriby Al-Qarnathy. Panggilannya adalah Abu Muhammad. Beliau dilahirkan pada tahun 481 H dan meninggal dunia tahun 546 H.

  1. Murrah Al-Hamadzany

Nama lengkapnya adalah Murrah bin Syarahil Al-Hamadzany dengan nama panggilan Abu Ismail, ia dijuluki dengan nama Murrah Ath Thayyib dan Murrah Al-Khaer.

  1. Tafsir Ibnu Katsir

Pengarang tafsir ini adalah Al-Hafizh Imaduddin Ismail bin Amr ibnu Katsir Al-Quraisyi Ad Dimasqy. Nama panggilannya adalah Abul Firda. Tafsir ini termasuk tafsir ma’tsur yang ia kutip dari pendapat ulama salaf, dengan membedakan pendapat yang shahih dan yang dha’if.

  1. Tafsir As Suyuthy

Pengarang tafsir ini adalah Al-Imam Al Hajjaj Ats Tsiqah Jalaluddin As Suyuthy, pengarang beberapa kitab yang terkenal.[6]

[1] Mawardi Abdullah, Ulumul Qur’an, (Yoqyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hal. 154-155.

[2] Hasby As-Shiddieqi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-Qur’an/Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hal. 163-165.

[3] Ibid, hal. 160

[4] ‘Ali Hasan al-‘Aridl, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta : Rajawali Press, 1992), hal.3-5

[5] Http://Komenkch.blogspot.com/2012/03/tafsir-bil-matsur.html

[6] Dra. H. St. Amanah, Pengantar Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir,( Semarang: CV. Asy-Syifa’, 1993), cet. 1, h. 348-353.

Baca Juga: