Menu Tutup

Sejarah Lahirnya Tasawuf

Istilah tasawuf baru digunakan pada pertengahan abad ke 2 H, dan pertama kali diperkenalkan oleh Abu Hasyim Al-kufi (W 250 H). Dengan meletakkan ash-shufi dibelakang namanya, meskipun sebelum itu telah ada ahli yang mendahuluinya dalam zuhud, wara’, tawakkal, dan mahabbah.

Walaupun tetap saja ada yang mengklaim bahwa tasawuf adalah bagian ajaran Islam, dengan asumsi bahwa tasawuf adalah membina akhlak manusia (sebagaimana Islam juga diturunkan dalam rangka membina akhlak umat manusia) di atas bumi ini, agar tercapai kebahagaan dan kesempurnaan hidup lahir dan batin, dunia dan akhirat. Serta tasawuf memusatkan pembersihan rohani dan berujung pada akhlak mulia.[1]

Seandainya tidak ada stigma yang melihat akan praktek ini sudah ada pada masa nabi atau tidak, maka nama tasawuf tentu diterima dengan baik. Walaupun sudah ada rumusan untuk menyesuaikan praktek-praktek tasawuf dengan semangat ajaran nabi dibanding untuk mencapai absorsi diri dengan wujud Tuhan.[2]

Dengan demikian, beberapa alasan lain dimunculkan, Pertama, bahwa spritual sufisme membawa ekstrimitas pada spritual “kasyfi” yang cendrung ujungnya berakhir pada wihdatul wujud. Kedua, spritualisme sufisme juga tidak bisa melepaskan diri dari ekstrimitas yang berorientasi pada pemenuhan nafsu egosentris dalam melakukan hubungan dengan Allah. Ketiga, tasawuf cendrung ke tareqat yang melembaga dengan ekstrimitasnya tersendiri.[3]

Oleh karena itu, ada beberapa asumsi tentang lahirnya tasawuf. Asumsi tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor, yakni pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf itu bersumber dari ajaran di luar Islam yang masuk ke dalam ajaran Islam. Para orientalis berpendapat bahwa tasawuf berasal dari alam pikiran India di antaranya M. Hortan dan R. Hartman, dengan mengemukakan alasannya:

Kebanyakan angkatan pertama para sufi berasal bukan dari Arab. Misalnya, Ibrahim ibn Adham, Syaqiq al-Balakhi, Abu Yazid al-Bustami dan Yahya ibn Maaz al-Razi.
Kemunculan dan penyebaran tasawuf untuk pertama kalinya adalah di Khurazhan.
Pada masa sebelum Islam, Turkistan merupakan pusat pertama berbagai agama dan kebudayaan Timur dan Barat. Ketika para penduduk itu memeluk agama Islam, mereka mewarnainya dengan corak mistisisme lama
Kaum muslim sendiri mengakui adanya pengaruh India tersebut.
Islam yang pertama adalah corak India, baik dalam kecenderungannya maupun metode-metodenya, keluasan batin, pemakaian tasbih, misalnya merupakan gagasan dan praktik yang berasal dari India.[4]

Plotinus, sebagai tokoh aliran filsafat sebagai aliran filsafat Neo Platonisme, dikenal sebagai pembawa filsafat emanasi yang mengatakan bahwa wujud ini memancar dari zat Tuhan Yang Maha Esa. Roh berasal dari Tuhan dan akan kembali kepada-Nya tetapi dengan masuknya ke alam materi roh menjadi kotor dan untuk dapat kembali ketempat asalnya roh terlebih dahulu harus dibersihkan.[5]

Penyucian roh adalah dengan meninggalkan dunia dan mendekati Tuhan sedekat mungkin, kalau bisa bersatu dengan Tuhan. Dikatakan pula bahwa filsafat ini mempunyai pengaruh terhadap munculnya kaum zahid dan sufi dalam Islam.27   al-Taftazani mengatakan, cukup banyak orientalis yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari tradisi pemikiran Yunani. Para orientalis ini lebih menaruh perhatian terhadap tasawuf yang ditimba dari sumber Yunani yaitu tasawuf falsafi (teosofis), suatu jenis tasawuf yang mulai muncul pada abad ke tiga hijriyah lewat Zu al-Nun al-Misri yang berasal dari Mesir yang dikenal sebagai filosof dan ahli kimia sekaligus pengikut sains Hellenistik.

Dari analisa sejarah dapat diketahui, adanya akulturasi kebudayaan Islam dan Yunani terutama dalam gerakan filsafat yang sangat berpengaruh dalam dunia Islam. Pada saat dinasti Umayyah dan puncak perkembangannya, pada masa dinasti Abbasiyah, lewat penerjemahan buku-buku Yunani dalam berbagai disiplin ilmu[6], termasuk filsafat ke dalam bahasa Arab.

Metode berpikir orang Yunani ini mempengaruhi cara berpikir sebagian orang Islam yang ingin berhubungan dengan Tuhan. Kalau dulu ajaran tasawuf baru bersifat akhlak, amaliyah, maka dengan pengaruh filsafat Yunani ini, uraian-uraiannya berkembang menjadi bersifat falsafah.[7] Hal ini dapat dilihat dari pikiran para filosof seperti al-Farabi, al-Kindi dan Ibnu Sina terutama urusan mereka tentang filsafat jiwa.[8]

Sedangkan R.A. Nicholson berkata bahwa jelas kecenderungan-kecenderungan asketisisme dan kontemplasi bersesuaian dengan ide Kristen banyak yang dapat dijadikan sebagai rujukan yakni, banyak teks Injil dan ungkapan-ungkapan yang diatributkan sebagai ucapan al-Masih yang terukir dalam biografi para sufi angkatan pertama. Bahkan seringkali muncul para biarawan Kristen dalam kedudukannya sebagai guru yang menasehati dan memberi arahan pada asketis muslim.31 Kita pun dapat melihat bagaimana baju bulu domba ini berasal dari umat Kristen nazar untuk tidak berbicara, zikir dan latihan-latihan rohaniah lainnya mungkin berasal dari sumber yang sama juga.32

Pengaruh dari ajaran Kristen tersebut dengan faham menjauhi dunia dan hidup mengasingkan diri di dalam biara-biara. Dalam literatur Arab memang terdapat tulisantulisan tentang rahib-rahib yang mengasingkan diri di padang pasir Arabia, lampu yang mereka pasang di malam hari menjadi petunjuk jalan bagi kafilah-kafilah yang lewat, kemah mereka yang sederhana menjadi tempat berlindung bagi orang yang kemalaman dan kemurahan hati mereka menjadi tempat memperoleh makan bagi musafir yang kelaparan.[9]

Selain itu perlu pula dikemukakan bahwa tasawuf berasal dari Persia karena sebagian tokohnya berasal dari Persia seperti: Ma’ruf al-Karakhi dan Abu Yazid al-Bustami. Di samping tokoh sufi juga mempunyai filosof yang berpengaruh dan pujanggapujangga Persia lebih kaya daripada pujangga-pujangga Arab dalam hal memahamkan Islam, sebab mereka dapat menguasai dua bahasa, Arab dan Persia.34

Tetapi sekalipun sufisme mendasarkan ajarannya pada alquran dan as-sunnah khususnya dalam soal-soal doktrin, namun tidak dapat dipungkiri bahwa dalam perkembangannya, esoterisme Islam ini memasukkan unsur-unsur asing dari luar. Hal ini terjadi karena adanya kontak antara kaum muslim dengan bangsa-bangsa taklukannya di Syiria dan Persia yang dalam beberapa hal khususnya di bidang filsafat, lebih dulu maju daripada kaum muslim sendiri.

Unsur asing yang banyak disebut sangat mempengaruhi dunia sufisme adalah Neoplatonisme, Gnotisisme, Moohisme, faham inkarnasi dan bahkan animisme, Panteisme dan Politeisme.[10][11] Keberadaan unsur-unsur asing dalam tasawuf ini membuat para orientalis dalam membahas tentang tasawuf sering mengesankan ketidakaslian sufisme berasal dari Islam.

Para ahli yang menolak tasawuf sebagai bagian dari Islam mengambil contoh kesalahan pemahaman tasawuf yaitu Faham Wujud. Faham wujud adalah berisi keyakinan bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan. Penganut paham kesatuan wujud ini mengambil dalil alquran yang dianggap mendukung penyatuan antara ruh manusia dengan Ruh Allah dalam penciptaan manusia pertama, nabi Adam as. Menurut Buya Hamka tasawuf muncul karena suburnya ahli fikir Mu’tazilah dan mulailah timbul tasawuf itu.[12]

[1] Abuddin nata, Akhlak Tasawuf,  (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada , Ed.1, Cet.2, 2006) h.194

[2] Azyumardi Azra, Akar-akar Historis Pembaharuan Islam Indonesia: Neo-Sufisme Abad ke-11-12H/ 17-18M Predule bagi Gerakan Pemabahrauan Muhammadiyah, dalam Buku “Muhammadiyah Kini dan Esok”, (Jakarta: Pustaka PanjiMas, 1990), h. 5

[3] Haedar Nashir, Revitalisasi Gerakan Muhammadiyah, (Yogyakarta: BIGRAF Publishing, 2000),      h. 22-23

[4] Abdul Kadir Djaelani, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf (Jakarta: Gema Insani Press, Cet. I, 1996), h.10

[5] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. I, 1993), h. 182 27 Asmaran AS, Pengantar Study Tasawuf (Jakarta: Raja Grafindo, Cet. I, 1994), h. 182

[6] A. Hasmy, Sejarah Kebudayaan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, Cet. IV,1993), h. 236-265.

[7] Asmaran AS, Pengantar Study Tasawuf…, Ibid, h.184

[8] Abubakar Aceh, Sejarah Filsafat Islam (Bandung: Ramadani, Cet. IV,1991), h. 47. 31 Abdul Kadir Djaelani, Koreksi Terhadap Ajaran Tasawuf…,Ibid, h. 18 32 Ibid, h. 18

[9] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam…,Ibid, h. 58 34 Ibid, h. 192

[10] Ahmad Mahmud Subhy, al-Falsafah al-Akhlaqiyah fi- Fikr al-Islam (Kairo; Dar’ al- Ma’rif 1992), h.

[11] -81

[12] Hamka, Tasauf Modern, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, 1970), h.18

Baca Juga: