Menu Tutup

Kerajaan Mataram Islam: Sejarah, Raja-Raja, Kebijakan, Hubungannya dengan VOC, dan Peninggalannya

I Pendahuluan

Latar Belakang

Kerajaan Mataram Islam merupakan salah satu kerajaan terbesar yang pernah berdiri di Pulau Jawa pada abad ke-16 hingga abad ke-18. Kerajaan ini memainkan peran penting dalam sejarah Indonesia, khususnya dalam penyebaran agama Islam, pengembangan budaya Jawa, dan perlawanan terhadap kolonialisme Belanda. Sejarah Mataram Islam mencerminkan dinamika sosial, politik, dan ekonomi di Nusantara pada masa itu. Kerajaan ini dikenal tidak hanya karena kejayaannya, tetapi juga karena kemampuan para pemimpinnya dalam menyatukan berbagai wilayah di Jawa dan mengintegrasikan tradisi-tradisi lokal dengan ajaran Islam.

Pentingnya Kerajaan Mataram Islam dalam Sejarah Indonesia

Kerajaan Mataram Islam memiliki tempat yang istimewa dalam sejarah Indonesia. Dalam konteks sejarah, Mataram Islam bukan hanya sekadar entitas politik tetapi juga pusat dari transformasi sosial dan budaya. Kerajaan ini berhasil mengintegrasikan agama Islam dengan budaya Jawa, menciptakan identitas kultural yang unik dan berkelanjutan hingga sekarang. Salah satu peran terpenting dari Mataram Islam adalah perjuangannya melawan dominasi VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) atau Kompeni Belanda, yang menjadi salah satu titik balik dalam sejarah perlawanan pribumi terhadap kolonialisme di Indonesia.

II Asal Usul dan Berdirinya Kerajaan Mataram Islam

Kondisi Jawa pada Abad ke-16

Pada abad ke-16, Pulau Jawa merupakan wilayah yang dinamis dengan banyak kerajaan kecil yang saling bersaing untuk mendapatkan kekuasaan. Di tengah persaingan ini, ada dua kerajaan besar yang menonjol: Kerajaan Demak dan Kerajaan Pajang. Kerajaan Demak, yang berdiri pada awal abad ke-16, adalah kerajaan Islam pertama di Jawa yang berhasil menyatukan wilayah pesisir utara Jawa. Namun, setelah runtuhnya Demak, kekuasaan berpindah ke Pajang, yang didirikan oleh Sultan Hadiwijaya (atau Jaka Tingkir). Pajang melanjutkan misi Islamisasi yang telah dimulai oleh Demak dan berusaha memperluas kekuasaannya ke pedalaman Jawa.

Pendiri dan Tokoh-Tokoh Awal

Ki Ageng Pamanahan

Ki Ageng Pamanahan adalah tokoh penting dalam pendirian Kerajaan Mataram Islam. Ia adalah seorang bangsawan dari Pajang yang memiliki hubungan dekat dengan Sultan Hadiwijaya. Dalam sejarahnya, Ki Ageng Pamanahan dikenal sebagai seorang pemimpin yang bijaksana dan strategis. Pada tahun 1575, Sultan Hadiwijaya menghadiahkan hutan Mentaok kepada Ki Ageng Pamanahan sebagai bentuk pengakuan atas jasanya dalam membantu mengalahkan musuh-musuh Pajang. Hutan Mentaok inilah yang kemudian menjadi cikal bakal wilayah Mataram.

Ki Ageng Pamanahan memulai pembangunan wilayah baru tersebut dengan membuka lahan, mendirikan pemukiman, dan mengembangkan pertanian. Dengan dukungan dari pengikutnya, ia berhasil menciptakan sebuah pusat kekuasaan yang stabil dan berkembang. Pendirian Mataram oleh Ki Ageng Pamanahan menandai awal dari sebuah kerajaan yang nantinya akan menjadi salah satu kekuatan besar di Jawa.

Panembahan Senopati

Panembahan Senopati, putra Ki Ageng Pamanahan, adalah raja pertama Kerajaan Mataram Islam. Setelah kematian ayahnya, Panembahan Senopati melanjutkan pembangunan kerajaan dengan lebih agresif. Ia dikenal sebagai seorang pemimpin yang cerdas dan berani, serta memiliki visi besar untuk memperluas wilayah kekuasaan Mataram. Panembahan Senopati memanfaatkan kemampuannya dalam strategi militer dan diplomasi untuk mengalahkan kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Mataram.

Salah satu langkah penting yang diambil oleh Panembahan Senopati adalah menaklukkan Kerajaan Pajang. Pada tahun 1586, setelah melalui serangkaian pertempuran, Panembahan Senopati berhasil mengalahkan Pajang dan mengukuhkan Mataram sebagai kekuatan dominan di Jawa Tengah. Dengan jatuhnya Pajang, Mataram Islam mendapatkan legitimasi sebagai penerus kekuasaan dan pusat Islam di Jawa.

III Periode Pemerintahan dan Pengembangan Wilayah

Panembahan Senopati (1586-1601)

Kebijakan Pemerintahan

Panembahan Senopati, sebagai raja pertama Kerajaan Mataram Islam, memegang peranan penting dalam pembentukan fondasi kerajaan ini. Setelah mengalahkan Kerajaan Pajang, Panembahan Senopati memusatkan kekuasaannya di Kotagede. Ia mengimplementasikan sejumlah kebijakan yang bertujuan untuk memperkuat otoritasnya dan mengembangkan wilayah Mataram. Salah satu kebijakan utamanya adalah restrukturisasi pemerintahan, di mana ia menempatkan pejabat-pejabat yang loyal di posisi strategis. Panembahan Senopati juga memperkenalkan sistem administrasi yang lebih teratur, mencakup pengumpulan pajak dan pengawasan terhadap produksi pertanian.

Ekspansi Wilayah

Panembahan Senopati dikenal karena ambisinya untuk memperluas wilayah kekuasaan Mataram. Ia melancarkan berbagai ekspedisi militer untuk menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil di sekitar Mataram. Ekspansi ini tidak hanya bertujuan untuk memperluas wilayah, tetapi juga untuk mengamankan sumber daya yang penting bagi kemakmuran kerajaan. Panembahan Senopati menggunakan strategi diplomasi dan kekuatan militer untuk mencapai tujuannya. Dalam beberapa kasus, ia menjalin aliansi dengan penguasa lokal, sementara dalam kasus lain, ia menggunakan kekuatan militer untuk menaklukkan wilayah tersebut.

Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645)

Reformasi dan Modernisasi

Sultan Agung Hanyakrakusuma adalah salah satu raja terbesar dalam sejarah Kerajaan Mataram Islam. Di bawah kepemimpinannya, Mataram mengalami periode reformasi dan modernisasi yang signifikan. Sultan Agung memperkenalkan berbagai kebijakan yang bertujuan untuk memperkuat ekonomi, militer, dan administrasi kerajaan. Ia mendorong pengembangan infrastruktur seperti pembangunan jalan dan irigasi untuk mendukung pertanian. Selain itu, Sultan Agung juga memperkuat angkatan bersenjata dengan merekrut prajurit dari berbagai wilayah dan memperkenalkan teknologi militer baru.

Ekspansi dan Perang Melawan VOC

Sultan Agung terkenal karena perlawanan gigihnya terhadap VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Ia melihat kehadiran VOC sebagai ancaman terhadap kedaulatan dan kemakmuran Mataram. Pada tahun 1628 dan 1629, Sultan Agung melancarkan serangan besar-besaran terhadap Batavia, pusat kekuasaan VOC di Jawa. Meskipun serangan ini akhirnya gagal, perlawanan Sultan Agung menandai babak penting dalam sejarah perjuangan melawan kolonialisme di Indonesia. Sultan Agung juga berhasil memperluas wilayah kekuasaan Mataram hingga ke sebagian besar Jawa Tengah dan Jawa Timur, memperkuat posisinya sebagai penguasa dominan di Jawa.

Kebijakan Keagamaan dan Sosial

Sultan Agung dikenal sebagai pemimpin yang bijaksana dalam menggabungkan tradisi Islam dengan budaya lokal Jawa. Ia mendukung penyebaran Islam dan memperkenalkan berbagai ritual dan tradisi keagamaan yang menggabungkan unsur-unsur Islam dan kepercayaan lokal. Salah satu kebijakan terkenalnya adalah pelaksanaan tradisi Garebeg, sebuah upacara keagamaan yang menggabungkan unsur Islam dengan budaya Jawa. Sultan Agung juga mendorong pendidikan Islam dengan mendirikan pesantren dan mengundang ulama dari berbagai wilayah untuk mengajar di Mataram.

Baca Juga:  Hari Olahraga Nasional: Sejarah, Tema, dan Manfaatnya

Penerus Sultan Agung

Amangkurat I (1646-1677)

Setelah kematian Sultan Agung pada tahun 1645, tahta Mataram diwariskan kepada putranya, Amangkurat I. Masa pemerintahan Amangkurat I dikenal dengan periode yang penuh konflik internal dan tekanan eksternal. Amangkurat I berusaha melanjutkan kebijakan ayahnya, namun ia menghadapi tantangan besar dari para bangsawan yang tidak puas dan pemberontakan dari wilayah-wilayah yang dikuasai Mataram. Salah satu peristiwa penting pada masa pemerintahan Amangkurat I adalah pemberontakan Trunajaya pada tahun 1674-1680, yang hampir menghancurkan kekuasaan Mataram.

Periode Keruntuhan dan Konflik Internal

Setelah masa pemerintahan Amangkurat I, Mataram mengalami periode keruntuhan dan konflik internal yang berkepanjangan. Perpecahan di antara anggota keluarga kerajaan dan persaingan kekuasaan melemahkan Mataram secara signifikan. Pada akhir abad ke-17, kekuasaan Mataram semakin terfragmentasi dengan munculnya kerajaan-kerajaan kecil yang berusaha merdeka dari Mataram. Tekanan dari VOC dan kerajaan-kerajaan lain di Jawa juga memperburuk situasi, menyebabkan Mataram kehilangan banyak wilayah dan kekuatan politik.

IV Kebijakan Ekonomi dan Sosial

Sistem Pertanian dan Irigasi

Kerajaan Mataram Islam sangat bergantung pada sektor pertanian sebagai tulang punggung ekonominya. Wilayah Jawa yang subur memberikan potensi besar untuk pengembangan pertanian. Di bawah kepemimpinan Panembahan Senopati dan Sultan Agung, Mataram mengimplementasikan berbagai kebijakan untuk meningkatkan produktivitas pertanian. Sistem irigasi yang efisien dibangun untuk memastikan pasokan air yang cukup bagi sawah-sawah di kerajaan. Irigasi ini tidak hanya membantu dalam menjaga kesuburan tanah tetapi juga memungkinkan penanaman padi dua kali dalam setahun, meningkatkan hasil panen dan ketahanan pangan kerajaan.

Para petani, yang dikenal sebagai “kaum tani,” menjadi pilar utama ekonomi Mataram. Kerajaan memberikan insentif berupa tanah dan perlindungan kepada petani untuk meningkatkan produksi. Di sisi lain, pajak hasil bumi yang dikenakan oleh kerajaan menjadi sumber pendapatan yang penting untuk mendukung operasional kerajaan dan ekspansi wilayah.

Perdagangan dan Ekonomi

Selain pertanian, perdagangan juga memainkan peran penting dalam ekonomi Mataram. Kerajaan ini memanfaatkan posisi strategisnya di tengah Pulau Jawa untuk menjadi pusat perdagangan regional. Mataram mengembangkan pelabuhan-pelabuhan yang menghubungkan wilayah pedalaman dengan pesisir, memungkinkan arus barang dan jasa yang lebih lancar. Berbagai komoditas seperti beras, rempah-rempah, dan hasil hutan diperdagangkan, baik di pasar lokal maupun internasional.

Sultan Agung mendorong pertumbuhan ekonomi dengan memperluas hubungan dagang ke berbagai wilayah, termasuk dengan pedagang dari Eropa, Cina, dan Arab. Ia juga berusaha mengurangi ketergantungan pada VOC dengan membuka jalur perdagangan alternatif dan menjalin aliansi dagang dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Meski demikian, hubungan dengan VOC sering kali tegang akibat persaingan dan perbedaan kepentingan.

Struktur Sosial dan Budaya

Kerajaan Mataram Islam memiliki struktur sosial yang kompleks dan berlapis. Raja, yang disebut Sultan, berada di puncak hirarki sosial dan dianggap sebagai penguasa absolut dengan wewenang penuh atas kerajaan. Di bawah Sultan, terdapat bangsawan (priyayi) yang memegang posisi penting dalam administrasi dan militer. Para priyayi ini biasanya adalah kerabat dekat raja atau tokoh-tokoh yang memiliki loyalitas tinggi kepada kerajaan.

Strata sosial berikutnya adalah kaum pedagang dan petani. Pedagang memainkan peran vital dalam ekonomi kerajaan, sementara petani merupakan mayoritas populasi yang menyediakan kebutuhan pangan. Selain itu, ada juga kelompok masyarakat yang berprofesi sebagai pengrajin, nelayan, dan pekerja lainnya yang mendukung kehidupan sehari-hari di kerajaan.

Budaya di Mataram Islam merupakan hasil dari perpaduan tradisi Hindu-Buddha yang telah lama ada di Jawa dengan ajaran Islam. Seni, sastra, dan arsitektur berkembang pesat di bawah pengaruh kedua tradisi ini. Sultan Agung, misalnya, dikenal sebagai patron seni yang besar. Ia mendukung perkembangan kesusastraan dan seni pertunjukan, seperti wayang kulit, yang menggabungkan elemen-elemen Islam dengan cerita-cerita epik Hindu seperti Mahabharata dan Ramayana.

V Kebijakan Keagamaan

Perkembangan Islam di Jawa

Pada masa Kerajaan Mataram Islam, perkembangan agama Islam mengalami kemajuan pesat. Sebelum berdirinya Mataram, Islam telah menyebar di Jawa melalui peran para pedagang, ulama, dan wali songo (sembilan wali) yang berdakwah di berbagai wilayah. Penyebaran Islam ini mendapat momentum baru dengan berdirinya Mataram Islam, yang menjadikan Islam sebagai agama resmi kerajaan dan pusat pengembangan ajaran Islam di Jawa.

Kerajaan Mataram Islam mengambil peran aktif dalam mendukung dan memperluas pengaruh Islam di masyarakat. Raja-raja Mataram, terutama Sultan Agung, sangat mendukung penyebaran Islam dan melihatnya sebagai bagian integral dari identitas dan legitimasi kerajaan. Dalam konteks ini, Mataram tidak hanya berfungsi sebagai kekuatan politik tetapi juga sebagai pusat keagamaan yang mempengaruhi kehidupan sosial dan budaya masyarakat Jawa.

Pengaruh Islam dalam Pemerintahan dan Masyarakat

Reformasi Hukum dan Administrasi

Salah satu langkah penting yang diambil oleh Mataram Islam adalah reformasi hukum dan administrasi berdasarkan prinsip-prinsip Islam. Sultan Agung, misalnya, memperkenalkan sistem hukum yang menggabungkan hukum adat Jawa dengan hukum Islam (syariah). Sistem ini mencakup berbagai aspek kehidupan masyarakat, mulai dari hukum perdata hingga hukum pidana, dan diterapkan untuk menciptakan tatanan sosial yang lebih adil dan teratur.

Pendidikan Islam

Pendidikan Islam menjadi prioritas utama dalam kebijakan keagamaan Mataram. Sultan Agung mendirikan pesantren-pesantren di berbagai wilayah untuk mendidik generasi muda dalam ajaran Islam. Pesantren ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat pendidikan agama tetapi juga sebagai tempat pengembangan ilmu pengetahuan umum dan keterampilan praktis. Melalui pesantren, nilai-nilai Islam disebarkan dan dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.

Pembangunan Masjid dan Tempat Ibadah

Pembangunan masjid dan tempat ibadah lainnya juga menjadi bagian penting dari kebijakan keagamaan Mataram. Masjid-masjid besar dibangun di ibu kota dan kota-kota penting lainnya sebagai pusat kegiatan keagamaan dan sosial. Masjid Agung di Kotagede, misalnya, dibangun dengan arsitektur yang menggabungkan elemen-elemen tradisional Jawa dengan gaya Islam, mencerminkan integrasi budaya yang terjadi di Mataram.

Integrasi Budaya dan Keagamaan

Mataram Islam terkenal dengan kemampuannya dalam mengintegrasikan ajaran Islam dengan tradisi dan budaya lokal Jawa. Raja-raja Mataram, terutama Sultan Agung, memahami pentingnya mempertahankan elemen-elemen budaya yang telah ada untuk memastikan penerimaan yang luas terhadap Islam. Oleh karena itu, berbagai upacara dan ritual adat diintegrasikan dengan ajaran Islam, menciptakan sebuah bentuk sinkretisme yang unik.

Baca Juga:  Tradisi Keilmuan Islam: Menelusuri Jejak Kejayaan Intelektual

Tradisi Garebeg

Salah satu contoh dari integrasi budaya dan keagamaan ini adalah tradisi Garebeg. Garebeg adalah sebuah upacara besar yang diadakan untuk merayakan hari-hari besar Islam seperti Idul Fitri, Idul Adha, dan Maulid Nabi. Dalam upacara ini, berbagai kegiatan adat seperti kirab dan pertunjukan seni digelar, yang kemudian diikuti dengan doa dan ritual keagamaan. Tradisi ini tidak hanya memperkuat ikatan sosial dalam masyarakat tetapi juga memperkokoh identitas keislaman di Mataram.

Wayang Kulit

Wayang kulit, sebuah bentuk seni pertunjukan tradisional Jawa, juga diadaptasi untuk menyampaikan pesan-pesan Islam. Kisah-kisah epik seperti Mahabharata dan Ramayana tetap dipertahankan, namun diberikan interpretasi baru yang selaras dengan ajaran Islam. Tokoh-tokoh dalam wayang kulit sering kali digambarkan sebagai pahlawan yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam, menjadikan wayang kulit sebagai media dakwah yang efektif.

Peran Ulama dalam Masyarakat

Ulama memegang peran penting dalam masyarakat Mataram Islam. Mereka tidak hanya berfungsi sebagai pemimpin keagamaan tetapi juga sebagai penasihat raja dalam urusan politik dan sosial. Para ulama dihormati dan diberikan wewenang untuk mengajar dan membimbing masyarakat dalam praktik-praktik keagamaan. Keterlibatan ulama dalam pemerintahan membantu memastikan bahwa kebijakan kerajaan selaras dengan ajaran Islam.

VI Hubungan dengan VOC dan Negara-Negara Lain

Awal Hubungan dengan VOC

Kerajaan Mataram Islam, di bawah kepemimpinan Sultan Agung, mulai menjalin hubungan dengan VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada awal abad ke-17. VOC, yang merupakan perusahaan dagang Belanda, telah menancapkan pengaruhnya di berbagai wilayah Nusantara dengan mendirikan pos-pos dagang dan berupaya menguasai jalur perdagangan rempah-rempah. Pada awalnya, hubungan antara Mataram dan VOC bersifat diplomatis, di mana kedua pihak berusaha memanfaatkan satu sama lain untuk kepentingan perdagangan dan politik.

Sultan Agung menyadari kekuatan militer dan ekonomi VOC, tetapi ia juga melihat mereka sebagai ancaman potensial terhadap kedaulatan Mataram. Oleh karena itu, hubungan antara kedua pihak sering kali diwarnai oleh ketegangan dan kecurigaan. Pada masa ini, VOC berusaha memperkuat posisinya di Batavia (Jakarta) dan menjalin aliansi dengan kerajaan-kerajaan pesisir Jawa yang sering kali bersaing dengan Mataram.

Konflik dan Perjanjian dengan VOC

Ketegangan antara Mataram dan VOC mencapai puncaknya pada tahun 1628 dan 1629, ketika Sultan Agung melancarkan dua kali serangan besar-besaran terhadap Batavia. Tujuan dari serangan ini adalah untuk menghancurkan pusat kekuasaan VOC di Jawa dan mengusir mereka dari Nusantara. Meskipun serangan ini menunjukkan keberanian dan tekad Sultan Agung, serangan tersebut gagal mencapai tujuannya. VOC berhasil mempertahankan Batavia berkat pertahanan yang kuat dan bantuan logistik dari armada laut mereka.

Kegagalan ini tidak mengakhiri perlawanan Mataram terhadap VOC. Sultan Agung terus berupaya melemahkan pengaruh VOC melalui berbagai cara, termasuk diplomasi dan aliansi dengan kerajaan-kerajaan lain di Nusantara. Setelah kematian Sultan Agung pada tahun 1645, penerusnya Amangkurat I mencoba pendekatan yang berbeda dengan VOC. Amangkurat I, yang menghadapi banyak tantangan internal, melihat perlunya menjalin hubungan yang lebih pragmatis dengan VOC untuk menjaga stabilitas kerajaannya.

Pada tahun 1646, Amangkurat I menandatangani perjanjian dengan VOC yang memberikan mereka hak-hak dagang eksklusif di beberapa pelabuhan Mataram. Perjanjian ini memberikan keuntungan ekonomi bagi VOC, tetapi juga menunjukkan kompromi yang harus dilakukan oleh Mataram untuk menjaga hubungan yang relatif damai dengan kekuatan kolonial yang semakin dominan.

Pengaruh Hubungan Luar Negeri terhadap Mataram

Hubungan dengan VOC dan negara-negara lain memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan politik dan ekonomi Mataram. Di satu sisi, hubungan ini membuka peluang perdagangan yang menguntungkan dan akses ke barang-barang yang sebelumnya sulit diperoleh. Namun, di sisi lain, ketergantungan pada perdagangan dengan VOC dan negara-negara asing menimbulkan risiko besar, termasuk intervensi dalam urusan dalam negeri Mataram.

Dampak Ekonomi

Secara ekonomi, hubungan dengan VOC memungkinkan Mataram untuk mengakses pasar internasional dan memperoleh barang-barang mewah serta senjata modern. Namun, perjanjian dagang yang tidak adil sering kali merugikan Mataram, di mana VOC memonopoli perdagangan dan menetapkan harga yang menguntungkan mereka. Ketergantungan pada VOC juga menyebabkan ketidakstabilan ekonomi ketika hubungan diplomatik memburuk atau ketika VOC memberlakukan sanksi perdagangan.

Dampak Politik

Secara politik, hubungan dengan VOC menyebabkan fragmentasi dan konflik internal di Mataram. Pengaruh VOC sering kali digunakan untuk memanipulasi persaingan di antara bangsawan dan memperlemah kekuasaan raja. Misalnya, dukungan VOC terhadap pemberontakan Trunajaya pada tahun 1670-an menunjukkan bagaimana VOC menggunakan ketidakpuasan internal untuk melemahkan Mataram dari dalam.

Strategi Diplomasi

Mataram juga mencoba menjalin hubungan dengan negara-negara lain selain VOC. Misalnya, Sultan Agung mengirim utusan ke Kesultanan Aceh dan Kesultanan Ottoman untuk mencari aliansi dan dukungan dalam menghadapi VOC. Meskipun hubungan ini tidak selalu memberikan hasil yang diharapkan, usaha diplomatik ini menunjukkan keinginan Mataram untuk mencari sekutu di luar VOC dan memperluas jaringan diplomatiknya.

VII Masa Kejatuhan dan Perpecahan

Penyebab Kejatuhan

Konflik Internal

Kerajaan Mataram Islam mulai mengalami masa-masa sulit setelah puncak kejayaan di bawah kepemimpinan Sultan Agung. Salah satu penyebab utama kejatuhan Mataram adalah konflik internal yang berkepanjangan. Setelah kematian Sultan Agung pada tahun 1645, putranya Amangkurat I naik tahta. Amangkurat I dikenal sebagai penguasa yang kejam dan otoriter, yang tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk mempertahankan kekuasaannya. Kebijakan represif ini menyebabkan ketidakpuasan di kalangan bangsawan dan rakyat.

Pemberontakan Trunajaya (1674-1679) adalah salah satu contoh nyata dari konflik internal yang melanda Mataram. Trunajaya, seorang bangsawan dari Madura, berhasil mengumpulkan dukungan dari berbagai elemen masyarakat yang tidak puas dengan pemerintahan Amangkurat I. Pemberontakan ini hampir menggulingkan kekuasaan Mataram dan hanya dapat dipadamkan dengan bantuan VOC. Bantuan dari VOC, meskipun berhasil mengatasi pemberontakan, juga menambah beban politik dan ekonomi bagi Mataram karena mereka harus membayar mahal untuk bantuan tersebut.

Tekanan Eksternal

Tekanan eksternal dari VOC juga memainkan peran penting dalam kejatuhan Mataram. VOC yang semakin kuat di wilayah Nusantara, berusaha mengendalikan perdagangan dan politik di Jawa. Mereka sering kali memanfaatkan konflik internal di Mataram untuk memperkuat posisinya. Sebagai contoh, setelah membantu Amangkurat I memadamkan pemberontakan Trunajaya, VOC menuntut imbalan berupa hak-hak perdagangan eksklusif dan konsesi-konsesi politik yang menguntungkan mereka.

Tekanan dari VOC ini menambah beban ekonomi Mataram, yang sudah tertekan oleh perang dan pemberontakan. VOC juga berusaha memecah belah Mataram dengan mendukung faksi-faksi yang berlawanan di dalam kerajaan, sehingga memperlemah kekuasaan raja.

Pembagian Wilayah Mataram

Perjanjian Giyanti (1755)

Perjanjian Giyanti pada tahun 1755 adalah salah satu momen penting dalam sejarah Mataram yang menandai pembagian wilayah kerajaan. Perjanjian ini ditandatangani antara VOC dan Susuhunan Pakubuwono III dari Mataram, serta Pangeran Mangkubumi yang kemudian dikenal sebagai Sultan Hamengkubuwono I. Perjanjian ini mengakhiri perang saudara antara kedua pihak dan membagi Mataram menjadi dua kerajaan: Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta.

Baca Juga:  10 Novel Sejarah yang Wajib Dibaca, dari Indonesia hingga Dunia

Pembagian ini didorong oleh upaya VOC untuk mengendalikan politik di Jawa dengan membagi kekuatan yang ada. VOC melihat bahwa dengan membagi Mataram menjadi dua entitas yang lebih kecil, mereka dapat lebih mudah mengendalikan dan mengelola hubungan dengan masing-masing kerajaan. Pembagian ini juga mencerminkan ketidakmampuan internal Mataram untuk menyelesaikan konflik dan memerintah secara efektif.

Perjanjian Salatiga (1757)

Tidak lama setelah Perjanjian Giyanti, Perjanjian Salatiga pada tahun 1757 semakin memperlemah Mataram dengan membagi lagi wilayah kerajaan. Perjanjian ini ditandatangani oleh VOC, Kasunanan Surakarta, dan Pangeran Sambernyawa (Raden Mas Said) yang kemudian dikenal sebagai Mangkunegara I. Perjanjian ini mengakui Mangkunegara I sebagai penguasa dari Mangkunegaran, wilayah baru yang diambil dari Kasunanan Surakarta.

Pembagian wilayah yang terus-menerus ini menunjukkan bagaimana VOC menggunakan strategi divide et impera (pecah belah dan kuasai) untuk mempertahankan kekuasaan mereka di Jawa. Dengan adanya beberapa entitas politik yang lebih kecil dan bersaing satu sama lain, VOC dapat memainkan peran sebagai penengah dan mengendalikan jalannya politik di Jawa.

Dampak Pembagian Wilayah

Pembagian wilayah Mataram menjadi beberapa entitas politik yang lebih kecil memiliki dampak jangka panjang yang signifikan terhadap struktur politik dan sosial di Jawa. Pertama, pembagian ini menyebabkan melemahnya otoritas pusat dan munculnya entitas politik yang lebih otonom, yang sering kali bersaing satu sama lain. Kedua, pembagian ini mengakibatkan fragmentasi sosial dan ekonomi, di mana sumber daya yang sebelumnya terkonsentrasi di satu pusat kini tersebar dan sering kali kurang optimal dalam pemanfaatannya.

VOC, dengan strategi divide et impera-nya, berhasil mempertahankan pengaruhnya di Jawa selama beberapa dekade setelah pembagian ini. Namun, pembagian ini juga meninggalkan warisan konflik dan ketidakstabilan yang terus berlanjut hingga masa-masa berikutnya. Kerajaan-kerajaan yang muncul dari pembagian Mataram, seperti Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta, terus berusaha membangun kembali kekuatan mereka dan menavigasi dinamika politik yang kompleks di bawah bayang-bayang VOC.

VIII Warisan dan Pengaruh Kerajaan Mataram Islam

Warisan Budaya dan Arsitektur

Kerajaan Mataram Islam meninggalkan warisan budaya yang sangat kaya dan beragam. Salah satu kontribusi terbesarnya adalah dalam bidang arsitektur. Beberapa bangunan bersejarah yang masih berdiri hingga kini adalah Masjid Agung Kotagede dan kompleks keraton di Yogyakarta dan Surakarta. Bangunan-bangunan ini tidak hanya menjadi saksi bisu kejayaan Mataram, tetapi juga representasi dari integrasi seni Islam dengan elemen-elemen tradisional Jawa.

Masjid Agung Kotagede

Masjid Agung Kotagede, yang didirikan oleh Panembahan Senopati, adalah salah satu contoh terbaik dari arsitektur Mataram. Masjid ini menggabungkan elemen arsitektur Hindu-Buddha dengan Islam, menciptakan sebuah gaya yang unik. Penggunaan ukiran kayu yang rumit, struktur atap tumpang, dan penempatan serambi yang luas adalah beberapa ciri khas dari masjid ini.

Keraton Yogyakarta dan Surakarta

Keraton Yogyakarta dan Keraton Surakarta, yang dibangun setelah pembagian Kerajaan Mataram, juga merupakan peninggalan arsitektur penting. Kedua keraton ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat pemerintahan tetapi juga sebagai pusat budaya dan spiritual. Struktur keraton, dengan tata ruang yang kompleks, hiasan-hiasan artistik, dan upacara-upacara tradisional, mencerminkan filosofi Jawa dan keagamaan yang mendalam.

Pengaruh dalam Sejarah dan Kebudayaan Jawa

Warisan Mataram tidak hanya terbatas pada arsitektur, tetapi juga mencakup berbagai aspek kebudayaan Jawa, seperti seni pertunjukan, sastra, dan adat istiadat. Salah satu bentuk seni pertunjukan yang mendapat pengaruh besar adalah wayang kulit. Wayang kulit, yang pada awalnya mengisahkan cerita-cerita epik Hindu seperti Mahabharata dan Ramayana, mulai mengadopsi tema-tema Islam dan lokal selama masa Mataram.

Seni Pertunjukan Wayang Kulit

Seni pertunjukan wayang kulit tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga sebagai media pendidikan dan penyebaran ajaran moral dan keagamaan. Tokoh-tokoh dalam wayang sering kali digambarkan sebagai pahlawan yang menjunjung tinggi nilai-nilai Islam dan kebajikan. Dalang, atau pencerita dalam pertunjukan wayang, berperan sebagai pendidik yang menyampaikan pesan-pesan moral melalui cerita-cerita yang mereka bawakan.

Sastra dan Adat Istiadat

Dalam bidang sastra, karya-karya seperti Babad Tanah Jawi (sejarah Jawa) mencatat berbagai peristiwa penting selama periode Mataram. Naskah-naskah ini tidak hanya berfungsi sebagai catatan sejarah tetapi juga sebagai cermin dari nilai-nilai dan pandangan dunia masyarakat pada masa itu. Adat istiadat, seperti tradisi Grebeg dan upacara sekaten, yang diadakan untuk merayakan hari-hari besar Islam, menunjukkan bagaimana Mataram berhasil menggabungkan elemen-elemen lokal dengan ajaran Islam.

Pengaruh dalam Pembentukan Negara Indonesia Modern

Warisan Mataram juga memainkan peran penting dalam pembentukan identitas nasional Indonesia. Semangat perlawanan terhadap VOC yang dipelopori oleh Sultan Agung, misalnya, menjadi inspirasi bagi gerakan-gerakan nasionalis di kemudian hari. Pemikiran dan strategi Sultan Agung dalam melawan dominasi asing menunjukkan pentingnya kedaulatan dan integritas wilayah, nilai-nilai yang kemudian diadopsi oleh para pejuang kemerdekaan Indonesia.

Pengaruh Politik dan Kultural

Selain itu, konsep-konsep pemerintahan dan administrasi yang dikembangkan selama masa Mataram, seperti sistem irigasi dan pengelolaan tanah, memberikan dasar bagi pengembangan kebijakan agraria dan pembangunan ekonomi di Indonesia modern. Sistem sosial yang mengintegrasikan nilai-nilai keagamaan dan budaya lokal juga menjadi model bagi pengelolaan keberagaman di Indonesia.

Warisan Filosofi Jawa

Warisan filosofi Jawa yang diwariskan oleh Mataram, seperti konsep “memayu hayuning bawana” (menjaga keindahan dunia) dan “manunggaling kawula gusti” (kesatuan antara rakyat dan penguasa), terus mempengaruhi cara pandang dan kehidupan masyarakat Jawa hingga saat ini. Filosofi ini menekankan harmoni, keseimbangan, dan kerjasama antara manusia dan lingkungannya, yang menjadi prinsip penting dalam kehidupan masyarakat Jawa.

Daftar Pustaka

  1. Carey, P. B. R. (2008). Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855. Jakarta: Komunitas Bambu.
  2. Moedjanto, G. (1987). Konsep Kekuasaan Jawa: Penerapannya oleh Raja-Raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius.
  3. Lombard, D. (2005). Nusa Jawa: Silang Budaya (Jilid 2: Jaringan Asia). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
  4. Kartodirdjo, S. (1993). Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme sampai Nasionalisme (Jilid 1). Jakarta: Gramedia.
  5. Hoadley, M. C. (1994). Kerajaan Mataram Islam: Kenangan Masa Lalu di Jawa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  6. Ricklets, M. C. (2007). Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
  7. Purwadi. (2007). Sejarah Raja-Raja Jawa. Yogyakarta: Media Ilmu.
  8. Soemarsaid Moertono. (1985). Negara dan Kekuasaan di Jawa Abad XVI-XIX: Studi Tentang Masa Mataram II. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
  9. Atmodjo, S. (1986). Mataram Islam: Pusat Kekuasaan Politik dan Budaya Jawa. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama.
  10. Subroto, H. E. (2008). Kerajaan Mataram Islam: Kejayaan dan Kemundurannya. Surabaya: Paramita.

Jurnal

  1. Ricklefs, M. C. (1993). “Islamic Reform in Java: The Role of the Pesantren.” Indonesia. No. 55, April 1993.
  2. Wolters, O. W. (1982). “A Few and Javanese Culture.” Indonesia. No. 34, October 1982.
  3. Carey, P. (1991). “Aspects of Javanese History in the 17th Century: A Review of Recent Debates.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Vol. 147, No. 2/3.
  4. Ricklefs, M. C. (1985). “The Emergence of Mataram: Islam, Court Culture and Ethnicity in Java.” Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde. Vol. 141, No. 4.
  5. Anderson, B. R. O’G. (1966). “The Idea of Power in Javanese Culture.” Cornell Modern Indonesia Project. Monograph Series.
Posted in Ragam

Artikel Terkait: