Menu Tutup

Kepemimpinan Khalifah Ali bin Abi Thalib

Ali adalah putra Abi Thalib ibn Abdul Muthalib, ia adalah sepupu Nabi Muhammad s.a.w Ali di angkat sebagai khalifah dalam situasi politik yang kurang mendukung. Peristiwa pembunuhan terhadap khalifah Utsman ibn Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara.

Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali berusaha menolak, tetapi Zubair ibn Awwam dan Talhah ibn Ubaidillah memaksa beliau, sehinngga akhirnya Ali menerima bai’at mereka. Menjadikan Ali satu-satunya khalifah yang di bai’at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.

Sebagai khalifah ke-4 yang memerintah selama 6 tahun. Masa pemerintahannya mewarsi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintahan sebelumya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat muslim terjadi saat masa pemerintahannya, perang jamal. 20.000 pasukan pimpinan Ali melawan pimpinan Zubair ibn Awwam, Talhah ibn Ubaidillah, dan Ummumul Mu’min Aisyah binti Abu Bakar. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali.

Langkah awal yang diakukan khalifah Ali adalah memecat kepala-kepala wilayah (amir) yang di angkat oleh Utsman dan menetapkan penggantinya mungkin karena tuntutan dari pihak Mesir yang di pimpin oleh Muhammad Ibnu Abi Bakar dan mengambil kembali tanah-tanah yang di bagikan Utsman kepada keluarga-keluarganya dengan cara yang di pandang salah oleh Ali. Ali mengangkat Utsman ibn Hanif sebagai Amir Bashrah menggantikan Ibnu Amir: Qais dikirim ke Mesir untuk menjadi Amir menggantikan Abdullah Ibn Abi syarh; dan Muawiyah Ibnu Abi S ofyan menolak untuk di ganti. Oleh karena itu Ali mengalami kesulitan dalam menghadapi Muawiyah.

Bersamaan dengan itu, kebijaksanaan-kebijaksanaan Ali juga mengakibatkan timbulnya perlawanan dari gubernur di Damaskus, yang didukung oleh sejumlah bekas pejabat tinggi yang merasa kehilangan kedudukan dan kejayaan. Setelah berhasil memadamkan pemberontakan Zubair, Thalhah dan Aisyah, Ali bergerak dari Kufah menuju Damaskus dengan sejumlah besar tentara.

Pasukannya bertemu dengan pasukan Muawiyah di Shiffin. Pertempuran terjadi disini yang dikenal dengan nama perang Shiffin. Perang ini di akhiri dengan tahkim (arbitrase), tapi tahkim ternyata tidak menyelesaikan masalah, bahkan menyebabkan timbulnya golongan ketiga, al-khawarij, orang-orang yang keluar dari barisan Ali.

Akibatnya di ujung masa pemerintahan Ali ibn Abi Thalib umat Islam terpecah menjadi tiga kekuatan politik, yaitu Muawiyah, Syi’ah (pengikut Ali), dan Al-Khawarij (orang-orang yang keluar dari barisan Ali). Keadaan ini tidak menguntungkan Ali. Munculnya kelompok Al-Khawarij menyebabkan tentaranya semakin lemah, sementara posisi Mu’awiyah semakin kuat. Pada tanggal 20 Ramadhan 40 H, Ali terbunuh oleh salah seorang anggota Khawarij.

Hasan sebagai anak tertua Ali mengambil alih kedudukan ayahnya sebagai khalifah kurang lebih selama 5 bulan. Tentaranya dikalahkan oleh pasukan Syiria, dan para pendukungnya di Irak meninggalkannya sehingga dengan demikian tidak dapat lebih lama lagi mempertahankan kekuasaannya, kemudian turun tahta.

Syarat-syarat yang tercantum dalam perjanjian perdamaian menjadikan Muawiyah penguasa absolut dalam wilayah kerajaan Arab. Pada bulan Rabiuts Tsani tahun 4 H (661 M) Muawiyah memasuki kota Kuffah yang oleh Ali dipilih sebagai pusat kekuasaannya. Supah kesetiaan diucapkan kepadanya dihadapan dua putra Ali, yaitu Hasan dan Husain. Rakyat berkerumun di sekelilingnya sehingga pada tahun 4 H disebut sebagai Amul Jama’ah, atau tahun jama’ah.

Sumber: Academiaedu

Baca Juga: