Menu Tutup

Biografi Nelson Mandela: Dari Tahanan Politik Menjadi Presiden Afrika Selatan

Nelson Mandela adalah salah satu tokoh paling berpengaruh dalam sejarah Afrika Selatan dan dunia. Ia adalah pejuang antiapartheid yang menghabiskan 27 tahun di penjara karena menentang rezim kulit putih yang rasis dan brutal. Ia juga adalah presiden Afrika Selatan pertama yang terpilih secara demokratis setelah apartheid berakhir pada tahun 1994. Ia dikenal sebagai simbol perdamaian, rekonsiliasi, dan kemanusiaan yang menginspirasi jutaan orang di seluruh dunia. Artikel ini akan membahas kehidupan dan perjuangan Nelson Mandela dari masa kecil hingga kematian.

Masa Kecil dan Pendidikan

Nelson Mandela lahir pada tanggal 18 Juli 1918 di desa Mvezo, Afrika Selatan. Nama aslinya adalah Rolihlahla, yang berarti “mengacaukan” dalam bahasa Xhosa. Ia berasal dari keluarga kerajaan suku Thembu, salah satu suku mayoritas di Afrika Selatan. Ayahnya, Gadla Henry Mphakanyiswa, adalah kepala suku Mvezo dan penasihat raja Thembu. Ibunya, Nosekeni Fanny, adalah istri ketiga dari ayahnya.

Mandela tumbuh dalam budaya tradisional Afrika yang menghargai nilai-nilai seperti keberanian, kesetiaan, dan keadilan. Ia belajar tentang sejarah dan adat istiadat suku Thembu dari para tetua dan pendeta. Ia juga belajar tentang perlawanan suku-suku Afrika terhadap penjajahan Belanda dan Inggris yang telah merampas tanah dan hak-hak mereka.

Ketika Mandela berusia sembilan tahun, ayahnya meninggal karena tuberkulosis. Ia kemudian diasuh oleh Jongintaba Dalindyebo, kepala suku utama Thembu dan sahabat ayahnya. Ia pindah ke istana kerajaan di Mqhekezweni, tempat ia mendapatkan pendidikan yang lebih baik dan lebih luas.

Mandela adalah anak pertama di keluarganya yang bersekolah. Ia masuk ke sekolah misionaris Methodist di Qunu, tempat ia diberi nama Inggris “Nelson” oleh gurunya. Ia melanjutkan sekolahnya di Healdtown, sebuah sekolah asrama Kristen untuk anak-anak kulit hitam. Di sana, ia tertarik dengan sastra Inggris dan olahraga seperti tinju dan sepak bola.

Mandela kemudian melanjutkan pendidikannya di Universitas Fort Hare, sebuah institusi tinggi untuk kulit hitam pertama di Afrika Selatan. Di sana, ia bertemu dengan teman-teman seumurnya yang juga berasal dari berbagai suku dan latar belakang politik di Afrika Selatan. Ia juga bergabung dengan gerakan mahasiswa yang menuntut hak-hak sipil dan akademik bagi kulit hitam. Namun, ia dikeluarkan dari universitas karena terlibat dalam protes mahasiswa pada tahun 1940.

Mandela kemudian pindah ke Johannesburg, kota terbesar dan paling maju di Afrika Selatan. Di sana, ia bekerja sebagai penjaga malam di sebuah tambang emas sambil melanjutkan studinya secara korespondensi di Universitas Afrika Selatan. Ia juga mendaftar di Universitas Witwatersrand untuk belajar hukum, tetapi ia gagal lulus ujian akhirnya pada tahun 1948. Ia akhirnya mendapatkan gelar sarjana hukum dari Universitas London pada tahun 1952 melalui program jarak jauh.

Perjuangan Melawan Apartheid

Apartheid adalah sistem politik dan sosial yang diberlakukan oleh pemerintah kulit putih di Afrika Selatan sejak tahun 1948 hingga 1994. Sistem ini memisahkan dan mendiskriminasi orang-orang berdasarkan ras, warna kulit, dan etnis. Orang-orang kulit hitam, yang merupakan mayoritas penduduk Afrika Selatan, diberi perlakuan yang sangat tidak adil dan tidak manusiawi. Mereka dilarang memiliki tanah, hak pilih, pendidikan, pekerjaan, kesehatan, dan kebebasan bergerak. Mereka juga sering menjadi korban kekerasan, penindasan, dan penangkapan sewenang-wenang oleh polisi dan tentara kulit putih.

Baca Juga:  Sejarah Indonesia: Dampak Positif dan Negatif Kolonialisme dan Imperialisme

Mandela adalah salah satu orang yang paling gigih dan berani dalam menentang apartheid. Ia bergabung dengan Kongres Nasional Afrika (ANC), sebuah organisasi politik yang didirikan pada tahun 1912 untuk memperjuangkan hak-hak orang-orang kulit hitam di Afrika Selatan. Ia juga menjadi salah satu pendiri Liga Pemuda ANC pada tahun 1944, sebuah sayap radikal yang mengadvokasi perlawanan bersenjata terhadap apartheid.

Mandela menjadi pemimpin ANC pada tahun 1950-an. Ia terlibat dalam berbagai kampanye dan aksi protes damai melawan apartheid, seperti Kampanye Pembangkangan Sipil (1952), Kongres Rakyat (1955), dan Kampanye Busana Afrika (1958). Ia juga menjadi salah satu terdakwa dalam Pengadilan Pengkhianatan (1956-1961), sebuah upaya pemerintah untuk membubarkan ANC dan menghukum para pemimpinnya dengan tuduhan pengkhianatan. Meskipun ia dibebaskan dari semua tuduhan, ia tetap berada di bawah pengawasan ketat dan larangan berbicara.

Pada tahun 1960, pemerintah menetapkan keadaan darurat dan melarang ANC dan organisasi-organisasi antiapartheid lainnya. Mandela menyadari bahwa perlawanan damai tidak cukup untuk menggulingkan apartheid. Ia kemudian membentuk sayap bersenjata ANC yang bernama Umkhonto we Sizwe (MK), yang berarti “Tombak Bangsa” dalam bahasa Xhosa. MK melakukan serangan-serangan terhadap target-target pemerintah, seperti kantor pos, stasiun kereta api, dan instalasi militer. Tujuannya adalah untuk melemahkan perekonomian dan moral pemerintah, serta membangkitkan kesadaran dan dukungan rakyat.

Mandela menjadi komandan MK dan beroperasi secara rahasia. Ia juga melakukan perjalanan ke luar negeri untuk mencari dukungan politik dan militer dari negara-negara Afrika dan komunis. Namun, pada tahun 1962, ia ditangkap oleh polisi setelah dijebak oleh seorang informan. Ia diadili bersama dengan delapan rekannya dalam Pengadilan Rivonia (1963-1964), yang menjadi pengadilan politik paling terkenal dalam sejarah Afrika Selatan. Ia dituduh melakukan sabotase, konspirasi untuk menggulingkan negara, dan perencanaan perang gerilya.

Dalam pembelaannya, Mandela menyampaikan pidato yang berjudul “Saya Siap Mati”, yang menjadi salah satu pidato paling bersejarah dan menggugah hati dalam sejarah dunia. Ia mengatakan:

“Saya telah mencurahkan hidup saya untuk perjuangan rakyat Afrika. Saya telah berjuang melawan dominasi kulit putih, dan saya telah berjuang melawan dominasi kulit hitam. Saya menghargai gagasan demokrasi dan masyarakat bebas di mana semua orang hidup bersama dalam harmoni dan kesempatan yang sama. Ini adalah gagasan yang saya harapkan untuk dicapai. Tetapi jika perlu, ini adalah gagasan yang saya siap mati demi mewujudkannya”.

Mandela dan rekannya dinyatakan bersalah atas semua tuduhan dan dijatuhi hukuman penjara seumur hidup pada tanggal 4 Juni 1964. Mereka dikirim ke Pulau Robben, sebuah pulau terpencil di lepas pantai Cape Town, tempat mereka dipenjara di sel-sel sempit dan dingin.

Masa Tahanan dan Pembebasan

Mandela menghabiskan 27 tahun di penjara dengan kondisi yang sangat buruk. Ia hanya diberi makanan yang sedikit dan buruk, pakaian yang tipis dan kotor, dan selimut yang kasar dan berlubang. Ia juga harus bekerja keras di tambang batu kapur di bawah sinar matahari yang terik dan debu yang menyengat. Ia sering mengalami penyiksaan, penghinaan, dan isolasi oleh sipir-sipir kulit putih. Ia juga dilarang menerima kunjungan atau surat dari keluarga dan teman-temannya, kecuali yang sudah disensor oleh pemerintah.

Meskipun demikian, Mandela tidak pernah menyerah atau putus asa. Ia tetap menjaga semangat, martabat, dan integritasnya. Ia juga tetap belajar, membaca, dan menulis di penjara. Ia menyelundupkan surat-surat rahasia yang berisi strategi politik dan pesan-pesan inspiratif kepada rekan-rekannya di luar penjara. Ia juga menjadi pemimpin dan guru bagi para tahanan politik lainnya, yang menghormati dan mengaguminya.

Baca Juga:  Biografi Franz Kafka: Penulis Fiksi Visioner yang Menggambarkan Kecemasan dan Alienasi

Mandela juga mendapatkan dukungan dan solidaritas dari masyarakat internasional, yang mengecam apartheid dan menuntut pembebasan Mandela. Berbagai negara, organisasi, dan tokoh dunia memberikan sanksi ekonomi, politik, dan budaya kepada Afrika Selatan. Berbagai gerakan sosial, seperti Free Nelson Mandela, mengadakan demonstrasi, konser, dan kampanye untuk membebaskan Mandela. Berbagai penghargaan dan penghormatan diberikan kepada Mandela atas perjuangannya melawan apartheid, seperti Hadiah Perdamaian Nobel (bersama dengan Frederik de Klerk) pada tahun 1993.

Pada akhir tahun 1980-an, pemerintah Afrika Selatan mulai menyadari bahwa apartheid tidak bisa bertahan lama. Mereka mulai melakukan negosiasi rahasia dengan Mandela untuk mencari solusi damai bagi konflik rasial di negara itu. Mandela menunjukkan sikap fleksibel dan realistis dalam berdialog dengan musuh-musuhnya. Ia bersedia bekerja sama dengan pemerintah kulit putih asalkan mereka mengakui hak-hak dasar orang-orang kulit hitam.

Setelah beberapa kali pertemuan dan pembicaraan, Mandela akhirnya dibebaskan dari penjara pada tanggal 11 Februari 1990 oleh Presiden F.W. de Klerk. Ia disambut oleh ribuan orang yang bersorak-sorai di jalanan Cape Town. Ia kemudian menyampaikan pidato pertamanya sebagai orang bebas di depan gedung balai kota. Ia mengatakan:

“Saya berdiri di sini sebelum Anda bukan sebagai nabi tetapi sebagai pelayan rakyat Anda…Saya telah berjuang melawan dominasi kulit putih dan saya telah berjuang melawan dominasi kulit hitam…Saya menghendaki kedamaian bagi semua orang Afrika Selatan…Saya menghendaki masa depan yang cerah bagi semua anak-anak kita”.

Kepemimpinan dan Rekonsiliasi

Setelah dibebaskan dari penjara, Mandela kembali menjadi pemimpin ANC dan memimpin perjuangan rakyat Afrika Selatan menuju demokrasi. Ia melanjutkan negosiasi dengan pemerintah kulit putih untuk mengakhiri apartheid dan mengadakan pemilu multiras pertama di Afrika Selatan pada tahun 1994.

Pemilu tersebut berlangsung dengan damai dan lancar. ANC memenangkan mayoritas suara rakyat dan mendapatkan 252 dari 400 kursi parlemen. Mandela terpilih secara mutlak sebagai presiden Afrika Selatan pertama yang dipilih secara demokratis oleh semua ras pada tanggal 10 Mei 1994. Ia dilantik di depan gedung parlemen di Pretoria, dengan dihadiri oleh para pemimpin dunia dan jutaan orang Afrika Selatan. Ia mengucapkan sumpah jabatannya dengan mengatakan:

“Saya, Nelson Rolihlahla Mandela, bersumpah untuk setia kepada Republik Afrika Selatan, dan akan mengabdikan diri saya sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat dan negara ini”.

Sebagai presiden, Mandela memiliki visi dan misi untuk menciptakan “pelangi bangsa”, yaitu sebuah masyarakat yang beragam, harmonis, dan sejahtera. Ia menerapkan program-program dan kebijakan-kebijakan yang bertujuan untuk mendorong rekonsiliasi nasional, memerangi rasisme, kemiskinan, dan ketimpangan sosial, serta meningkatkan kesehatan, pendidikan, dan hak asasi manusia.

Salah satu langkah penting yang dilakukan Mandela adalah membentuk Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (TRC) pada tahun 1995. TRC adalah sebuah lembaga yang bertugas untuk mengungkap kebenaran tentang pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi selama apartheid, memberikan pengampunan kepada para pelaku yang mengakui kesalahannya, dan memberikan kompensasi kepada para korban yang menderita. TRC dipimpin oleh Uskup Agung Desmond Tutu, seorang tokoh agama dan aktivis antiapartheid yang juga merupakan teman dekat Mandela.

