Kesultanan Cirebon, salah satu kerajaan Islam terkemuka di pesisir utara Jawa pada abad ke-15 dan 16, memiliki peran penting dalam penyebaran Islam dan perdagangan di Nusantara. Namun, perjalanan sejarahnya diwarnai oleh konflik internal yang kemudian berujung pada pembagian kesultanan menjadi beberapa bagian.
Awal Mula Konflik Internal
Setelah wafatnya Panembahan Ratu II (Sultan Abdul Karim) pada tahun 1662, Kesultanan Cirebon mengalami kekosongan kepemimpinan. Kondisi ini dimanfaatkan oleh Kesultanan Mataram di bawah Sultan Amangkurat I, yang mengundang Panembahan Ratu II ke Mataram dan menuduhnya bersekongkol dengan Kesultanan Banten. Panembahan Ratu II akhirnya diasingkan dan meninggal di Mataram, sehingga meninggalkan kekosongan kekuasaan di Cirebon.
Kekosongan kekuasaan ini memicu perselisihan di antara putra-putra Panembahan Ratu II mengenai siapa yang berhak menduduki takhta. Pangeran Martawijaya, Pangeran Kartawijaya, dan Pangeran Wangsakerta masing-masing merasa memiliki hak untuk memimpin, yang menyebabkan ketegangan dalam keluarga kerajaan.
Peran Kesultanan Banten dalam Pembagian Cirebon
Melihat ketidakstabilan yang terjadi, Sultan Ageng Tirtayasa dari Kesultanan Banten turun tangan untuk menengahi konflik tersebut. Pada tahun 1677, untuk mencegah perpecahan lebih lanjut, Sultan Ageng Tirtayasa memutuskan untuk membagi Kesultanan Cirebon menjadi tiga bagian:
- Kesultanan Kasepuhan: Dipimpin oleh Pangeran Martawijaya yang kemudian bergelar Sultan Sepuh I.
- Kesultanan Kanoman: Dipimpin oleh Pangeran Kartawijaya yang bergelar Sultan Anom I.
- Panembahan Cirebon: Dipimpin oleh Pangeran Wangsakerta sebagai Panembahan tanpa wilayah kekuasaan, namun memiliki peran penting dalam kepustakaan keraton.
Pembagian ini diharapkan dapat meredam konflik internal dan menjaga stabilitas di wilayah Cirebon.
Dampak Pembagian terhadap Kesultanan Cirebon
Walaupun pembagian ini berhasil meredam konflik untuk sementara waktu, dalam jangka panjang hal ini justru melemahkan kekuatan politik Kesultanan Cirebon. Terpecahnya kesultanan menjadi beberapa bagian membuatnya semakin rentan terhadap intervensi eksternal, terutama dari VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie), yang menerapkan politik “divide et impera” guna memperkuat cengkeraman mereka di wilayah tersebut.
Pada tahun 1681, Kesultanan Cirebon resmi menjadi vasal VOC melalui perjanjian yang ditandatangani oleh para sultan. Perjanjian ini menandai berakhirnya kedaulatan penuh Kesultanan Cirebon dan awal dari dominasi kolonial Belanda di wilayah tersebut.
Kesimpulan
Konflik internal yang muncul pasca wafatnya Panembahan Ratu II menjadi pemicu utama terpecahnya Kesultanan Cirebon menjadi beberapa bagian. Meskipun pembagian ini ditujukan untuk menjaga stabilitas, namun dalam jangka panjang, hal ini justru melemahkan kekuatan politik kesultanan dan membuka peluang bagi intervensi kolonial Belanda. Sejarah ini memberikan pelajaran penting tentang pentingnya persatuan dan kewaspadaan terhadap ancaman eksternal dalam menjaga kedaulatan suatu bangsa.