Agama adalah salah satu fenomena sosial yang paling menarik untuk dikaji, karena memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Namun, apa sebenarnya agama itu? Bagaimana agama bisa muncul dan berkembang dalam masyarakat? Apa fungsi dan makna agama bagi manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini telah menjadi bahan perdebatan dan penelitian oleh banyak ilmuwan, termasuk Emile Durkheim, salah seorang bapak sosiologi klasik. Dalam artikel ini, kita akan membahas pandangan Durkheim tentang asal usul agama, definisi agama, fungsi agama, dan hubungan antara agama dan masyarakat.
Durkheim dan Studi Agama
Emile Durkheim lahir di Epinal, Perancis timur, tahun 1858. Ia adalah seorang pemeluk Katolik meskipun ayahnya adalah seorang petinggi Yahudi, namun kemudian ia memilih untuk tidak tahu menahu tentang Katolik. Ia lebih menaruh perhatian pada masalah moralitas, terutama moralitas kolektif1. Ia adalah seorang sosiolog yang berusaha menjadikan sosiologi sebagai ilmu yang mandiri dan objektif, dengan menggunakan metode ilmiah dan empiris. Ia juga merupakan pendiri sekolah sosiologi Perancis dan salah seorang pengajar sosiologi pertama di dunia2.
Durkheim memiliki kontribusi besar dalam studi agama, terutama melalui karya utamanya yang berjudul The Elementary Forms of the Religious Life3. Buku ini merupakan hasil dari penelitiannya tentang sistem religius masyarakat primitif di Australia, khususnya totemisme. Totemisme adalah bentuk agama yang paling sederhana dan murni menurut Durkheim, di mana setiap klan atau suku memiliki suatu simbol atau objek yang dianggap suci dan melambangkan identitas mereka. Durkheim berpendapat bahwa dengan mempelajari totemisme, kita bisa memahami esensi dari semua agama3.
Durkheim menggunakan metode komparatif dalam mengkaji agama, yaitu dengan membandingkan berbagai sistem religius dari berbagai masyarakat dan zaman. Ia juga menggunakan metode fungsionalis, yaitu dengan melihat fungsi dan dampak agama terhadap masyarakat. Ia tidak tertarik pada aspek teologis atau metafisik dari agama, melainkan pada aspek sosial dan empirisnya3.
Definisi Agama Menurut Durkheim
Durkheim mengkritik definisi agama dari para ilmuwan pendahulunya yang terlalu esensialis dan mengabaikan banyak fakta religius3. Misalnya, definisi agama sebagai keyakinan terhadap sesuatu yang spiritual (E.B. Tylor), atau sebagai kekuatan magis yang menguasai alam (J.G. Frazer), atau sebagai ritual nenek moyang (H. Spencer). Definisi-definisi ini tidak bisa menjelaskan variasi dan kompleksitas dari fenomena agama.
Durkheim kemudian memberikan definisi agama sebagai berikut:
Agama adalah suatu sistem simbol-simbol yang bersifat sakral yang menyatukan semua anggota suatu komunitas moral yang disebut gereja4.
Definisi ini memiliki beberapa unsur utama, yaitu:
- Sakral: Sakral adalah sesuatu yang dianggap suci, luar biasa, berbeda, dan terpisah dari hal-hal biasa atau profan. Sakral bisa berupa benda-benda alam (seperti gunung, matahari, hewan), benda-benda buatan (seperti patung, kitab suci, bendera), atau ide-ide abstrak (seperti kebenaran, keadilan, kebebasan). Sakral juga bisa berubah-ubah tergantung pada konteks dan waktu34.
- Simbol: Simbol adalah sesuatu yang merepresentasikan sesuatu yang lain. Simbol bisa berupa kata-kata, gambar, tanda-tanda, atau gerakan-gerakan. Simbol-simbol agama adalah simbol-simbol yang merepresentasikan hal-hal yang sakral. Simbol-simbol agama bisa berupa doa, nyanyian, mitos, ritual, atau totem34.
- Komunitas moral: Komunitas moral adalah kelompok manusia yang memiliki kesadaran kolektif, yaitu kesadaran bersama tentang nilai-nilai, norma-norma, dan aturan-aturan yang mengikat mereka. Komunitas moral bisa berupa keluarga, suku, bangsa, atau kelas34.
- Gereja: Gereja adalah organisasi atau institusi yang mengelola dan menjaga sistem simbol-simbol sakral. Gereja bisa berupa lembaga formal (seperti gereja Katolik, masjid, atau kuil), atau lembaga informal (seperti sekte, gerakan, atau kelompok kecil). Gereja memiliki otoritas dan legitimasi untuk menentukan apa yang sakral dan apa yang profan, serta untuk mengatur perilaku anggotanya sesuai dengan sistem simbol-simbol sakral34.
Fungsi Agama Menurut Durkheim
Durkheim berpendapat bahwa agama memiliki fungsi sosial yang penting dalam masyarakat, yaitu sebagai sarana integrasi sosial, ekspresi kolektif, dan penguatan solidaritas41. Fungsi-fungsi ini adalah sebagai berikut:
- Integrasi sosial: Agama menyatukan anggota masyarakat dalam suatu komunitas moral yang memiliki sistem simbol-simbol sakral yang sama. Agama juga menciptakan perbedaan antara kelompok-kelompok masyarakat yang memiliki sistem simbol-simbol sakral yang berbeda. Dengan demikian, agama membentuk identitas sosial dan kesetiaan kelompok41.
- Ekspresi kolektif: Agama merupakan cara bagi anggota masyarakat untuk mengekspresikan perasaan-perasaan mereka secara bersama-sama. Agama juga merupakan cara bagi anggota masyarakat untuk mengkomunikasikan nilai-nilai dan norma-norma mereka secara simbolis. Dengan demikian, agama membentuk kesadaran kolektif dan konsensus sosial41.
- Penguatan solidaritas: Agama merupakan sumber dari kekuatan moral dan emosional bagi anggota masyarakat. Agama juga merupakan sumber dari kewajiban dan tanggung jawab bagi anggota masyarakat. Dengan demikian, agama membentuk ikatan-ikatan sosial dan kerjasama sosial41.
Hubungan antara Agama dan Masyarakat Menurut Durkheim
Durkheim memiliki pandangan yang revolusioner tentang hubungan antara agama dan masyarakat. Ia berpendapat bahwa agama adalah representasi kolektif dari masyarakat itu sendiri34. Artinya, agama bukanlah sesuatu yang berasal dari luar atau dari atas (seperti Tuhan, roh, atau wahyu), melainkan sesuatu yang berasal dari dalam atau dari bawah (seperti manusia, interaksi, atau pengalaman). Agama adalah hasil dari aktivitas sosial manusia yang menciptakan simbol-simbol sakral untuk merefleksikan realitas sosial mereka.
Durkheim menggunakan beberapa konsep penting untuk menjelaskan hubungan antara agama dan masyarakat, yaitu:
- Totem: Totem adalah simbol sakral yang melambangkan identitas suatu klan atau suku dalam masyarakat primitif. Totem bisa berupa binatang, tumbuhan, atau benda lain yang dianggap memiliki kekuatan khusus. Totem bukanlah objek penyembahan, melainkan objek penghormatan. Totem juga bukanlah representasi dari dewa-dewa individual, melainkan representasi dari kekuatan kolektif suatu klan atau suku3.
- Kekuatan sakral: Kekuatan sakral adalah kekuatan yang melebihi kekuatan manusia biasa, yang dianggap ada di balik semua fenomena alam dan sosial. Kekuatan sakral bisa bersifat baik atau buruk, menguntungkan atau merugikan, bergantung pada situasi dan persepsi manusia. Kekuatan sakral bisa dirasakan oleh manusia melalui berbagai cara, seperti mimpi, penglihatan, atau perasaan.
- Efervescensi kolektif: Efervescensi kolektif adalah perasaan yang timbul ketika manusia berkumpul dan berinteraksi secara intens dalam suatu aktivitas bersama, seperti ritual, perayaan, atau demonstrasi. Efervescensi kolektif membuat manusia merasa lebih hidup, lebih bersemangat, dan lebih terhubung dengan sesama. Efervescensi kolektif juga membuat manusia merasa lebih dekat dengan kekuatan sakral yang ada di dalam diri mereka.
- Kesadaran kolektif: Kesadaran kolektif adalah kesadaran bersama yang dimiliki oleh anggota suatu masyarakat tentang nilai-nilai, norma-norma, dan aturan-aturan yang mengikat mereka. Kesadaran kolektif adalah hasil dari efervescensi kolektif yang terjadi secara berulang-ulang dalam sejarah masyarakat. Kesadaran kolektif juga merupakan sumber dari sistem simbol-simbol sakral yang merepresentasikan masyarakat itu sendiri.
Menurut Durkheim, hubungan antara agama dan masyarakat bisa digambarkan sebagai berikut:
- Masyarakat → Efervescensi kolektif → Kekuatan sakral → Simbol-simbol sakral → Agama
- Agama → Simbol-simbol sakral → Kekuatan sakral → Efervescensi kolektif → Masyarakat
Dengan kata lain, masyarakat menciptakan agama melalui aktivitas sosialnya yang menghasilkan kekuatan sakral dan simbol-simbol sakral. Sebaliknya, agama mempertahankan masyarakat melalui simbol-simbol sakralnya yang menghasilkan kekuatan sakral dan efervescensi kolektif.
Kritik dan Evaluasi terhadap Pandangan Durkheim
Pandangan Durkheim tentang agama telah mendapat banyak kritik dari berbagai sudut pandang, seperti:
- Psikologis: Beberapa psikolog berpendapat bahwa agama bukanlah produk dari aktivitas sosial manusia, melainkan produk dari kebutuhan psikologis manusia, seperti kebutuhan akan makna, harapan, atau kenyamanan. Beberapa psikolog juga berpendapat bahwa agama bukanlah representasi dari masyarakat, melainkan representasi dari bapak atau ibu manusia.
- Antropologis: Beberapa antropolog berpendapat bahwa agama bukanlah fenomena sosial yang universal, melainkan fenomena budaya yang spesifik. Beberapa antropolog juga berpendapat bahwa agama bukanlah sesuatu yang homogen dan monolitik, melainkan sesuatu yang heterogen dan pluralistik.
- Sejarah: Beberapa sejarawan berpendapat bahwa agama bukanlah sesuatu yang statis dan tetap, melainkan sesuatu yang dinamis dan berubah. Beberapa sejarawan juga berpendapat bahwa agama bukanlah sesuatu yang independen dan otonom, melainkan sesuatu yang dipengaruhi dan ditentukan oleh faktor-faktor lain, seperti politik, ekonomi, atau teknologi.
- Teologis: Beberapa teolog berpendapat bahwa agama bukanlah sesuatu yang imanen dan horizontal, melainkan sesuatu yang transenden dan vertikal. Beberapa teolog juga berpendapat bahwa agama bukanlah sesuatu yang relatif dan subjektif, melainkan sesuatu yang absolut dan objektif.
Pandangan Durkheim tentang agama juga memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan, seperti:
- Kelebihan: Pandangan Durkheim tentang agama memiliki kelebihan dalam hal metodologi, teori, dan empiri. Dari segi metodologi, pandangan Durkheim menggunakan metode ilmiah dan empiris yang objektif dan sistematis. Dari segi teori, pandangan Durkheim memberikan definisi agama yang luas dan inklusif, serta memberikan fungsi agama yang penting dan relevan. Dari segi empiri, pandangan Durkheim didukung oleh banyak data dan fakta dari berbagai sistem religius.
- Kekurangan: Pandangan Durkheim tentang agama juga memiliki kekurangan dalam hal metodologi, teori, dan empiri. Dari segi metodologi, pandangan Durkheim terlalu menggeneralisasi dan menyederhanakan fenomena agama yang kompleks dan bervariasi. Dari segi teori, pandangan Durkheim terlalu mengabaikan aspek-aspek lain dari agama, seperti aspek individu, psikologis, metafisik, atau etis. Dari segi empiri, pandangan Durkheim terlalu bergantung pada sumber-sumber yang terbatas dan tidak representatif, seperti totemisme Australia.
Sumber:
- (1) Emile Durkheim [PPT] | Dimas Aditya Ihza Mahendra – Academia.edu Link
- (2) Emile Durkheim [DOC] | Ibnu Ubaidillah – Academia.edu Link
- (3) Agama Menurut Emile Durkheim [DOC] | EmBahz Koenk – Academia.edu Link
- (4) Agama Menurut Pandangan Emile Durkheim – Academia.edu Link
- (5) Fungsi Sosiologis Agama (Studi Profan dan Sakral Menurut Emile Durkheim) Link