Menu Tutup

Hukum Nikah Mut’ah dalam Islam

Hukum Nikah Mut’ah dalam Islam

Nikah mut’ah, yang juga dikenal sebagai “nikah kontrak” atau “pernikahan sementara”, merupakan topik yang memicu banyak perdebatan dalam dunia Islam. Secara umum, nikah ini mengandung unsur kesepakatan antara seorang pria dan wanita untuk menikah untuk jangka waktu tertentu dengan tujuan tertentu, tanpa adanya ikatan jangka panjang seperti dalam pernikahan biasa. Pada artikel ini, kita akan membahas hukum nikah mut’ah menurut perspektif Islam, mengupas sejarahnya, pandangan ulama, serta alasan di balik pengharamannya dalam Islam.

Pengertian Nikah Mut’ah

Nikah mut’ah adalah bentuk pernikahan yang dilakukan dengan kontrak waktu tertentu. Pihak wanita dan pria yang terlibat dalam nikah mut’ah sepakat untuk menikah selama waktu yang telah ditentukan, misalnya beberapa bulan atau tahun, dan setelah itu pernikahan tersebut berakhir secara otomatis. Nikah ini banyak ditemukan dalam mazhab Syiah, yang menganggapnya sah dan dibolehkan dalam kondisi tertentu. Namun, mazhab Sunni secara umum menganggapnya sebagai praktik yang dilarang oleh Nabi Muhammad SAW setelah masa tertentu.

Sejarah dan Latar Belakang Nikah Mut’ah

Nikah mut’ah pada awalnya diperbolehkan oleh Rasulullah SAW pada masa awal Islam, khususnya ketika para sahabat terlibat dalam peperangan dan berada dalam situasi darurat. Pada masa perang, terutama dalam peperangan seperti Perang Khaibar dan Perang Hunain, Rasulullah memberi izin kepada pasukan Muslim untuk melakukan nikah mut’ah sebagai cara untuk melindungi diri dari perbuatan zina. Namun, setelah beberapa waktu, terutama pasca penaklukan Mekah, Rasulullah SAW secara tegas mengharamkan nikah mut’ah dan menjadikannya dilarang hingga hari kiamat.

Menurut hadits yang diriwayatkan oleh Salamah bin Akwa, Rasulullah SAW memberikan keringanan untuk melakukan nikah mut’ah dalam situasi perang. Tetapi beliau kemudian melarang praktik tersebut setelah situasi tersebut berlalu.

Pandangan Ulama tentang Hukum Nikah Mut’ah

Mazhab Sunni

Sebagian besar ulama dari kalangan Sunni sepakat bahwa nikah mut’ah adalah haram. Dalam banyak hadits yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat Nabi, seperti Ali bin Abi Talib dan Ibnu Umar, nikah mut’ah dilarang dengan tegas setelah Rasulullah SAW mengharamkannya. Hadits-hadits tersebut menyebutkan bahwa Rasulullah SAW melarang nikah mut’ah setelah Fathu Makkah, dan hukum tersebut berlaku untuk selamanya.

Selain itu, pada masa Khalifah Umar bin Khattab, hukum haramnya nikah mut’ah ditegaskan kembali dalam khotbahnya di hadapan para sahabat. Beliau menyatakan bahwa nikah mut’ah adalah suatu bentuk perbuatan yang merusak, dengan banyak dampak negatif seperti bercampurnya nasab dan status anak yang lahir dari pernikahan tersebut.

Mazhab Syiah

Di sisi lain, mazhab Syiah memiliki pandangan yang berbeda mengenai nikah mut’ah. Mereka berpendapat bahwa nikah mut’ah masih sah dan dapat dilakukan dalam keadaan tertentu. Dalam pandangan Syiah, nikah mut’ah adalah sebuah solusi yang halal bagi individu yang menghadapi kesulitan untuk menikah dalam pernikahan permanen, terutama jika terjadi kondisi darurat atau keperluan tertentu. Beberapa ulama Syiah berpendapat bahwa nikah mut’ah tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam, dan bahkan dapat dianggap sebagai bentuk kemudahan dalam situasi tertentu.

Imam Ja’far al-Sadiq, salah satu ulama terkemuka dari kalangan Syiah, menganggap nikah mut’ah sebagai bentuk hubungan yang sah dan tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Meskipun demikian, pandangan ini tidak diterima oleh mayoritas ulama Sunni yang beranggapan bahwa nikah mut’ah bertentangan dengan prinsip dasar dalam pernikahan yang seharusnya bersifat permanen dan memberi hak-hak kepada wanita serta anak yang lahir dari pernikahan tersebut.

Dalil Al-Quran dan Hadits Mengenai Nikah Mut’ah

Al-Quran

Beberapa ayat dalam Al-Quran sering dikaitkan dengan perdebatan tentang nikah mut’ah, terutama ayat-ayat yang mengatur tentang hubungan seksual dan pernikahan. Di antaranya adalah surat Al-Ma’arij (29-31) yang menjelaskan bahwa hubungan badan yang sah hanya terjadi antara suami-istri yang sah, dan hubungan dengan perempuan yang bukan istri atau budak tidak diperbolehkan. Ayat ini dipahami oleh sebagian ulama sebagai larangan terhadap nikah mut’ah.

Selain itu, dalam surat An-Nisa (25) juga disebutkan tentang pernikahan dengan budak wanita, namun hal ini berbeda dengan nikah mut’ah karena nikah mut’ah melibatkan kesepakatan waktu dan tidak memberi hak-hak yang sama dengan pernikahan permanen.

Hadits

Hadits-hadits yang diriwayatkan dari Nabi Muhammad SAW jelas menyatakan bahwa beliau mengizinkan nikah mut’ah pada awalnya, tetapi kemudian melarangnya secara tegas. Salah satu hadits yang sering dikutip adalah yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar dan Al-Bukhari: “Sesungguhnya aku telah mengizinkan kalian untuk menikahi wanita dengan nikah mut’ah, tetapi sesungguhnya Allah mengharamkannya sampai hari kiamat.”

Dampak Negatif Nikah Mut’ah

Nikah mut’ah dinilai oleh banyak ulama sebagai praktik yang dapat menimbulkan dampak negatif yang serius dalam masyarakat. Beberapa alasan mengapa nikah mut’ah diharamkan antara lain:

  1. Bercampurnya Nasab: Anak yang lahir dari nikah mut’ah tidak memiliki hubungan nasab yang jelas dengan ayahnya, yang dapat menyebabkan masalah hukum dan sosial.
  2. Disia-siakannya Anak: Anak yang lahir dari nikah mut’ah seringkali tidak mendapatkan perhatian penuh dari kedua orang tuanya, mirip dengan anak yang lahir dari perbuatan zina.
  3. Penyalahgunaan Wanita: Wanita dalam pernikahan mut’ah bisa dianggap sebagai objek sementara, yang berpindah dari satu pria ke pria lain tanpa adanya ikatan yang jelas dan permanen.

Kesimpulan

Hukum nikah mut’ah dalam Islam sangat bergantung pada pandangan mazhab yang dianut. Dalam mazhab Sunni, nikah mut’ah jelas diharamkan karena bertentangan dengan prinsip-prinsip pernikahan yang sah dalam Islam, yang mengutamakan hak-hak wanita dan anak yang lahir dari pernikahan. Sementara itu, dalam mazhab Syiah, nikah mut’ah dibolehkan dalam situasi tertentu. Namun, secara keseluruhan, banyak ulama dan ahli fiqih yang menilai bahwa praktik ini membawa dampak negatif, baik bagi individu maupun masyarakat. Oleh karena itu, meskipun nikah mut’ah pernah diperbolehkan dalam kondisi darurat, pengharamannya di kemudian hari menunjukkan bahwa Islam lebih mengutamakan pernikahan yang permanen dan memberi hak-hak yang jelas bagi setiap pihak yang terlibat.

Daftar Pustaka

  1. Almanhaj (almanhaj.or.id). (n.d.). Nikah Mut’ah (Kawin Kontrak). Retrieved from https://almanhaj.or.id
  2. Gramedia Literasi (www.gramedia.com). (n.d.). Nikah Mut’ah Adalah: Pengertian, Sejarah, dan Hukum Islam. Retrieved from https://www.gramedia.com
  3. HR. Muslim. (n.d.). Hadits-hadits tentang Nikah Mut’ah. Sahih Muslim.
  4. Sahih al-Bukhari. (n.d.). Hadits-hadits tentang Pengharaman Nikah Mut’ah. Sahih al-Bukhari.
  5. Tafsir al-Quran. (n.d.). Surat Al-Ma’arij dan An-Nisa – Tafsir terkait nikah mut’ah.
  6. Ibnu Abbas. (n.d.). Fatwa tentang Nikah Mut’ah dan penjelasannya dalam riwayat-riwayat Islam.
  7. Al-Khattabi, I. (n.d.). Tanggapan terhadap Fatwa Ibnu Abbas mengenai Mut’ah.

Lainnya