Mandela juga berusaha untuk membangun hubungan baik dengan negara-negara tetangga dan dunia internasional. Ia menjalin kerjasama dengan negara-negara Afrika dalam hal pembangunan, perdagangan, dan perdamaian. Ia juga menjadi mediator dalam konflik-konflik internasional, seperti di Burundi, Kongo, dan Irak. Ia juga mendukung kampanye anti-AIDS, yang merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar di Afrika Selatan.

Baca Juga:  Unsur-Unsur Pembentuk Identitas Nasional

Mandela hanya menjabat sebagai presiden selama satu periode dari tahun 1994 sampai 1999. Ia memutuskan untuk tidak mencalonkan diri lagi karena ingin memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk memimpin negara. Ia menunjuk Thabo Mbeki, wakil presidennya, sebagai penerusnya. Ia mengundurkan diri dari jabatan presiden dengan ucapan:

“Saya tidak pernah merasa bahwa saya sendiri adalah penyelamat bangsa ini…Saya selalu merasa bahwa saya adalah seorang pelayan rakyat…Sekarang saatnya bagi saya untuk mundur agar Anda dapat memimpin diri Anda sendiri”.

Purna Tugas dan Kematian

Setelah pensiun dari jabatan presiden, Mandela tidak berhenti berkontribusi bagi Afrika Selatan dan dunia. Ia mendirikan Yayasan Nelson Mandela pada tahun 1999, sebuah organisasi nirlaba yang bertujuan untuk mempromosikan visi dan warisan Mandela melalui berbagai program sosial, pendidikan, dan kemanusiaan. Ia juga menjadi anggota The Elders, sebuah kelompok informal yang terdiri dari para pemimpin dunia yang berpengalaman dan bijaksana yang memberikan nasihat dan bantuan dalam menyelesaikan masalah-masalah global.

Mandela juga tetap aktif dalam kehidupan publik dan sosial. Ia sering muncul di berbagai acara dan perayaan nasional dan internasional. Ia juga sering bertemu dengan para pemimpin dunia, selebriti, tokoh agama, aktivis, dan anak-anak muda. Ia selalu menyampaikan pesan-pesan positif tentang perdamaian, persatuan, toleransi, dan harapan.

Namun, Mandela juga mengalami penurunan kesehatan seiring dengan bertambahnya usia. Ia menderita beberapa penyakit kronis, seperti prostatitis, tuberkulosis paru-paru, kanker prostat, dan infeksi saluran kemih. Ia juga mengalami masalah jantung, paru-paru, ginjal, hati, dan pernapasan. Ia sering dirawat di rumah sakit atau di rumahnya sendiri.

Pada tanggal 5 Desember 2013, Mandela meninggal dunia di rumahnya di Johannesburg pada usia 95 tahun. Ia meninggal karena komplikasi akibat infeksi paru-paru. Ia meninggalkan seorang istri, Graça Machel, tiga anak, 18 cucu, dan 12 cicit. Ia juga meninggalkan warisan yang tak ternilai bagi Afrika Selatan dan dunia.

Kematian Mandela menimbulkan duka yang mendalam bagi seluruh rakyat Afrika Selatan dan masyarakat internasional. Jutaan orang berkabung dan memberikan penghormatan kepada Mandela dengan meletakkan bunga, lilin, foto, dan pesan di depan rumahnya, kantor presiden, dan tempat-tempat bersejarah lainnya. Para pemimpin dunia, tokoh agama, selebriti, aktivis, dan teman-temannya mengirimkan ucapan belasungkawa dan penghargaan kepada Mandela. Ia dianggap sebagai salah satu pahlawan dan bapak bangsa terbesar dalam sejarah.

Mandela dimakamkan dengan upacara kenegaraan yang megah dan khidmat pada tanggal 15 Desember 2013 di desa Qunu, tempat ia dibesarkan. Upacara tersebut dihadiri oleh lebih dari 90 pemimpin dunia, termasuk Presiden AS Barack Obama, Presiden Kuba Raul Castro, Presiden Brasil Dilma Rousseff, Perdana Menteri Inggris David Cameron, dll. Upacara tersebut juga disiarkan secara langsung oleh televisi dan radio ke seluruh dunia. Ribuan orang menyaksikan upacara tersebut dari layar besar yang dipasang di stadion-stadion dan tempat-tempat umum lainnya.

Mandela dimakamkan di samping makam orang tuanya, kakek-neneknya, dan anak-anaknya yang telah meninggal sebelumnya. Ia dimakamkan dengan tradisi suku Thembu yang menghormati leluhurnya. Ia juga dimakamkan dengan penghormatan militer yang meliputi salvo meriam, terbang rendah pesawat jet, dan pengibaran bendera setengah tiang.

Posted in Ragam

Artikel Terkait: