Menu Tutup

Bolehkah Sahur Setelah Adzan Subuh Karena Telat Bangun?

Sahur adalah salah satu sunnah Rasulullah SAW yang sangat dianjurkan bagi orang yang ingin berpuasa. Sahur dapat membantu orang yang berpuasa agar lebih kuat dan sehat dalam menjalankan ibadahnya.

Namun, bagaimana jika kita telat bangun dan baru bisa makan sahur setelah adzan subuh berkumandang? Apakah puasa kita masih sah?

Menurut Al-Quran dan hadits, batas waktu sahur adalah saat fajar tiba atau terbitnya benang putih dari benang hitam. Hal ini sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 187:

“… Makan dan minumlah hingga jelas bagimu (perbedaan) antara benang putih dan benang hitam, yaitu fajar. Kemudian, sempurnakanlah puasa sampai (datang) malam …”

Dalam hadits riwayat Anas bin Malik dari Zahid bin Tsabit, dia berkata: “Kami makan sahur bersama Rasulullah SAW, kemudian (setelah makan sahur) kami berdiri untuk melaksanakan shalat. Aku (Anas bin Malik) berkata: ‘Berapa perkiraan waktu antara keduanya (antara makan sahur dengan shalat fajar)?’ Zahid bin Tsabit berkata: ’ (seperti waktu yang dibutuhkan untuk membaca) 50 ayat’”.

Dari hadits ini, kita dapat mengetahui bahwa sahur dilakukan mendekati waktu fajar atau sebelum terbitnya fajar. Adapun adzan subuh dikumandangkan saat terbitnya fajar. Oleh karena itu, jika kita makan sahur setelah adzan subuh, maka itu berarti kita telah melewati batas waktu sahur.

Bolehkah Sahur saat Azan Subuh Berkumandang?

Merujuk pada buku Saiyid Mahadhir Lc MA, disebutkan Imam An Nawawi secara tegas mengatakan bahwa para ulama tidak berselisih apabila waktu Subuh tiba dan masih ada makanan di mulut seseorang, maka ia harus memuntahkannya. Setelahnya, orang tersebut boleh melanjutkan puasa, namun jika sengaja ditelan padahal sudah tahu Subuh tiba maka puasanya batal.

“Jika salah seorang di antara kamu mendengar azan sedangkan ia masih memegang piring (makan) maka janganlah ia meletakkannya sehingga ia menyelesaikan hajatnya (makannya),” (HR Ahmad, Abu Dawud, Hakim).

Imam An Nawawi menjelaskan terdapat hadits yang membolehkan makan dan minum, tetapi hanya untuk azan pertama bukan azan kedua. Sebab, pada zaman nabi dahulu azan Subuh dikumandangkan dua kali, pertama azannya Bilal sebelum masuknya waktu Subuh dan kedua azannya Ibnu Ummi Maktum ketika Subuh tiba, berikut bunyi haditsnya:

“Bahwa Bilal azan pada waktu malam. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Makan minumlah kalian sampai Ibnu Ummi Maktum azan. Karena dia tidak akan azan kecuali setelah terbitnya fajar shadiq,” (HR Bukhari dan Muslim).

Dengan demikian, kita dianjurkan menyelesaikan aktivitas sahur 10 menit sebelum masuk waktu Subuh. Ini dimaksudkan agar puasa yang dijalani terbebas dari keraguan.

Dikutip dari tnnujabar.or.id, Adapun hadis mauquf (tidak sampai kepada Nabi SAW) dari sahabat Hudzayfah bin al-Yaman yang dikeluarkan oleh I. Al-Nasa`iy, I. Ibn Majah, I. Ahmad tentang klaim makan sahurnya Hudzayfah bersama Nabi SAW pada siang hari (di redaksi lain: bakda subuh), namun belum muncul matahari (تَسَحَّرْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ النَّهَارُ، إِلَّا أَنَّ الشَّمْسَ لَمْ تَطْلُعْ).

Juga hadis marfu` (sampai kepada Nabi SAW) dari Abu Hurayrah yang dikeluarkan oleh I. Abu dawud, I. Ahmad, I. Al-Hakim, I. Al-Bayhaqiy, I. Daruquthniy tentang apabila seseorang mendengar adzan subuh, sedangkan di tangannya ada makanan dalam piring, maka jangan dulu disimpan sebelum selesai makan (إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالْإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ، فَلَا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ), kedua hadis tersebut yang dijadikan argumen bolehnya makan/minum meski sudah adzan subuh, masih dapat didudukkan posisinya.

Hadis pertama, yang menyatakan Hudzayfah sahur saat siang namun belum terbit matahari, menurut I. Al-Sindiy dalam komentarnya terhadap Sunan Ibn Majah (I/518-519) yang dimaksud “siang” di sini adalah “siang syar`iy”, kemudian yang dimaksud “matahari” adalah “fajar” karena itu adalah refleksi sinar matahari, sehingga makna dari “siang tapi belum terbit matahari”, adalah “menjelang terbitnya fajar sidik”, Bahkan menurut Abu Ishak, hadis Hudzayfah tersebut sebenarnya telah di-nasakh (dihapus hukumnya). Atau kemungkinan lain menurut Abu Ja`far al-Thahawiy yang disitir oleh Al-`Ayniy (`Umdah al-Qariy, X, 254-298), hadis Hudzayfah tersebut terjadi sebelum turunnya Alquran surat Albaqarah ayat 187. Karena hadis sahih muttafaq `alayh menjelaskan bahwa jarak antara sahur para sahabat bersama Nabi SAW dengan salat subuh adalah sekitar bacaan 50 ayat Alquran («تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ»، قُلْتُ: كَمْ كَانَ بَيْنَ الأَذَانِ وَالسَّحُورِ؟ ” قَالَ: «قَدْرُ خَمْسِينَ آيَةً»)

Sedangkan untuk hadis kedua, tentang apabila seseorang mendengar adzan, sedangkan di tangannya ada makanan dalam piring, maka jangan dulu disimpan sebelum selesai makan, itu masih dapat dikompromikan dengan hadis lain yang jauh lebih kuat sebagai argumen, yaitu hadis sahih muttafaq `alayh bahwasanya makan sahur jangan terganggu adzan yang dikumandangkan oleh Bilal karena ia adzan pada saat masih malam, sedangkan adzan yang mengharuskan berhenti makan sahur adalah adzannya Ibn Ummi Maktum saat terbit fajar.

Jadi, pendapat mayoritas ulama, dan menjadi pegangan Imam 4 Madzhab (I. Hanafiy, I. Malik, I. Syafi`iy, I. Hanbali) dan Fuqaha Amshar, adalah melarang makan sahur setelah terbitnya fajar sidik, demikian dituturkan Ibn al-Qayyim al-Jawziyah dalam bukunya Tahdzib al-Sunan saat mengomentari Sunan Abu Dawud (dicetak bersama `Aun al-Ma`bud, VI/341). Bahkan menurut Ibnu Qudamah, pendapat bahwa sahur tidak boleh kecuali sebelum fajar merupakan ijmak ulama muslim, tidak ada yang menyelisihinya kecuali pendapat Al-A`masy yang ganjil dan tidak ada yang merujuknya (Al-Mughniy li Ibn Qudamah, IV/325).

Baca Juga: