Menu Tutup

Kepemimpinan Khalifah Abu Bakar As Shiddiq

Abu Bakar memiliki nama lengkap Abdullah bin Utsman bin Amir bin Umar bin Ka’ab bin Tiim bin Mairah at-Tamimi. Gelar Abu Bakar diberikan oleh Rasulullah karena ia orang yang paling cepat masuk islam, sedang gelar As-Shiddiq yang berarti “amat membenarkan” adalah gelar yang diberikan kepadanya karena ia amat segera membenarkan Rasulullah SAW dalam berbagai macam peristiwa, terutama peristiwa Isra’ Mi’raj, yaitu ketika banyak orang yang sulit atau bahkan tidak percaya akan kejadian Isra’ Mi’raj, justru Abu Bakar lah yang tidak meragukan kebenaran peristiwa itu.[1]

Abu Bakar dilahirkan pada tahun kedua atau ketiga dari tahun gajah, ini berarti Abu Bakar lebih muda dua atau tiga tahun dari Nabi Muhammad. Ayahnya bernama Usman dan ibunya bernama Ummu Khair Salma binti Sakar. Kedua orang tua Abu Bakar merupakan keturunan Bani Talim, dan merupakan salah satu keluarga yang mempunyai status sosial yang cukup tinggi di kalangan suku Quraisy.

Sebelum Rasulullah meninggal dunia, konon Rasulullah tidak berwasiat siapa yang akan menjadi penggantinya. Hal ini kemudian terjadi kesibukan tersendiri bagi umat islam untuk mencari pengganti yang tepat setelah Rasulullah. Sehingga sebelum terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah, sempat terjadi kontrovesi di kalangan umat dalam menentukan siapa yang pantas memimpin mereka.

Akhirnya setelah melewati proses perdebatan yang panjang terpilihlah Abu Bakar sebagai khalifah. Di samping karena kemampuan dan senioritasnya, kepentingan bersama dan stabilitas politiklah yang turut melatarbelakangi terpilihnya tokoh Abu Bakar sebagai khalifah. Selain itu, faktor yang mendukung terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah adalah dia merupakan orang yang menggantikan Rasulullah sebagai imam shalat ketika Rasulullah sedang sakit, dia juga orang yang menemani Rasulullah saat hijrah, dan dia adalah sahabat senior yang awal memeluk islam.

Terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah menunjukkan kesadaran yang baik bagi umat islam pada waktu itu. Ini juga menunjukkan bahwa mereka bertekad untuk bersatu dan melanjutkan tugas Muhammad. Maka sejak itu, Abu Bakar disebut sebagai khalifat al-rasulillah, yang berarti pengganti Rasulullah. Yang membedakannya dengan Rasul adalah kalau Rasulullah memiliki wewenang sebagai pemimpin agama dan negara, namun kalau Abu Bakar hanya memiliki wewewnang sebagai pemimpin negara karena dia bukan seorang nabi.[2]

Selama menjadi kepala negara, Abu Bakar telah melakukan beberapa kebijakan yang dinilai cukup penting. Di bidang keagamaan, kebijakan yang telah dilakukan oleh Abu Bakar adalah mengumpulkan Al-Quran, yang semula merupakan usulan dari Umar bin Khattab. Kebijakan lainnya adalah melakukan upaya penyadaran terhadap kalangan yang mengingkari kewajiban zakat, murtad, dan mengaku dirinya nabi. Abu Bakar melakukan penyadaran secara persuasif, tetapi ketika upaya ini mengalami kegagalan, dia tidak segan-segan untuk memerangi mereka. Menurut Abu Bakar, ketiga perbuatan tersebut merupakan penyelewengan yang nyata dari ajaran Nabi Muhammad terutama setelah beliau wafat.

Selain di bidang keagamaan, kebijakan yang dilakukan oleh Abu Bakar juga dalam bidang non-agama. Misalnya dalam bidang perekonomian, Abu Bakar membuat semacam lembaga keuangan. Pembentukan lembaga ini merupakan salah satu pencapaian yang paling penting dari khalifah Abu Bakar.

Dapat dikatakan bahwa pengaturan keuangan di zaman Abu Bakar sudah mulai tertata rapi, cukup beraslasan kalau Abu Bakar memberikan perhatian lebih untuk membina dan bahkan memerangi mereka yang enggan membayar zakat, karena salah satu sumber keuangan dalam lembaga itu adalah dari pengumpulan zakat.

Khalifah Abu Bakar meninggal dunia pada hari senin, 23 Agustus 624 M setelah lebih kurang selama 15 hari terbaring di tempat tidur. Ia berusia 63 tahun dan kekhalifahannya berlangsung 2 tahun 3 bulan 11 hari.[3]

[1] Imam fu’adi, 2011, Sejarah Peradaban islam, Yogyakarta: Teras, h.19

[2] Ibid.,  h. 23

[3] Samsul Munir Amin. 2010, Sejarah Peradaban Islam. Jakarta: Hamzah, h. 98

Baca Juga: