Menu Tutup

Hukum Islam Berkaitan Ahli Kitab (2)

Menghadiri Undangan Makan Mereka dan Menerima Makanan Mereka

Dari Anas bahwasanya seorang yahudi mengundang Nabi shalallallahu alaihi wa sallam untuk makan roti dan ahalah (sejenis lauk) yang berubah baunya, maka beliau menerima undangan tersebut. (HR. Ahmad 3/270, berkata Syu’aib Al-Arnauth: Isnadnya shahih atas syarat Muslim).

Bahwa ada seorang perempuan yahudi yang datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan membawa daging kambing yang diberi racun. Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memakannya. (HR. Bukhari)

Menerima Hadiah

Allah berfirman,

“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanan: 8)

Dalam kitab shahihnya, Imam Bukhari membuat judul bab:

Bab: Bolehnya menerima hadiah dari orang musyrik (Al-Jami’ As-Shahih, 3/163).

Selanjutnya, Imam Bukhari menyebutkan beberapa riwayat tentang menerima hadiah dari orang kafir. Berikut diantaranya,

1. Riwayat dari Abu Huamid,

Abu Humaid mengatakan, “Raja Ailah menghadiahkan untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seekor bighal putih, beliau diberi selendang, dan kekuasaan daerah pesisir laut.

2. Riwayat dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

Bahwa Ukaidir Dumah (raja di daerah dekat tabuk) memberi hadiah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Bahkan dalam riwayat lain juga disebutkan hadiah itu diberikan ketika hari besar mereka.

bnu Taimiyyah (w. 728 H) menceritakan:

“Menerima hadiah orang kafir pada hari raya mereka, telah ada dalilnya dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu’anhu bahwa beliau mendapatkan hadiah pada hari raya Nairuz (perayaan tahun baru orang majusi), dan beliau menerimanya.” (Ibnu Taimiyyah al-Harrani, Iqtidha’ Shirat al-Mustaqim, juz 2, hal. 5)

Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah, bahwa ada seorang wanita bertanya kepada Aisyah radhiallahu’anha, Kami memiliki seorang ibu susu beragama majusi. Ketika hari raya, mereka memberi hadiah kepada kami. Kemudian Aisyah menjelaskan, “Jika itu berupa hewan sembelihan hari raya maka jangan dimakan, tapi makanlah buah-buahannya.”

Dari Abu barzah, bahwa beliau memiliki sebuah rumah yang dikontrak orang majusi. Ketika hari raya Nairuz dan Mihrajan, mereka memberi hadiah. Kemudian Abu Barzah berpesan kepada keluarganya, “Jika berupa buah-buahan,makanlah. Selain itu, kembalikan.”

Semua riwayat ini menunjukkan bahwa ketika hari raya orang kafir, tidak ada larangan untuk menerima hadiah dari mereka. Hukum menerima ketika hari raya mereka dan di luar hari raya mereka, sama saja. Karena menerima hadiah tidak ada unsur membantu mereka dalam menyebar syiar agama mereka.

Tentunya jika hadiah itu berupa barang yang memang halal secara dzatnya untuk orang Islam.

Menengoknya Ketika Sakit

Ada seorang yahudi yang pernah melayani Nabi. Lantas dia sakit dan Nabi menengoknya.

Dahulu ada seorang anak Yahudi yang membantu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika si anak ini sakit. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menengoknya. Beliau duduk di dekat kepalanya, dan berkata : “Masuklah ke dalam Islam”.

Anak tersebut memandang bapaknya yang hadir di dekatnya. Bapaknya berkata,”Patuhilah (perkataan) Abul Qasim Shallallahu ‘alaihi wa sallam ,” maka anak itupun masuk Islam. Setelah itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar seraya berkata : “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan anak itu dari siksa neraka”. [HR Bukhari, 2/94].

Melayat Jenazahnya

Dari Ali bin Abi Talib radhiyallahu ‘anhu, bahwa ketika pamannya meninggal, dia datang melapor kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

Sesungguhnya pamanmu, si tua yang sesat telah mati.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan

“Segera kuburkan bapakmu.” (HR. Abu Daud dan an-Nasai).

Imam Nawawi dalam Raudhatu At-Thalibin 2/145 mengatakan ;

“Boleh bagi seorang Muslim bertakziyah kepada orang kafir dzimmi tetangga dekatnya, maka yang dia ucapkan adalah ; “Semoga Alloh mengganti untukmu serta tidak berkurang jumlahmu”.

Menziarahi Kuburnya

Menurut keterangan yang terdapat dalam kitab Fathul Wahhab karya Syaikhul Islam Zakariya al-Anshari, bahwa berziarah ke kuburan orang non-Muslim itu diperbolehkan.

“Bahwa berziarah ke kuburan orang-orang kafir itu mubah (diperbolehkan)”. (Zakariya al-Anshari, Fathul Wahhab, (Bairut-Darul Kutub al-‘Ilmiyyah, 1418 H), juz, 1, hal. 176)

Namun sepanjang berziarah kubur ke kuburan orang non-muslim dilakukan untuk mengingatkan kita akan kematian dan alam akhirat atau i’tibar (pelajaran) dan peringatan kepada kita akan kematian.

Jika menziarahi kuburan orang yang non-muslim saja diperbolehkan, maka logikanya adalah menziarahinya ketika masih hidup itu lebih utama (awla). Inilah yang kemudian ditegaskan oleh Imam an-Nawawi dalam kitab Syarh Muslim-nya. (Muhyiddin Syaraf an-Nawawi, Syarhun Nawawi ala Shahihi Muslim, (Bairut-Daru Ihya`it Turats al-‘Arabi, cet ke-II, 1392 H), juz, VIII, h. 45)

Tentu kebolehan ini dalam rangka mengingat akan kematian. Atau bagi seseorang yang memiliki kerabat atau orang tua yang mati dalam keaadaan non muslim.

Saat berziarah juga tak disunnahkan mendoakan atau memintakan ampunan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Tidak Dikuburkan di Pemakaman Muslim

Para ulama sepakat tak boleh orang kafir dikuburkan di pemakaman muslim, kecuali ada dharurat.

Ulama sepakat, haram memakamkan muslim di kuburan orang kafir dan sebaliknya, kecuali karena darurat. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah, 19/21)

Disebutkan dalam hadis dari Basyir – pembantu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam – beliau bercerita,

Ketika saya sedang berjalan bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami melewati kuburan orang musyrikin. Lalu beliau bersabda,

“Mereka tertinggal untuk mendapatkan kebaikan yang banyak.” Beliau ucapkan 3 kali.

Kemudian beliau melewati kuburan kaum muslimin, kemudian beliau mengatakan,

“Mereka telah mendapatkan kebaikan yang banyak.” (HR. Ahmad 20787, Abu Daud 3230 dan dishahihkan Syuaib al-Arnauth).

Berdasarkan hadis ini, ulama sepakat bahwa pemakaman kaum muslimin dan non-muslim harus dipisahkan. Kecuali jika dalam kondisi darurat.

Imam an-Nawawi mengatakan:

Ulama madzhab kami (syafi’iyah) – rahimahumullah – sepakat bahwa orang islam tidak boleh dimakamkan di kuburan orang kafir, dan juga orang kafir tidak boleh dimakamkan di kuburan kaum muslimin. (Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu Syarh al-Muhadzab, juz 5, hal. 285)

Tidak Mengawali Mengucapkan Salam

Janganlah memulai salam kepada Yahudi dan Nasrani. Apabila kalian berpapasan dengan salah seorang dari mereka, pepetlah ke tempat yang sempit. [HR Muslim, 7/5]

Sumber:
Hanif Luthfi, Lc., MA., Hukum Fiqih Seputar Ahli Kitab, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2018

Baca Juga: