Menu Tutup

Apakah Wanita yang Keguguran Mengalami Nifas?

Para ulama terkait darah yang keluar pasca keguguran, mereka memperinci dan membedakan keguguran yang terjadi itu apakah ketika janin telah membentuk organ tubuh, seperti sudah mulai membentuk tubuh manusia, ada tangan, kepala, kaki, meski belum sempurna ataukah masih hanya berupa ‘alaqah (gumpalan darah), atau mudhghah (gumpalan daging) namun belum membentuk organ-organ tubuh manusia.

Apabila janin yang keluar itu telah membentuk organ, maka para ulama bersepakat bahwa darah yang keluar mengiringinya adalah nifas, sehingga pada saat itu ibunya tidak diperkenankan, shalat, puasa, dan segala larangan yang berlaku bagi wanita nifas.

Berbeda halnya kalau janin yang keluar masih belum membentuk organ tubuh manusia, maka dalam hal ini para ulama terbagi ke dalam dua pendapat.

a. Madzhab Asy-Syafi’i

Imam an-Nawawi menyebutkan dalam kitabnya Raudhatuth Thalibin:

Al-Muzani Berkata: “Masa minimal nifas 4 hari. Anak yang terlahir baik telah terjadi pembentukan sempurna atau belum, atau meninggal, atau baru berupa mudghah atau ‘alaqah, darahnya semuanya darah nifas. Dan Qawabil pun berkata, karena yang demikian adalah awal permulaan manusia, maka darah yang keluar setelahnya adalah  darah nifas.[1]

Pendapat ini menyandarkan masalah ini kepada qiyas, sebagaimana ketika anak adami terlahir dari rahim ibunya, kemudian ada darah yang keluar mengirinya disebut nifas, maka begitu juga ketika janin yang keluar dari rahim ibunya, karena janin meski hanya berbentuk mudhghah, atau ‘alaqah, dia merupakan cikal bakal manusia atau awal permulaan manusia, maka hukumnya sama.

Dalam kitah Tuhfatul Muhtaj dijelaskan:

Darah nifas adalah darah yang keluar setelah kosongnya rahim dari kehamilan, meskipun janin yang keluar masih berbentuk ‘alaqah (gumpalah darah) atau mudhgah (gumpalan daging). Sebelum adanya jeda 15 hari dari keluarnya bayi atau janin. Kalau ada terjeda 15 hari, maka bukan lagi nifas (melainkan haidh.)

Sedangkan draah yang keluar bersamaan bayi belum termasuk haidh ataupun nifas karena mendahului dari keluarnya bayi kecuali sebelumnya wanita ini mengalami haidh, maka dihukumi sebagai darah hiadh. [2] 

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan, bahwa madzhab Syafi’I adalah madzhab yang berpendapat bahwa nifas dapat dialami oleh wanita yang telah mengalami keguguran. Baik janin yang keluar baru berupa ‘alaqah ataupun mudhgah, apalagi kalau telah membentuk organ.

Seperti kata imam Ar-Ramli, karena darah nifas adalah darah yang keluar setelah rahim kosong dari hamil.

b. Jumhur

Jumhur ulama berbeda pendapat dengan madzhab Asy-Syafi’i. Mereka sepakat bahwa kalau janin yang keluar telah membentuk organ, maka darah yang keluar mengiringinya adalah disebut darah nifas. Namun jika belum membentuk, masih berupa gumpalan darah, gumpalan daging. Maka darah yang keluar megiringinya belum dihukumi sebagai darah nifas, melainkan istihadhah. Sehingga ibunya tetap punya kewajiban shalat, puasa dan lainnya. Dan segala hal yang diharamkan bagi wanita nifas tidak berlaku bagi wanita istihadhah.

Jika seorang wanita melihat darah selepas keguguran, dan telah nampak janin yang keluar membentuk manusia maka darahnya adalah nifas. Kalau yang keluar masih berbentuk nutfah atau alaqah, belum nampak jelas rupa manusia, dalam hal ini ada dua pendapat. Pertama, nifas; Karena dia awal permulaan manusia, pendapat kedua, bukan nifas ; karena belum jelas membentuk rupa manusia, seperti nutfah.  [3]

[1] An-Nawawi, Raudhathuth Thalibin, (1/174)

[2] Ar-Ramli, Tuhfatul Muhtaj, jilid. 1, h. 383.

[3] Ibnu Qudamah, al-Mughni, (1/253).

Sumber: Isnawati, Judul Buku Kumpulan Tanya Jawab Seputar Darah Nifas, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2019.

Baca Juga: