Menu Tutup

Apakah seorang wanita harus minta izin suaminya untuk puasa qadha?

Puasa qadha adalah puasa yang dilakukan untuk mengganti puasa wajib yang ditinggalkan pada bulan Ramadhan karena alasan-alasan tertentu, seperti sakit, haid, nifas, musafir, atau batal puasa. Puasa qadha ini wajib dilaksanakan setelah bulan Ramadhan hingga sebelum datangnya bulan Ramadhan berikutnya. Puasa qadha ini memiliki syarat, rukun, dan hal-hal yang membatalkannya yang sama dengan puasa Ramadhan.

Salah satu syarat sahnya puasa qadha adalah niat. Niat puasa qadha adalah sebagai berikut:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ قَضَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ لِلهِ تَعَالَى

Arab-latin: Nawaitu shauma ghadin ‘an qadhā’I fardhi syahri Ramadhāna lillâhi ta’âlâ.

Artinya: “Aku berniat untuk mengqadha puasa Bulan Ramadhan esok hari karena Allah SWT.”

Niat ini boleh dibaca sejak terbenam matahari hingga sebelum fajar shadiq. Niat ini juga harus disesuaikan dengan jumlah hari yang akan diganti. Ada dua pendapat tentang cara mengganti puasa qadha, yaitu:

  1. Jika puasa yang ditinggalkan berurutan maka wajib untuk mengganti berurutan. Pendapat ini didasarkan pada kesepadanan antara puasa yang ditinggalkan dan puasa yang diganti.
  2. Puasa qadha tidak harus dilakukan secara berurutan. Pendapat ini didasarkan pada tidak adanya dalil yang menegaskan bahwa puasa qadha wajib dilakukan sesuai jumlah hari yang ditinggalkan. Bahkan ada hadis yang menyatakan bahwa puasa qadha boleh dilakukan secara terpisah.

Dari kedua pendapat di atas, dapat dipilih salah satunya sesuai dengan kemampuan dan kenyamanan masing-masing.

Lalu bagaimana dengan hukum seorang wanita yang ingin berpuasa qadha? Apakah ia harus minta izin suaminya terlebih dahulu?

Menurut sebagian ulama, seperti Imam Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal, seorang wanita tidak perlu minta izin suaminya untuk berpuasa qadha. Alasannya adalah karena puasa qadha adalah kewajiban yang harus ditunaikan oleh wanita tersebut dan tidak boleh ditunda-tunda tanpa uzur . Jika ia menunda-nunda puasa qadha tanpa uzur maka ia berdosa dan harus membayar kaffarah (tebusan) selain mengqadha puasanya.

Menurut ulama lain, seperti Imam Malik dan Imam Abu Hanifah, seorang wanita harus minta izin suaminya untuk berpuasa qadha. Alasannya adalah karena suami memiliki hak untuk menikmati istri kapan saja ia mau kecuali pada saat istri sedang haid atau nifas . Jika istri berpuasa tanpa izin suami maka ia telah melanggar hak suami dan merusak hubungan rumah tangga.

Dari kedua pendapat di atas, dapat dipilih salah satunya sesuai dengan madzhab atau mazhab yang diikuti. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam masalah ini, yaitu:

  • Sebaiknya seorang wanita mengqadha puasanya secepat mungkin setelah bulan Ramadhan agar tidak menumpuk dan menyulitkan dirinya sendiri.
  • Sebaiknya seorang wanita berkoordinasi dengan suaminya tentang waktu yang tepat untuk berpuasa qadha agar tidak mengganggu hak-hak suami dan kesejahteraan rumah tangga.
  • Sebaiknya seorang wanita menghormati keputusan suaminya jika ia mengizinkan atau tidak mengizinkan istri untuk berpuasa qadha. Jika suami tidak mengizinkan, maka wanita tersebut harus mencari waktu lain yang sesuai dengan izin suami. Jika suami mengizinkan, maka wanita tersebut harus bersyukur dan memanfaatkan kesempatan tersebut.
  • Sebaiknya seorang wanita berpuasa qadha dengan niat yang ikhlas karena Allah SWT dan tidak karena tekanan atau paksaan dari siapa pun.

Baca Juga: