Republik Maluku Selatan: Sebuah Gerakan Separatis yang Gagal

Republik Maluku Selatan (RMS) adalah sebuah gerakan kemerdekaan yang diproklamasikan pada tanggal 25 April 1950. Klaim yang diambil oleh RMS meliputi wilayah Seram, Buru, dan Ambon, pulau-pulau terbesar di Maluku bagian selatan. Gerakan ini ditumpas secara militer dan dibubarkan oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 19631.

Latar Belakang

Maluku merupakan salah satu kota yang pada saat itu terkenal akan kekayaan rempah-rempahnya, sebab itu Maluku dijuluki sebagai Kepulauan Rempah. Rakyat Maluku pun berdagang tidak hanya dengan pedagang Nusantara saja, tetapi juga mancanegara, seperti Tionghoa, Arab, dan Eropa. Kekayaan Maluku akan rempahnya ini kemudian menjadi daya tarik bagi bangsa Eropa yang akhirnya menguasai Maluku2.

Maluku sendiri dinyatakan sebagai salah satu provinsi Republik Indonesia dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dikumandangkan. Bersatunya Maluku dengan Indonesia ini guna untuk mencegah Belanda dalam upaya menguasai Maluku dan kekayaannya. Namun, setelah Maluku dinyatakan bersatu dengan NKRI, Manusama, salah satu tokoh pejuang RMS menyatakan bahwa bergabungnya Maluku dengan Indonesia akan memicu masalah. Manusama pun mengadakan rapat bersama para penguasa desa di Pulau Ambon2.

Salah satu alasan yang mendorong Manusama dan sebagian rakyat Maluku untuk memisahkan diri dari Indonesia adalah perbedaan agama. Mayoritas penduduk Maluku beragama Kristen, sedangkan mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam. Mereka khawatir bahwa pemerintah pusat akan mendiskriminasi mereka karena perbedaan tersebut1.

Selain itu, Manusama dan pendukungnya juga merasa bahwa mereka tidak mendapatkan hak-hak politik dan ekonomi yang seimbang dari pemerintah pusat. Mereka menuntut agar Maluku diberikan status otonomi khusus atau bahkan menjadi negara bagian dalam federasi Indonesia. Mereka juga menolak untuk membayar pajak kepada pemerintah pusat dan menginginkan agar sumber daya alam di Maluku dikelola oleh pemerintah lokal1.

Pemberontakan

Pada tanggal 25 April 1950, Manusama dan pendukungnya memproklamasikan berdirinya Republik Maluku Selatan (RMS) di Ambon. Mereka mengangkat Soumokil, mantan jaksa agung NIT (Negara Indonesia Timur), sebagai presiden RMS. Mereka juga mengibarkan bendera RMS yang berwarna biru-putih-merah dengan lambang bintang emas di tengah3.

Pemberontakan RMS didukung oleh Belanda, yang masih ingin mempertahankan kepentingannya di Maluku. Belanda memberikan bantuan senjata, amunisi, dan pelatihan militer kepada pasukan RMS. Belanda juga membujuk beberapa negara lain, seperti Australia dan Amerika Serikat, untuk mengakui RMS sebagai negara merdeka1.

Namun, pemberontakan RMS tidak mendapat dukungan dari seluruh rakyat Maluku. Banyak penduduk Maluku yang tetap setia kepada Indonesia dan menentang RMS. Mereka membentuk pasukan-pasukan sukarelawan yang bersedia berperang melawan RMS. Mereka juga mendapat bantuan dari tentara nasional Indonesia (TNI) yang dikirim oleh pemerintah pusat untuk menumpas RMS1.

Perang antara TNI dan RMS berlangsung selama 13 tahun. Pertempuran-pertempuran sengit terjadi di berbagai wilayah di Maluku, terutama di Ambon, Seram, dan Buru. Korban jiwa dari kedua belah pihak berjatuhan. Selain itu, perang juga menimbulkan kerusakan infrastruktur, pengungsian penduduk, dan krisis kemanusiaan1.

Akhir

Pemberontakan RMS akhirnya berakhir pada tahun 1963, ketika TNI berhasil menguasai seluruh wilayah Maluku dan menangkap Soumokil. Soumokil kemudian diadili oleh pengadilan militer dan dihukum mati. Ia dieksekusi dengan cara ditembak pada tanggal 12 April 1966 di Pulau Obi3.

Meskipun pemberontakan RMS telah ditumpas, gerakan ini masih terus hidup di dalam dan luar negeri. Beberapa orang Maluku yang melarikan diri ke Belanda membentuk pemerintahan RMS dalam pengasingan. Pemerintahan ini masih berdiri hingga saat ini dan dipimpin oleh John Wattilete, pengacara berusia 55 tahun, yang dilantik pada April 20104.

Pemerintahan RMS dalam pengasingan ini terus berusaha untuk mendapatkan pengakuan internasional dan mendesak Indonesia untuk mengadakan dialog damai. Mereka juga terus melakukan aksi-aksi protes dan propaganda untuk menyuarakan aspirasi mereka. Salah satu aksi yang paling kontroversial adalah pengibaran bendera RMS di berbagai tempat, termasuk di Maluku4.

Pengibaran bendera RMS ini sering menimbulkan reaksi keras dari pihak keamanan dan masyarakat Indonesia. Mereka menganggap bahwa pengibaran bendera RMS adalah tindakan makar yang melanggar undang-undang dan mengancam kedaulatan negara. Mereka juga mengecam bahwa pemerintahan RMS dalam pengasingan adalah kelompok separatis yang tidak memiliki legitimasi4.

Pemerintah Indonesia sendiri menolak untuk mengakui RMS sebagai negara merdeka atau sebagai mitra dialog. Pemerintah Indonesia menegaskan bahwa Maluku adalah bagian integral dari NKRI yang tidak dapat dinegosiasikan. Pemerintah Indonesia juga berusaha untuk meningkatkan pembangunan dan kesejahteraan di Maluku agar rakyat Maluku tidak terpengaruh oleh gerakan RMS4.

Sumber:
(1) Republik Maluku Selatan (RMS): Latar Belakang, Pemberontakan, Akhir. https://www.studiobelajar.com/republik-maluku-selatan/.
(2) Republik Maluku Selatan (RMS): Latar Belakang dan Upaya Penumpasannya. https://www.kompas.com/stori/read/2021/04/27/190919879/republik-maluku-selatan-rms-latar-belakang-dan-upaya-penumpasannya.
(3) Peristiwa Republik Maluku Selatan – Museum Perumusan Naskah Proklamasi. https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/mpnp/peristiwa-republik-maluku-selatan/.
(4) Republik Maluku Selatan – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.