Menu Tutup

Mahatma Gandhi: Bapak Bangsa India yang Menginspirasi Dunia

Mahatma Gandhi adalah seorang tokoh penting dalam sejarah India dan dunia, yang dikenal sebagai pemimpin gerakan kemerdekaan India dari penjajahan Inggris dengan menggunakan metode perlawanan tanpa kekerasan. Ia juga merupakan seorang pengacara, aktivis sosial, dan penulis yang taat secara spiritual. Nama Mahatma, yang berarti “jiwa agung” dalam bahasa Sanskerta, diberikan kepadanya oleh para pengikutnya di Afrika Selatan pada tahun 1914. Di India, ia juga dipanggil Bapu, yang berarti “ayah” atau “papa” dalam bahasa Gujarat.

Kehidupan Awal dan Pendidikan

Gandhi lahir pada 2 Oktober 1869 di Porbandar, sebuah kota pantai di negara bagian Gujarat, India. Ayahnya, Karamchand Gandhi, adalah perdana menteri dari beberapa kerajaan kecil di wilayah tersebut. Ibunya, Putlibai Gandhi, adalah seorang wanita saleh yang mengikuti ajaran Hinduisme dan Jainisme. Gandhi memiliki tiga saudara kandung: dua kakak laki-laki dan satu adik perempuan.

Gandhi mendapatkan pendidikan dasar dan menengah di sekolah-sekolah lokal di Rajkot dan Bhavnagar. Ia menikah dengan Kasturba Makhanji, seorang gadis dari keluarga kaya, pada usia 13 tahun, sesuai dengan tradisi perjodohan di India. Pasangan ini kemudian memiliki empat anak laki-laki: Harilal, Manilal, Ramdas, dan Devdas.

Pada usia 18 tahun, Gandhi pergi ke London untuk belajar hukum di University College London. Ia lulus pada tahun 1891 dan menjadi anggota dari Inner Temple, salah satu lembaga profesional untuk pengacara di Inggris. Ia kembali ke India pada tahun yang sama dan mencoba untuk memulai praktik hukum di Bombay (sekarang Mumbai), tetapi tidak berhasil menarik banyak klien.

Karier di Afrika Selatan dan Perjuangan Hak Sipil

Pada tahun 1893, Gandhi mendapatkan tawaran untuk menjadi pengacara bagi sebuah perusahaan India di Natal, sebuah koloni Inggris di Afrika Selatan. Ia menerima tawaran tersebut dan berangkat ke sana dengan harapan untuk mendapatkan pengalaman dan uang. Namun, ia segera menghadapi diskriminasi rasial dan ketidakadilan yang dialami oleh orang-orang India dan orang-orang berkulit gelap lainnya di bawah pemerintahan kolonial.

Baca Juga:  Kerajaan Malaka: Sejarah, Kebudayaan, dan Kejatuhan

Salah satu insiden yang mengubah hidup Gandhi terjadi pada bulan Juni 1893, ketika ia naik kereta api dari Durban ke Pretoria untuk sebuah kasus hukum. Ia membeli tiket kelas satu, tetapi ditolak oleh kondektur kereta karena ia bukan orang kulit putih. Ia menolak untuk pindah ke gerbong kelas tiga dan akhirnya dikeluarkan dari kereta dengan paksa di stasiun Pietermaritzburg. Malam itu, ia menghabiskan waktu di sebuah ruang tunggu yang dingin dan mempertimbangkan pilihannya: kembali ke India atau melawan ketidakadilan.

Ia memilih untuk tetap tinggal di Afrika Selatan dan memulai perjuangan hak sipil bagi orang-orang India dan orang-orang berkulit gelap lainnya. Ia membentuk Natal Indian Congress pada tahun 1894, sebuah organisasi politik yang bertujuan untuk meningkatkan kondisi sosial dan ekonomi orang-orang India di Natal. Ia juga mengembangkan konsep satyagraha (kebenaran atau jiwa) atau perlawanan tanpa kekerasan terhadap ketidakadilan. Ia menginspirasi orang-orang India untuk melakukan protes damai, mogok kerja, boikot barang-barang Inggris, pembakaran sertifikat registrasi (yang diperlukan oleh pemerintah kolonial untuk mengidentifikasi orang-orang India), pembuatan garam sendiri (untuk melawan pajak garam Inggris), dan perjalanan massal ke Transvaal (sebuah koloni Inggris yang melarang orang-orang India masuk).

Gandhi menghabiskan 21 tahun di Afrika Selatan, di mana ia juga mendirikan sebuah komunitas yang disebut Tolstoy Farm, yang didasarkan pada prinsip-prinsip kesederhanaan, swadaya, dan kerjasama. Ia juga menulis banyak artikel, pamflet, dan buku tentang politik, etika, agama, dan kehidupan. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah The Story of My Experiments with Truth, sebuah autobiografi yang menceritakan perjalanan spiritualnya.

Baca Juga:  Sejarah Indonesia: Dampak Positif dan Negatif Kolonialisme dan Imperialisme

Kepemimpinan Gerakan Kemerdekaan India

Pada tahun 1915, Gandhi kembali ke India dan bergabung dengan Indian National Congress (INC), sebuah partai politik yang memimpin gerakan kemerdekaan India dari penjajahan Inggris. Ia segera menjadi pemimpin de facto dari partai tersebut dan mengubah strateginya dari kerjasama dengan pemerintah kolonial menjadi konfrontasi non-kekerasan. Ia juga memperluas basis dukungan partai tersebut dengan melibatkan petani, buruh, dan wanita dalam perjuangan kemerdekaan.

Beberapa kampanye nasional yang dipimpin oleh Gandhi antara lain:

  • Gerakan Non-Kerjasama (1920-1922), yang menyerukan boikot terhadap institusi-institusi Inggris seperti sekolah, pengadilan, pajak, dan pemilihan umum.
  • Gerakan Desa Swaraj (1921), yang mendorong pembangunan ekonomi lokal dan swadaya melalui industri rumahan seperti tenun kain khadi (kain katun kasar) dengan mesin tenun manual.
  • Gerakan Sipil Dera (1930-1934), yang merupakan puncak dari perlawanan tanpa kekerasan terhadap penjajahan Inggris. Kampanye ini dimulai dengan Salt March atau Dandi March, sebuah perjalanan 400 km (250 mil) dari Sabarmati Ashram (tempat tinggal Gandhi) di Ahmedabad ke pantai Dandi di Gujarat, di mana Gandhi dan ribuan pengikutnya membuat garam sendiri sebagai tanda protes terhadap pajak garam Inggris. Kampanye ini juga melibatkan pembangkangan sipil massal terhadap hukum-hukum kolonial dan penangkapan ribuan aktivis oleh pihak berwenang Inggris.
  • Gerakan Quit India (1942), yang merupakan seruan terakhir Gandhi kepada orang-orang India untuk mengusir Inggris dari tanah air mereka dengan segala cara yang mungkin. Ia menyatakan: “Do or die” (Berbuat atau mati). Kampanye ini menimbulkan gelombang protes, mogok kerja, sabotase, dan kekerasan di seluruh India, yang direspon oleh pemerintah kolonial dengan penindasan brutal.

Selama perjuangan kemerdekaan India, Gandhi juga berusaha untuk mengatasi masalah-masalah sosial seperti kemiskinan, diskriminasi kasta (terutama terhadap kaum dalit atau “orang-orang tak tersentuh”), kekerasan komunal (antara umat Hindu dan Muslim), dan hak-hak wanita. Ia juga berdialog dengan para pemimpin agama dan politik lainnya seperti Muhammad Ali Jinnah (pemimpin Liga Muslim India), Jawaharlal Nehru (pemimpin sayap kiri INC), Vallabhbhai Patel (pemimpin sayap kanan INC), Rabindranath Tagore (penyair dan sastrawan terkenal), dan Lord Mountbatten (wakil raja Inggris terakhir di India).

Baca Juga:  Palembang di Bawah Cengkeraman Jepang: Sejarah, Dampak, dan Perlawanan

Kematian dan Warisan

Pada tanggal 15 Agustus 1947, India merdeka dari penjajahan Inggris, tetapi juga terpecah menjadi dua negara: India yang mayoritas Hindu dan Pakistan yang mayoritas Muslim. Pembagian ini menyebabkan migrasi besar-besaran dan kekerasan komunal antara kedua belah pihak, yang menewaskan sekitar satu juta orang. Gandhi berusaha untuk meredakan ketegangan dengan melakukan puasa dan kunjungan ke daerah-daerah konflik.

Pada tanggal 30 Januari 1948, Gandhi dibunuh oleh Nathuram Godse, seorang nasionalis Hindu ekstremis yang menentang usaha Gandhi untuk mendamaikan umat Hindu dan Muslim. Ia menembak Gandhi tiga kali di dada saat Gandhi sedang berjalan menuju tempat doa sore di Birla House, New Delhi. Gandhi meninggal beberapa menit kemudian dengan mengucapkan kata “Hey Ram” (Ya Tuhan). Ia berusia 78 tahun.

Kematian Gandhi menimbulkan kesedihan dan kemarahan di seluruh India dan dunia. Jutaan orang mengikuti prosesi pemakamannya yang berlangsung selama lima jam dari Birla House ke Sungai Yamuna, di mana jenazahnya dikremasi sesuai dengan ritual Hindu. Pemerintah India mengumumkan hari berkabung nasional dan mengeluarkan pernyataan resmi yang menyatakan: “Kegelapan turun ke bumi saat matahari terbenam. Seorang bintang telah lenyap dari langit kita. Suara-suara besar telah diam.”

Gandhi meninggalkan warisan yang abadi bagi India dan dunia. Ia dihormati sebagai Bapak Bangsa India dan dianggap sebagai salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah umat manusia. Ia juga menjadi inspirasi bagi banyak pemimpin dan gerakan hak asasi manusia di seluruh dunia, seperti Martin Luther King Jr., Nelson Mandela, Dalai Lama, Aung San Suu Kyi, dan Malala Yousafzai. Ajaran dan filosofi Gandhi tentang perlawanan tanpa kekerasan, kebenaran, cinta, kedamaian, dan harmoni masih relevan hingga saat ini.

Posted in Ragam

Artikel Terkait: