Menu Tutup

Jose Rizal: Pahlawan Nasional Filipina yang Menginspirasi Revolusi

Latar Belakang Keluarga dan Pendidikan

Jose Rizal lahir pada tanggal 19 Juni 1861 di kota Calamba, provinsi Laguna, Filipina. Ia adalah anak ke-7 dari 11 bersaudara. Orang tuanya adalah Francisco Rizal Mercado dan Teodora Alonso Realonda, yang merupakan pemegang sewa tanah dan sawah milik para biarawan Dominikan. Kedua keluarga mereka mengadopsi nama belakang tambahan Rizal dan Realonda pada tahun 1849 setelah Gubernur Jenderal Narciso Clavería y Zaldúa mengeluarkan dekrit yang mewajibkan orang-orang Filipina untuk mengambil nama-nama Spanyol untuk keperluan sensus. Seperti banyak keluarga di Filipina, keluarga Rizal adalah keturunan campuran. Garis keturunan ayahnya dapat ditelusuri hingga ke Fujian di Cina melalui leluhurnya Lam-co, seorang pedagang Hokkien yang berimigrasi ke Filipina pada akhir abad ke-171.

Rizal menempuh pendidikan dasar di bawah bimbingan ibunya, yang mengajarkannya membaca dan menulis dalam bahasa Spanyol dan Latin. Ia kemudian melanjutkan sekolah di Ateneo Municipal de Manila, sebuah lembaga pendidikan Katolik Roma yang dikelola oleh para Yesuit. Di sana ia mendapatkan gelar Bachelor of Arts pada tahun 1877 dengan predikat sobresaliente (sangat luar biasa). Ia juga belajar bahasa-bahasa asing seperti Prancis, Jerman, Inggris, dan Italia. Setelah lulus dari Ateneo, ia masuk ke Universitas Santo Tomas untuk mempelajari filsafat dan hukum. Namun, ia tidak menyelesaikan studinya di sana karena ia merasa tidak puas dengan sistem pendidikan yang kuno dan diskriminatif. Ia kemudian memutuskan untuk pergi ke Eropa pada tahun 1882 untuk melanjutkan studi kedokteran di Universidad Central de Madrid. Di sana ia mendapatkan gelar Dokter dalam Kedokteran pada tahun 1886.

Karya-Karya Sastra dan Gerakan Propaganda

Selama berada di Eropa, Rizal menjadi penulis dan anggota penting dari Gerakan Propaganda, sebuah kelompok intelektual Filipina yang mengadvokasi reformasi politik bagi koloni di bawah Spanyol. Ia menulis novel-novel, puisi-puisi, dan esai-esai yang mengkritik korupsi dan penindasan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial dan gereja Katolik terhadap rakyat Filipina. Karya-karyanya yang paling terkenal adalah Noli Me Tángere (1887) dan El filibusterismo (1891), yang bersama-sama dianggap sebagai epik nasional Filipina2. Novel-novel ini menggambarkan kondisi sosial, politik, dan ekonomi di Filipina pada akhir abad ke-19, serta menyuarakan aspirasi nasionalisme dan kemerdekaan dari cengkeraman Spanyol.

Noli Me Tángere (Jangan Sentuh Aku) adalah sebuah novel realis yang menceritakan kisah Crisostomo Ibarra, seorang pemuda berpendidikan Eropa yang kembali ke tanah airnya setelah tujuh tahun berada di luar negeri. Ia berencana untuk menikahi Maria Clara, putri dari teman ayahnya Don Rafael Ibarra. Namun, rencananya terhalang oleh intrik-intrik dari para biarawan Dominikan yang memiliki pengaruh besar di masyarakat. Ayahnya meninggal dalam penjara karena dituduh sebagai seorang subversif oleh Padre Damaso, seorang frater Franciscan yang juga mantan pengasuh Maria Clara. Ibarra sendiri juga menjadi sasaran fitnah dan pembunuhan oleh para musuhnya. Ia akhirnya berhasil lolos dari jerat hukum dengan bantuan seorang pendeta bernama Padre Florentino, yang memberinya nasihat untuk tidak membenci musuh-musuhnya, tetapi untuk mencintai tanah airnya.

Baca Juga:  Catatan Akhir: Pengertian, Fungsi, dan Aturan Penulisan

El filibusterismo (Penghasut) adalah sebuah novel politik yang merupakan sekuel dari Noli Me Tángere. Novel ini mengisahkan kehidupan Ibarra yang kembali ke Filipina setelah 13 tahun berada di luar negeri dengan identitas baru sebagai Simoun, seorang pedagang permata kaya yang menjadi penasihat dekat dari Kapten Jenderal, gubernur kolonial Spanyol. Simoun memiliki rencana rahasia untuk memicu sebuah revolusi melawan pemerintah Spanyol dengan cara menyebarkan senjata dan uang kepada para pemberontak. Ia juga berusaha untuk membalas dendam kepada para biarawan yang telah merusak hidupnya dan Maria Clara, yang telah meninggal di biara setelah dipaksa menjadi seorang biarawati oleh Padre Damaso. Namun, rencana Simoun gagal karena pengkhianatan, kesalahpahaman, dan ketidakberanian dari para sekutunya. Ia akhirnya terluka parah oleh penjaga setelah mencoba meledakkan sebuah pesta dengan bom yang tersembunyi di dalam sebuah lampu. Sebelum meninggal, ia mengaku identitas aslinya kepada Padre Florentino, yang kemudian melemparkan permata-permatanya ke laut sebagai lambang dari harapan yang hilang.

Karya-karya Rizal mendapat sambutan yang beragam dari berbagai kalangan. Di Eropa, ia mendapat pujian dan penghargaan dari para intelektual dan sastrawan terkemuka, seperti Marcelo H. del Pilar, Ferdinand Blumentritt, dan Miguel de Unamuno. Di Filipina, ia mendapat dukungan dan simpati dari para ilustrado (orang-orang terpelajar) dan rakyat jelata, yang merasa tergugah oleh pesan-pesannya. Namun, ia juga mendapat kecaman dan kebencian dari pemerintah kolonial dan gereja Katolik, yang menganggap karya-karyanya sebagai ancaman bagi kekuasaan dan otoritas mereka. Novel-novelnya dilarang beredar di Filipina dan ia sendiri dituduh sebagai seorang penghasut dan pengkhianat.

Kehidupan Akhir dan Eksekusi

Pada tahun 1892, Rizal kembali ke Filipina dengan harapan untuk mendirikan sebuah organisasi progresif bernama La Liga Filipina (Liga Filipina), yang bertujuan untuk menyatukan berbagai kelompok nasionalis dan reformis di bawah satu bendera. Organisasi ini juga bermaksud untuk mempromosikan pendidikan, pertanian, perdagangan, industri, dan kesejahteraan sosial di antara orang-orang Filipina. Namun, rencana Rizal digagalkan oleh pemerintah kolonial yang menangkapnya beberapa hari setelah kedatangannya di Manila. Ia dituduh sebagai pemimpin Gerakan Propaganda dan penggerak pemberontakan rahasia Katipunan (Persaudaraan), yang didirikan oleh Andres Bonifacio pada tahun 1892 sebagai organisasi revolusioner bersenjata. Rizal dibuang ke Dapitan, sebuah kota terpencil di Mindanao, di mana ia tinggal selama empat tahun.

Baca Juga:  Bung Hatta: Bapak Koperasi Indonesia yang Mengembangkan Usaha Bersama Rakyat

Di Dapitan, Rizal tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan kemanusiaan. Ia membuka sebuah sekolah untuk anak-anak setempat, mendirikan sebuah rumah sakit untuk orang-orang miskin, membangun sistem irigasi untuk petani, mengembangkan proyek-proyek pertanian dan perikanan, serta melakukan penelitian ilmiah tentang flora dan fauna lokal. Ia juga menjalin hubungan asmara dengan Josephine Bracken, seorang perempuan Irlandia yang datang bersama ayah angkatnya untuk meminta bantuan Rizal sebagai dokter mata. Mereka menikah secara adat pada tahun 1896.

Pada tahun yang sama, Revolusi Filipina meletus di bawah pimpinan Katipunan. Rizal diminta oleh Gubernur Jenderal Ramón Blanco y Erenas untuk menjadi sukarelawan medis dalam perang melawan pemberontak Katipunan di Kuba, yang juga berada di bawah penjajahan Spanyol. Rizal menyetujui permintaan ini dengan harapan dapat membuktikan kesetiaannya kepada Spanyol dan menghindari tuduhan sebagai penghasut. Ia berangkat ke Barcelona pada bulan September 1896 dengan kapal Isla de Panay.

Namun, sebelum ia sampai di Kuba, ia ditangkap oleh otoritas Spanyol di Singapura atas perintah dari Gubernur Jenderal Camilo de Polavieja y del Castillo, yang menggantikan Blanco sebagai gubernur kolonial Filipina. Polavieja menganggap Rizal sebagai dalang dari Revolusi Filipina dan memerintahkan agar ia dieksekusi tanpa pengadilan. Rizal dibawa kembali ke Manila dengan kapal Colon dan ditahan di Fort Santiago.

Selama masa tahanannya, Rizal menulis puisi terakhirnya yang berjudul Mi último adiós (Salam Perpisahanku), yang menyatakan cintanya kepada tanah airnya dan harapannya akan masa depan yang lebih baik bagi rakyatnya1. Ia juga menulis surat-surat kepada keluarga, teman-teman, dan rekan-rekannya, termasuk Blumentritt, Paciano, dan Josephine. Ia meminta agar jenazahnya dikuburkan tanpa peti mati atau batu nisan.

Pada tanggal 30 Desember 1896, Rizal dieksekusi oleh regu tembak di Lapangan Bagumbayan (sekarang Taman Rizal) di Manila2. Ia menghadapi peluru dengan tenang dan mati sambil berseru “Consummatum est!” (Telah selesai!). Jenazahnya kemudian dikuburkan secara diam-diam di Pemakaman Paco tanpa nama.

Baca Juga:  Perkembangan Perbankan Digital di Indonesia dan Dunia

Eksekusi Rizal menimbulkan kemarahan dan kesedihan di seluruh Filipina dan dunia. Ia dihormati sebagai pahlawan nasional yang mengorbankan hidupnya demi kemerdekaan tanah airnya dari penjajahan asing. Karya-karyanya menjadi sumber inspirasi bagi generasi-generasi berikutnya dari para pejuang kemerdekaan, seperti Emilio Aguinaldo, Apolinario Mabini, dan Manuel L. Quezon. Pada tahun 1898, setelah Perang Spanyol-Amerika, Filipina memperoleh kemerdekaan sementara dari Spanyol dan mendirikan Republik Filipina Pertama. Pada tahun 1901, jenazah Rizal dipindahkan ke sebuah makam di Taman Rizal, di mana sebuah monumen megah didirikan untuk mengenang jasanya. Pada tahun 1956, tanggal 30 Desember ditetapkan sebagai Hari Rizal, sebuah hari libur nasional untuk menghormati pahlawan nasional Filipina.

Posted in Ragam

Artikel Terkait: