PRRI atau Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia adalah sebuah gerakan yang dilakukan oleh beberapa pemerintah daerah di Sumatera untuk menentang kebijakan pemerintah pusat pada tahun 1958. Gerakan ini dipicu oleh ketidakpuasan daerah terhadap pembagian kekuasaan, keuangan, dan pembangunan yang dianggap tidak adil oleh pemerintah pusat. PRRI juga menuntut perubahan sistem pemerintahan dan penyelenggaraan pemilihan umum yang lebih demokratis.
Latar Belakang PRRI
Latar belakang munculnya PRRI dapat ditelusuri dari kondisi politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi di Indonesia pasca kemerdekaan. Pada masa itu, Indonesia mengalami berbagai masalah seperti inflasi, korupsi, konflik antar partai politik, pemberontakan regional, dan ancaman komunisme. Pemerintah pusat yang dipimpin oleh Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Djuanda berusaha menyelesaikan masalah-masalah tersebut dengan mengeluarkan berbagai kebijakan yang kontroversial.
Salah satu kebijakan yang menimbulkan reaksi keras dari daerah adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini mengatur bahwa pemerintah pusat memiliki wewenang untuk mengangkat dan memberhentikan gubernur dan bupati tanpa persetujuan DPRD. UU ini juga membatasi otonomi daerah dalam hal perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan. UU ini dianggap sebagai bentuk sentralisasi kekuasaan yang merugikan daerah.
Selain itu, daerah juga merasa tidak mendapatkan bagian yang adil dari hasil-hasil sumber daya alam yang ada di wilayahnya. Daerah mengeluh bahwa pemerintah pusat hanya memperhatikan pembangunan di Pulau Jawa, sementara pulau-pulau lainnya dibiarkan terbelakang. Daerah juga menuntut agar pemerintah pusat memberikan bantuan keuangan yang cukup untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan daerah.
Pembentukan PRRI
Gerakan oposisi daerah terhadap pemerintah pusat mulai terbentuk pada akhir tahun 1956 di Sumatera Tengah (Sumatra Barat, Riau, Jambi, dan Kepulauan Riau). Pada bulan Agustus dan September 1956, beberapa tokoh dari Sumatera Tengah mengadakan rapat dan pertemuan di Jakarta untuk menyampaikan aspirasi-aspirasi daerah. Pertemuan ini dilanjutkan dengan reuni 612 perwira aktif dan pensiunan Divisi Banteng pada 20-25 November 1956 di Padang. Divisi Banteng adalah komando militer Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang dibentuk pada masa perang kemerdekaan (1945-1950) dengan wilayah Sumatera Tengah.
Dalam reuni itu muncul ide untuk membentuk Dewan Banteng yang bertugas untuk memperjuangkan otonomi daerah dan perimbangan ekonomi atau keuangan dengan pemerintah pusat. Dewan Banteng dipimpin oleh Letkol Ahmad Husein, komandan Resimen IV dan tetorium I yang berkedudukan di Padang. Pada tanggal 20 Desember 1956, Letkol Ahmad Husein merebut kekuasaan Pemerintah Daerah dari Gubernur Ruslan Muljohardjo dengan dalih bahwa gubernur yang ditunjuk pemerintah tidak berhasil menjalankan pembangunan daerah.
Pada tanggal 15 Februari 1958, Dewan Banteng mengeluarkan Piagam Perjuangan untuk Menyelamatkan Negara yang berisi tiga tuntutan utama kepada pemerintah pusat, yaitu:
- Dibubarkannya Kabinet Djuanda
- Mohammad Hatta dan Sultan Hamengkubuwono IX membentuk pemerintahan sementara sampai pemilihan umum berikutnya akan dilaksanakan
- Soekarno kembali pada posisi konstitusionalnya
Piagam Perjuangan ini juga menandai berdirinya Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) sebagai pemerintah tandingan yang berpusat di Padang. PRRI mengklaim sebagai penerus sah dari Republik Indonesia yang didirikan pada tanggal 17 Agustus 1945. PRRI juga mengajak daerah-daerah lainnya untuk bergabung dengan gerakan ini.
Anggota dan Dukungan PRRI
PRRI tidak hanya terdiri dari Sumatera Tengah, tetapi juga melibatkan beberapa daerah lainnya di Sumatera, seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Aceh. PRRI juga mendapat dukungan dari gerakan Permesta yang berpusat di Sulawesi Utara. Permesta adalah singkatan dari Perjuangan Semesta yang merupakan gerakan oposisi daerah yang menuntut perbaikan nasib rakyat dan daerah di luar Jawa.
Selain itu, PRRI juga mendapat dukungan dari beberapa partai politik, seperti Partai Masyumi, Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai Katolik. Partai-partai ini merupakan partai-partai oposisi yang tidak puas dengan kebijakan-kebijakan pemerintah pusat yang dianggap pro-komunis. PRRI juga mendapat dukungan dari sebagian besar rakyat di daerah-daerah yang terlibat, terutama dari kalangan pedagang, petani, dan pegawai negeri.
PRRI juga mendapat dukungan dari negara-negara asing, terutama Amerika Serikat. Amerika Serikat melihat PRRI sebagai sekutu potensial dalam menghadapi ancaman komunisme di Indonesia. Amerika Serikat memberikan bantuan senjata, amunisi, dan uang kepada PRRI melalui agen-agen rahasianya. Amerika Serikat juga membantu PRRI dengan menyediakan pesawat-pesawat terbang yang digunakan untuk mengangkut pasukan dan peralatan militer.
Pada tanggal 28 September 1961, Presiden Soekarno mengumumkan berakhirnya status darurat militer di daerah-daerah yang terlibat dalam PRRI. Pada tanggal 1 Oktober 1961, Presiden Soekarno memberikan amnesti kepada para anggota PRRI yang bersedia kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Dengan demikian, PRRI secara resmi berakhir dan Indonesia kembali bersatu.
Penumpasan PRRI
Pemerintah pusat tidak tinggal diam menghadapi tantangan dari PRRI. Pemerintah pusat menganggap PRRI sebagai gerakan separatis yang bertujuan untuk memecah belah kesatuan bangsa. Pemerintah pusat juga menuduh PRRI sebagai boneka Amerika Serikat yang ingin menggulingkan pemerintahan yang sah. Pemerintah pusat menetapkan status darurat militer di daerah-daerah yang terlibat dalam PRRI dan mengirimkan pasukan-pasukan APRI untuk menumpas gerakan ini.
Perang antara pemerintah pusat dan PRRI berlangsung selama tiga tahun (1958-1961). Perang ini menimbulkan korban jiwa yang besar di kedua belah pihak, baik militer maupun sipil. Perang ini juga menyebabkan kerusakan infrastruktur dan ekonomi yang parah di daerah-daerah yang terlibat. Perang ini juga memperburuk hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya.
Pada akhirnya, pemerintah pusat berhasil mematahkan perlawanan PRRI dengan menggunakan strategi militer dan diplomasi. Pada tahun 1959, pemerintah pusat berhasil merebut kembali ibu kota PRRI, Padang, dan menangkap beberapa tokoh pentingnya, seperti Letkol Ahmad Husein dan Drs. Mohammad Natsir. Pada tahun 1960, pemerintah pusat berhasil menyerbu markas-markas PRRI di Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Pada tahun 1961, pemerintah pusat berhasil menyelesaikan operasi militer di Aceh dan Sulawesi Utara.
Dampak dan Makna PRRI
PRRI memiliki dampak dan makna yang penting bagi sejarah Indonesia. PRRI merupakan salah satu gerakan pemberontakan regional terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. PRRI menunjukkan adanya ketegangan antara pusat dan daerah yang disebabkan oleh ketimpangan pembangunan, keuangan, dan kekuasaan. PRRI juga menunjukkan adanya perbedaan pandangan politik antara partai-partai oposisi dan pemerintah pusat yang didominasi oleh partai Nasionalis dan Komunis.
PRRI juga memiliki dampak bagi hubungan Indonesia dengan dunia internasional. PRRI memperburuk hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya yang dianggap sebagai dalang di balik gerakan ini. PRRI juga memperkuat hubungan Indonesia dengan negara-negara Blok Timur, terutama Uni Soviet dan China, yang memberikan bantuan militer dan ekonomi kepada pemerintah pusat.
PRRI juga memiliki makna bagi perkembangan politik Indonesia selanjutnya. PRRI menjadi salah satu alasan bagi Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 yang membubarkan parlemen dan mengembalikan konstitusi 1945. Dekrit Presiden ini menandai awal dari era Demokrasi Terpimpin yang memberikan kekuasaan absolut kepada Presiden Soekarno. PRRI juga menjadi salah satu faktor yang memicu terjadinya Gerakan 30 September 1965 yang mengakibatkan pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru.
Kesimpulan
PRRI adalah sebuah gerakan yang dilakukan oleh beberapa pemerintah daerah di Sumatera untuk menentang kebijakan pemerintah pusat pada tahun 1958. PRRI dipicu oleh ketidakpuasan daerah terhadap pembagian kekuasaan, keuangan, dan pembangunan yang dianggap tidak adil oleh pemerintah pusat. PRRI juga menuntut perubahan sistem pemerintahan dan penyelenggaraan pemilihan umum yang lebih demokratis.
PRRI tidak hanya terdiri dari Sumatera Tengah, tetapi juga melibatkan beberapa daerah lainnya di Sumatera, seperti Sumatera Utara, Sumatera Selatan, dan Aceh. PRRI juga mendapat dukungan dari gerakan Permesta yang berpusat di Sulawesi Utara. PRRI juga mendapat dukungan dari beberapa partai politik, seperti Partai Masyumi, Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan Partai Katolik. PRRI juga mendapat dukungan dari negara-negara asing, terutama Amerika Serikat.
Pemerintah pusat menganggap PRRI sebagai gerakan separatis yang bertujuan untuk memecah belah kesatuan bangsa. Pemerintah pusat juga menuduh PRRI sebagai boneka Amerika Serikat yang ingin menggulingkan pemerintahan yang sah. Pemerintah pusat menetapkan status darurat militer di daerah-daerah yang terlibat dalam PRRI dan mengirimkan pasukan-pasukan APRI untuk menumpas gerakan ini.
Perang antara pemerintah pusat dan PRRI berlangsung selama tiga tahun (1958-1961). Perang ini menimbulkan korban jiwa yang besar di kedua belah pihak, baik militer maupun sipil. Perang ini juga menyebabkan kerusakan infrastruktur dan ekonomi yang parah di daerah-daerah yang terlibat. Perang ini juga memperburuk hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya.
Pada akhirnya, pemerintah pusat berhasil mematahkan perlawanan PRRI dengan menggunakan strategi militer dan diplomasi. Pada tahun 1959, pemerintah pusat berhasil merebut kembali ibu kota PRRI, Padang, dan menangkap beberapa tokoh pentingnya, seperti Letkol Ahmad Husein dan Drs. Mohammad Natsir. Pada tahun 1960, pemerintah pusat berhasil menyerbu markas-markas PRRI di Sumatera Utara dan Sumatera Selatan. Pada tahun 1961, pemerintah pusat berhasil menyelesaikan operasi militer di Aceh dan Sulawesi Utara.
PRRI memiliki dampak dan makna yang penting bagi sejarah Indonesia. PRRI merupakan salah satu gerakan pemberontakan regional terbesar yang pernah terjadi di Indonesia. PRRI menunjukkan adanya ketegangan antara pusat dan daerah yang disebabkan oleh ketimpangan pembangunan, keuangan, dan kekuasaan. PRRI juga menunjukkan adanya perbedaan pandangan politik antara partai-partai oposisi dan pemerintah pusat yang didominasi oleh partai Nasionalis dan Komunis.
PRRI juga memiliki dampak bagi hubungan Indonesia dengan dunia internasional. PRRI memperburuk hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya yang dianggap sebagai dalang di balik gerakan ini. PRRI juga memperkuat hubungan Indonesia dengan negara-negara Blok Timur, terutama Uni Soviet dan China, yang memberikan bantuan militer dan ekonomi kepada pemerintah pusat.
PRRI juga memiliki makna bagi perkembangan politik Indonesia selanjutnya. PRRI menjadi salah satu alasan bagi Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 yang membubarkan parlemen dan mengembalikan konstitusi 1945. Dekrit Presiden ini menandai awal dari era Demokrasi Terpimpin yang memberikan kekuasaan absolut kepada Presiden Soekarno. PRRI juga menjadi salah satu faktor yang memicu terjadinya Gerakan 30 September 1965 yang mengakibatkan pergantian rezim dari Orde Lama ke Orde Baru.
Sumber:
(1) Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia – Wikipedia bahasa …. https://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_Revolusioner_Republik_Indonesia.
(2) PRRI: Latar Belakang, Tuntutan, Anggota, Penumpasan, dan Dampaknya. https://www.kompas.com/stori/read/2021/04/07/173342579/prri-latar-belakang-tuntutan-anggota-penumpasan-dan-dampaknya.
(3) Public Religion Research Institute – Wikipedia. https://en.wikipedia.org/wiki/Public_Religion_Research_Institute.
(4) Pemberontakan PRRI – Latar Belakang, Tujuan, dan Tokohnya. https://www.zenius.net/blog/pemberontakan-prri.
(5) undefined. http://ikpni.or.id/%29.