Menu Tutup

Merubah Niat Puasanya Batal Atau Tidak?

Tidak Batal

Mayoritas ulama dari madzhab Hanafi, Maliki dan Syafi’i menilai bahwa sekedar berniat membatalkan puasa tidak otomatis puasanya langsung batal, selama belum ada aktivitas ril yang dia lakukan untuk membatalkan puasanya. Berbeda dengan setelah berniat membatalkan puasa lalu dia makan martabak manis maka sudah otomatis batal, batalnya itu bukan karena niatnya melainkan karena aktivitas makannya itu.

Ibnu Abdin (w. 1252 H) salah satu ulama mazhab Hanafi menulsikan:

Orang yang berpuasa bila hanya berniat berbuka maka puasanya belum batal. (Ibnu Abdin, Radd Al-Muhtar ala Ad-Dur Al-Mukhtar, jilid 2 hal. 428)

Ibnu Abdil Barr (w. 463 H) salah satu ulama mazhab Maliki menuliskan:

Tidak ada qadha’ atau kafarat sampai seseorang makan atau minum dengan sengaja meskipun hanya sedikit, dalam kondisi tahu bahwa dirinya sedang puasa. (Ibnu Abdil Bar, Al-Kafi, jilid 1, hal. 343)

An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi’i menuliskan:

Bila seseorang baru berniat untuk berhenti dari puasa atau i’tikafnya maka ada dua pendapat. Pendapat yang paling shahih bahwa puasa dan i’tikafnya itu belum batal. (An-Nawawi, Al-Majmu’, jilid 3, hal. 285)

Batal

Sedangkan pendapat mazhab Hanbali sekedar berniat membatalkan puasa walaupun belum ada aktibitas makan dan minumnya maka niat itu sudah otomatis membuatnya batal.

Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :

Orang yang berniat untuk berbuka maka batallah puasanya. Dan ini adalah pendapat resmi madzhab. (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, jilid 3 hal. 133)

Referensi:
Saiyid Mahadhir, Lc, MA., Bekal Ramadhan dan Idul Fithri (4): Batalkah Puasa Saya?, Rumah Fiqih Indonesia, 2019.

 

 

Baca Juga: