Menu Tutup

Kompetensi Guru dalam Konteks Keprofesian

Tingkat kualitas kompetensi profesi seseorang itu tergantung kepada tingkat kepuasan kompetensi kinerja (performance competence) sebagai ujung tombak serta tingkat kemantapan penguasaan kompetensi kepribadian (volues and attitudes competencies) sebagai landasan dasarnya, maka implikasinya ialah bahwa dalam upaya mengembangkan profesi dan perilaku guru itu keduanya (aspek kinerja dan kepribadian) seyogianya diindahkan keterpaduannya secara proporsional. Lieberman (1955) menunjukkan salah satu esensi dari suatu itu adalah pengabdian (the service to be rendered) kepada umat manusia sesuai dengan keahliannya. Karena itu betapa pentingnya upaya pembinaan aspek kepribadian (inklusif pembinaan sikap dan nilai) sebagai sumber dan landasan tumbuh-kembangnya jiwa dan semangat pengabdian termasuk. Dengan demikian, maka identitas dan jatidiri seorang tenaga kependidikan yang profesional pada dasarnya akan ditandai oleh tercapainya tingkat kematangan  kepribadian yang mantab dalam menampilkan kinerja profesinya yang prima dengan penuh semangat pengabdian bagi kemaslahatan umat manusia sesuai dengan didang keahliannya.

Dalam realitasnya, pada awal kehadiran dan keterlibatan orang-orang dalam suatu profesi, termasuk bidang keguruan, pada umumnya datang dengan membawa pola dasar motivasi dan kepribadian yang bervariasi, sangat mungkin diantara mereka itu datang dengan bermotifkan ekonomis, sosial, estetis, teoretis, politis atau relegius. Kiranya sulit disangkal bahwa sesungguhnya semua motif dasar tersebut, disadari atau tidak, akan terdapat pada setiap insan. Akan tetapi, bagi pengemban profesi kependidikan yang seyogianya dipupuk dan ditumbuhkan selaras dengan tuntutan tugas bidang pekerjaannya, ialah motif sosial yang berakar pada jiwa dan semangat filantropis (mencintai dan menyayangi sesama manusia).

Itulah sebabnya, mengapa UNESCO amat merekomendassi agar masalah pembinaan kepribadian guru itu harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dalam penyelenggaraan pendidikan keguruan, baik pada fase prajabatan maupun dalam jabatannya. Didalam fase prajabatan, program pendidikan harus dikembangkan yang memungkinkan dapat terjadinya proses sosialisasi yang sehat, baik melalui kegiatan kurikuler maupun ko-kurikuler dan ekstra-kurikulernya seperti “student self-gouvernment activities” dan “community services”. Sudah barang tentu harus ditunjang kelengkapannya yang memadai, termasuk sistem asrama. Sedangkan dalam fase pascapendidikan prajabatan, upaya pengembangan kepribadian dan keprofesian itu pada dasarnya akan semangat tergantung kepada sejauh mana jiwa dan semangat “self-propelling and professional growth and development” dari guru yang bersangkutan.

Dalam realitasnya, semangat dan kesadaran untuk menumbuh kembangkan diri (kepribadian) dan keprofesian itu tidak selalu terjadi dengan sendirinya (secara intrinsik), melainkan harus diciptakan iklim yang mendorong dan “memaksa” pengemban suatu profesi itu dari lingkungannya (secara ekstrinsik). Itulah sebabnyabaik UUSPN No. 20 Tahun 2003 telah menjadikannya sebagai suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh setiap guru.

Sebagai operasionalisasinya untuk mendorong dan “memaksa” guru agar melaksanakan kewajibannya itu ialah dengan memperhitungkannya sebagai salah satu komponen yang menjadi dasar kenaikan jenjang jabatan fungsionalnya dengan diberikan angka kredit yang signifikan, baik kedalam unrur pendidikannya, pengembangan profesi, maupun unsur penunjangnya (SK. Menpan No. 28 Tahun 1989). Meskipun berbagai ketentuan tersebut pada dasarnya diperuntukkan bagi PNS, namun dalam praktiknya juga dijadikan pedoman bagi penentuan angka kredit dalam rangka menetapkan jenjang jabatan fungsional tenaga kependidikan dalam kerangka sistem pendidikan nasional.

Bagi guru yang datang dengan motif dasar intrinsik, sudah barang tentu upaya pengembangan dirinya dan keprofesiannya itu bukan merupakan permasalahan. Ia tinggal memilih saja alternatif mana yang diminatinya sebagaimana disarankan, secara umum, melalui: (1) pendidikan formal sesuai dengan jalur, jenjang dan jenis bidang keahliannya (jika hal itu belum ditempuh sebelumnya); (2) pendidikan non formal (sepanjang tersedia); (3) keikutsertaan  dalam berbagai kegiatan penelitian, seminar, lokakarya, penulisan/publikasi, dan sebagainya yang relevan dengan keprofesiannya; (4) belajar mandiri dengan memanfaatkan berbagai sumber dan media (cetak dan/atau elektronik) yang tersedia relevan dengan bidang keprofesiannya. Berbagai kegiatan termaksud sangat boleh jadi dilakukannya juga dilingkungan kerjanya sebagai laboratorium eksperimentasinya yang aktual, nyata, dan pragmatis untuk menunjang kualitas kinerjanya secara langsung.

Telah dijelaskan diatas bahwa perbedaan pokok antara profesional guru dengan profesi lainnya terletak dalam tugas dan tanggung jawabnya. Tugas dan tanggung jawabnya tersebut erat kaitannya dengan kemampuan-kemampuan yang disyaratkan  untuk memangku profesi tersebut. Kemampuan dasar tersebut tidak lain ialah konpetensi guru.

Di dalam bahasa inggris terdapat minimal tiga peristilahan yang mengandung makna apa yang dimaksudkan dengan perkataan kompetensi itu.

  1. “competence (n) is being competent, ability (to the work)”
  2. “competent (adj.) refers to (persons) having ability, power, authority, skill, knowledge, etc. (to do what is needed)”
  3. “competence is rasional performance which satisfactorily meets the objectives for a desired condition

Definisi pertama menunjukkan bahwa kompetensi itu pada dasarnya menunjukkan kepada kecakapan atau kemampuan untuk mengerjakan sesuatu pekerjaan. Sedangkan defenisi kedua menunjukkan lebih lanjut bahwa kompetensi itu dasarnya merupakan suatu sifat (karakteristik) orang-orang (kompeten) ia yang memiliki kecakapan, daya (kemampuan), otoritas (kewenangan), kemahiran (keterampilan), pengetahuan, dan sebagainya untuk mengerjakan apa yang diperlukan. Kemudian defenisi ketiga lebih jauh lagi, ialah bahwa kompetensi itu menunjukkan kepada tindakan (kinerja) rasional yang dapat mencapai tujuan-tujuannya secara memuaskan berdasarkan kondisi (prasyarat) yang diharapkan.

Dengan menyimak makna kompetensi tersebut di atas, maka dapat dimaklumi jika kompetensi itu dipandang sebagai pilarnya atau teras kinerja dari suatu profesi. Hal itu mengandung implikasi bahwa seorang profesional yang kompeten itu harus dapat menunjukkan karakteristik utamanya antara lain:

  1. Mampu melakukan sesuatu pekerjaan tertentu secara rasional. Dalam arti, ia harus memiliki visi dan misi yang jelas mengapa ia melakukan apa yang dilakukan berdasarkan analisa kritis dan pertimbangan logis dalam membuat pilihan dan mengambil keputusan tentang apa yang dikerjakannya. “ He is fully aware of why he is doing what he is doing.”
  2. Menguasai perangkat pengetahuan (teori dan konsep prinsip dan kaidah, hipotesis dan generalisasi, data dan informasi, dan sebagainya.) tentang seluk beluk apa yang menjadi bidang tugas pekerjaannya. “ He really knows what is to be done and how do it.”
  3. Menguasai perangkat keterampilan (strategi dan taktik, model dan teknik, prosedur dan mekanisme, sarana dan instrumen, dan sebagainya) tentang cara bagaimana dan dengan apa harus melakukan tugas pekerjaannya. “He actually knows through which ways he should go and how to through.”
  4. Memahami perangkat persyaratan ambang (basic standards) tentang ketentuan kelayakan normatik minimal konsidi dari proses yang dapat ditoleransikan dan kriteria keberhasilan yang dapa diterima dari apa yang dilakukannya (the minimal acceptable performances)
  5. Memiliki daya ( motivasi) dan citra (aspirasi) unggulan dalam melakukan tugas pekerjaannya. Ia bukan sekedar puas dengan memadai persyaratan minimal, melainkan berusaha mencapai yang sebaik mungkin (profesiencies). “He is doing the best with a high achievement motivation.”
  6. Memiliki kewenangan (otoritas) yang memancar atas kepuasan perangkat kompetensinya yang dalam batas tertentu dapat didemontrasikan (observable) dan teruji (measureable), sehingga memungkinkan memperoleh pengakuan pihak berwenang (certifiable).

Baca Juga: