Menu Tutup

Pengertian Hutang Piutang, Rukun dan Syarat, Ketentuan, Tambahan dalam Hutang piutang adab dan Hikmahnya

Pengertian Hutang Piutang

Hutang piutang atau qard mempunyai istilah lain yang disebut dengan “dain” (دين). Istilah  “dain”  (دين)  ini  juga  sangat  terkait  dengan  istilah  “qard”  (قرض)  yang menurut bahasa artinya memutus. Menurut terminologi Fikih, bahwa akad hutang piutang adalah memberikan sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian bahwa dia akan mengembalikan sesuatu yang diterimanya dalam jumlah yang sama dan dalam jangka waktu yang disepakati.

Dasar Hukum Hutang Piutang

Dasar disyariatkan ad-dain/qard (hutang piutang) adalah al-Qur’an, hadits dan ijmak.

Al-Qur’an surah al-Baqarah (2): 245

Artinya: “Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki) dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 245).

Ayat ini menganjurkan kepada orang yang berpiutang (muqrid) untuk memberikan bantuan kepada orang lain dengan cara memberi hutang dan pahalanya akan dilipatgandakan oleh Allah Swt. Dari sisi orang yang berhutang (muqtarid), diperbolehkan berhutang untuk hal-hal yang bermanfaat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya dan mengembalikan pinjaman dengan jumlah yang sama.

Hadis Rasullullah

Artinya: “Tidak ada seorang muslim yang memberi hutang kepada seorang muslim dua kali kecuali seolah-olah dia telah bersedekah kepadanya satu kali.” (HR. Ibnu Majah).

Hadis ini menjelaskan bahwa orang yang berpiutang (muqrid) akan diberi pahala yang berlipat ganda dimana dalam dua kali menghutangi seperti pahala sedekah satu kali.

Hukum Hutang Piutang

Hukum asal dari hutang piutang adalah mubah (boleh), namun hukum tersebut bisa berubah sesuai situasi dan kondisi, yaitu:

  1. Hukum orang yang berhutang adalah mubah (boleh) sedangkan orang yang memberikan hutang hukumnya sunnah sebab ia termasuk orang yang menolong
  2. Hukum orang yang berhutang menjadi wajib dan hukum orang yang menghutangi juga wajib, jika peminjam itu benar-benar dalam keadaan terdesak, misalnya hutang beras bagi orang yang kelaparan, hutang uang untuk biaya pengobatan dan lain Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.:Artinya: “Tidak ada seorang muslim yang memberi pinjaman kepada seorang muslim dua kali kecuali seolah-olah dia telah bersedekah kepadanya satu kali”. (HR. Ibnu Majah)
  3. Hukum memberi hutang bisa menjadi haram, jika terkait dengan hal-hal yang melanggar aturan syariat. Misalnya memberi hutang untuk membeli minuman keras, berjudi dan Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. yang berbunyi:

Artinya: “Dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksa- Nya.” (QS. Al-Maidah [5]: 2).

Dalam hutang piutang dilarang memberikan syarat dalam mengembalikan hutang. Misalnya Fatimah menghutangi Mahmud Rp. 100.000,00 dalam waktu 3 bulan dan meminta Mahmud untuk mengembalikan hutangnya sebesar Rp.110.000,00. Tambahan ini termasuk riba dan hukumnya haram. Tetapi, jika tambahan ini tidak disyaratkan waktu akad dan dilakukan secara sukarela oleh peminjam sebagai bentuk terima kasih, maka hal ini tidak termasuk riba bahkan dianjurkan. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah Saw.:

Artinya:”Dari Abu Hurairah Ra. berkata, “Seseorang telah mendatangi Rasulullah Saw. untuk menagih hutang seekor unta.” Maka, Rasulullah Saw. bersabda: “Berikanlah seekor unta yang lebih bagus dari untanya.” Lalu Nabi Saw. bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah yang terbaik dalam melunasi hutangnya.” (HR. Muslim).

Rukun dan Syarat Hutang Piutang

Rukun Hutang piutang (qard) ada tiga yaitu:

  1. Dua orang yang berakad (pemberi hutang dan orang yang berhutang),
    • Syarat pemberi hutang antara lain ahli tabarru’ (orang yang berbuat kebaikan) yakni merdeka, baligh, berakal sehat, dan rasyid (pandai serta dapat membedakan yang baik dan yang buruk).
    • Syarat orang yang berhutang. Orang yang berhutang termasuk kategori orang yang mempunyai ahliyah al-muamalah (kelayakan melakukan transaksi) yakni merdeka, baligh dan berakal sehat.
  2. Harta yang dihutangkan
    • Harta yang dihutangkan berupa harta yang ada padanannya, seperti uang, barang-barang yang ditakar, ditimbang
    • Harta yang dihutangkan diketahui kadarnya
  3. Sighat ijab kabul

Ucapan antara dua pihak yang memberi hutang dan orang yang berhutang. Ucapan ijab misalnya “Saya menghutangimu atau memberimu hutang” dan ucapan kabul misalnya “Saya menerima” atau “ saya ridha “ dan sebagainya.

Ketentuan Hutang Piutang

Pada dasarnya hutang piutang merupakan akad yang bersifat ta’awun (tolong menolong). Walaupun demikian, sifat ta’awun itu bisa berujung permusuhan ataupun perselisihan jika salah satu atau kedua belah pihak yang berakad tidak mengetahui tentang ketentuan akad yang mereka lakukan. Untuk menghindari perselisihan yang tidak diinginkan, maka kedua belah pihak perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

  1. Hutang piutang sangat dianjurkan untuk ditulis dan dipersaksikan walaupun tidak wajib. Sebagaimana firman Allah Swt.: Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar.”(QS. Al-Baqarah [2]: 282).
  2. Pemberi hutang tidak boleh mengambil keuntungan atau manfaat dari orang yang berhutang. Jika hal ini terjadi, maka termasuk kategori riba dan haram Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surah al-Baqarah (2) ayat 275: Artinya:”Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al-Baqarah [2]:275). Hal ini dikuatkan dengan hadis Nabi Saw.: Artinya: “Setiap hutang yang membawa keuntungan, maka hukumnya riba.” (HR. Al-Baihaqi). Hal ini terjadi jika salah satu pihak mensyaratkan atau menjanjikan penambahan.
  3. Melunasi hutang dengan cara yang baik dan tidak Rasulullah Saw. bersabda: Artinya: “Dari Abu Hurairah Ra. ia berkata: “Nabi mempunyai hutang kepada seseorang, (yaitu) seekor unta dengan usia tertentu. Orang itupun datang menagihnya. (Maka) beliaupun berkata, “Berikan kepadanya” kemudian mereka mencari yang seusia dengan untanya, akan tetapi mereka tidak menemukan kecuali yang lebih berumur dari untanya. Nabi (pun) berkata: “Berikan kepadanya”, Dia pun menjawab, “Engkau telah menunaikannya dengan lebih. Semoga Allah Swt. membalas dengan setimpal.” Maka Nabi saw. bersabda, “Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik dalam pengembalian (hutang).” (HR. Al-Bukhari).
  4. Berhutang dengan niat baik dan akan melunasinya Dari Abu Hurairah ra., ia berkata bahwa Nabi saw. bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya), maka Allah akan membinasakannya.” (HR. Al-Bukhari).
  5. Tidak berhutang kecuali dalam keadaan darurat atau mendesak. Maksudnya kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain berhutang sementara keadaan sangat mendesak
  6. Jika terjadi keterlambatan karena kesulitan keuangan, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan hutang, karena hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak orang yang memberikan Jangan berdiam diri atau lari dari si pemberi hutang, karena akan memperparah keadaan, dan merubah tujuan menghutangkan yang awalnya sebagai wujud kasih sayang berubah menjadi permusuhan dan perpecahan.
  7. Segera melunasi hutang. Orang yang berhutang hendaknya berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin tatkala ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya itu. Sebab orang yang menunda-menunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zalim. Sebagaimana hadis berikut: Artinya: Dari Abu Hurairah Ra. bahwa Rasulullah Saw. bersabda: “Memperlambat pembayaran hutang yang dilakukan oleh orang kaya merupakan perbuatan zalim. Jika salah seorang kamu dialihkan kepada orang yang mudah membayar hutang, maka hendaklah beralih (diterima pengalihan tersebut).” (HR. Bukhari Muslim).
  8. Memberikan tenggang waktu kepada orang yang sedang kesulitan dalam melunasi hutangnya setelah jatuh tempo. Allah Swt. berfirman: Artinya: “Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, maka berilah tangguh sampai dia berkelapangan. Dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 280).

Tambahan dalam Hutang piutang

Ada dua macam penambahan pada qard (hutang piutang), yakni:

Penambahan yang disyaratkan

Demikian ini dilarang berdasarkan ijmak (kesepakatan para ulama). Begitu juga manfaat yang disyaratkan, seperti perkataan: “Aku memberi hutang kepadamu dengan syarat kamu memberi hak kepadaku untuk memakai sepatumu atau menggunakan motormu.” atau manfaat lainnya karena yang demikian termasuk rekayasa dan menjadi riba.

Penambahan yang tidak disyaratkan .

Ketika seseorang melunasi hutang kemudian memberi tambahan melebihi hutangnya sebagai wujud balas budi ataupun terima kasih karena sudah ditolong sehingga terbebas dari kesulitan maka hukumnya boleh.

Adab Hutang Piutang

Adapun adab/etika hutang piutang dalam Islam sebagai berikut:

  • Seorang yang memberikan hutang tidak mengambil keuntungan dari apa yang dihutangkan
  • Menulis perjanjian secara tertulis disertai dengan saksi yang bisa dipercaya
  • Seseorang yang berhutang harus berniat dengan sungguh-sungguh untuk melunasi hutangnya
  • Berhutang pada orang yang berpenghasilan
  • Berhutang dalam keadaan darurat atau terdesak saja.
  • Tidak boleh melakukan hutang piutang disertakan dengan jual beli.
  • Jika ada keterlambatan dalam pengembalian/pelunasan hutang, maka segera memberitahukan kepada pihak yang berpiutang
  • Pihak yang berpiutang hendaknya memberikan toleransi waktu/menangguhkan
  • Menggunakan uang hasil berhutang dengan benar.
  • Berterimakasih kepada orang yang berpiutang

Hikmah Hutang Piutang

Tujuan dan hikmah dibolehkannya hutang piutang adalah memberi kemudahan bagi umat manusia dalam pergaulan hidup, karena umat manusia itu ada yang berkecukupan dan ada yang kekurangan. Orang yang kekurangan dapat memanfaatkan hutang dari pihak yang berkecukupan.

Baca Juga: