Menu Tutup

Cara Menyikapi Bencana dalam Islam

[otw_shortcode_dropcap label=”B” background_color_class=”otw-green-background” size=”large” border_color_class=”otw-no-border-color”][/otw_shortcode_dropcap]encana yang telah terjadi merupakan sebuah kepastian yang nyata dan niscaya (conditio sine qua non). Dengan demikian, salah satu perkara yang terpenting adalah bagaimana kita menyikapi peristiwa yang telah terjadi tersebut. Peristiwa bencana itu sendiri bukanlah sebuah “persoalan”, karena memang sudah terjadi dan menimpa kita, apapun keadaan dan situasi kita. Oleh karena itu, persoalan yang sebenarnya adalah bagaimana kita menghadapi “persoalan” itu sendiri.

Untuk menyikapinya, dibutuhkan sebuah kesadaran yang utuh akan bencana dari pihak-pihak yang terkait bencana, yaitu individu, keluarga, masyarakat, dan pemerintah. Pihak-pihak ini harus memiliki sikap positif ketika bencana telah terjadi.

Diantara pihak-pihak yang ada, pemerintah adalah pihak yang paling bertanggungjawab dan mempunyai otoritas tertinggi dalam menyikapi bencana.

Mengapa demikian? Karena pemerintah lah yang mengemban amanat dalam pengaturan urusan hidup yang berkaitan dengan rakyat banyak (public) dan karena pemerintah yang memiliki wewenang untuk menggunakan dan menyalurkan segenap potensi dan sumberdaya yang diperlukan terkait dengan penanganan bencana. Pemerintah sebagai pihak yang paling otoritatif memiliki “kekuasaan” untuk menggerakkan potensipotensi yang ada di seluruh wilayah pemerintahannya.

Mengenai tanggungjawab pemerintah, dalam sebuah hadis disebutkan:

Dari Abdullah Ra. (diriwayatkan bahwa) ia berkata, bahwa Rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang amir (kepala negara) adalah pemimpin dan dia akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya … [H.R. al-Bukhāri dan Muslim].

Dalam hadis Rasulullah Saw. lainnya juga disebutkan mengenai tanggungjawab pemimpin untuk melaksanakan segala kebutuhan rakyatnya. Rasulullah bersabda:

Barangsiapa yang ditakdirkan oleh Allah Azza wa Jalla untuk menjadi pemimpin yang mengemban urusan kaum muslimin, lalu ia menghindar dari kebutuhan, kekurangan dan kefaqiran rakyatnya, Allah pasti akan menutup diri darinya ketika ia kekurangan, membutuhkan dan faqir [H.R. Abū Dāwud dari Mu’awiyah].

Dalam level otoritas dan tanggung jawab penanganan bencana, pemerintah adalah pihak yang paling besar tanggungjawabnya. masyarakat sebagai pihak yang juga mempunyai tanggungjawab, mempunyai kewajiban untuk berpartisipasi dalam penanganan bencana tersebut.

Satu hal yang perlu digarisbawahi bahwa bencana yang terjadi tidak hanya menimpa sekelompok orang saja, namun juga berdampak pada orang-orang di sekitarnya, bahkan cakupannya dapat meluas ke wilayah yang sangat jauh.

Oleh karena itu, penyikapan atas bencana merupakan tanggungjawab bersama dengan otoritas penuh dalam manajerialnya pada pemerintah. Dalam konteks umat Islam, kesadaran kemanusiaan itu adalah satu sehingga melintasi ras, etnik, bahasa, agama, budaya, dan status lainnya, sebagaimana firman Allah,

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenalmengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal [Q.S. al-Ḥujurāt (49): 13].

Dalam konteks kebencanaan, kata li ta’ārafū (واُفَارَعَلِ ) yang artinya “supaya kamu saling kenal mengenal” sebenarnya maknanya tidak hanya mengenal identitas, tetapi juga mengandung makna li ta’āwanū (واُنَاوَعَلِ) yaitu “untuk saling menjalin relasi positif”, sebagaimana disebutkan secara langsung dalam firman Allah:

Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya [Q.S. al-Māidah (5) : 2].

Implementasi dari jalinan relasi positif itu adalah membangun kesadaran primordial sebagai “manusia” yang tunggal dengan variasi tradisi, budaya, jenis kelamin, dan status sosial lainnya untuk saling memberi dan meringankan beban masing-masing.

Kata alnās yang terdapat dalam surat al-Hujurat di atas mengisyaratkan bahwa manusia diposisikan sebagai makhluk sosial yang terjalin relasi positif satu sama lain. Dengan demikian dalam menghadapi bencana harus didasarkan pada spirit tanggungjawab bersama sebagai persoalan kemanusiaan bersama.

Selanjutnya, konsekuensi dari spirit tersebut adalah pemenuhan hak bantuan bagi korban bencana. Kesadaran untuk membantu dan memenuhi hak bantuan bagi korban bencana merupakan kesadaran primordial sebagai manusia dan kesadaran ilahiyah karena Allah sebagai rabb manusia memerintahkan untuk memberikan bantuan itu. Dalam salah satu firman-Nya Allah menegaskan bahwa “jiwa” manusia beragama adalah “menolong dan memenuhi hak bagi orang lemah”, sehingga Allah memberi predikat kepada orang yang tidak mau menolong dan memenuhi hak bagi orang lemah sebagai “pendusta agama” [Q.S. al-Mā’ūn (107): 1-7].

Mengenai spirit menolong yang lemah, dalam ayat lain Allah berfirman,

Pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian [Q.S. al-Żariyat (51): 19].

Dalam ayat di atas, disebutkan bahwa sāil dan maḥrūm memiliki hak yang harus ditunaikan oleh orang yang mampu. Sāil umumnya ditafsirkan sebagai orang yang menyampaikan haknya kepada orang lain atau orang yang meminta. Sedangkan al-māḥrūm, umumnya diterjemahkan sebagai orang yang berkebutuhan namun tidak meminta. Sebenarnya ada beragam penafsiran ulama mengenai siapa yang dimaksud atau siapa saja cakupan dari al-maḥrūm.

Menurut al-Qurzhiy sebagaimana dikutip oleh al-Qurthubi, al-maḥrūm bisa juga mencakup orang yang tertimpa musibah (allażī aṣābathu al-jāiḥah).11 Dengan tercakupnya korban bencana dalam makna al-maḥrūm, maka korban bencana sebenarnya memiliki hak untuk menerima bantuan yang menjadi tanggungjawab pihak lain terhadap mereka.

Dengan kata lain, memberikan pertolongan kepada orang yang sedang terkena bencana atau sedang mengalami dampak negatif dari bencana adalah sebuah kewajiban dalam agama Islam.

Karena merupakan kewajiban, maka bantuan kepada korban bencana harus memenuhi standar kelayakan minimal. Ini sama halnya dengan menunaikan zakat yang harus memenuhi syaratsyarat tertentu untuk dapat ditunaikan. Oleh karena itu, bantuan bencana tidak dapat diberikan ala kadarnya atau secara asal-asal, tetapi harus berdasarkan suatu kerangka minimal yang ditetapkan.

Sejalan dengan hal ini, bagi korban bencana, tidak ada alasan untuk “merasa sendiri”. Mereka tetap harus memiliki harapan yang kuat untuk menggapai kehidupan yang lebih baik. Dengan sikap ini, para korban bencana tetap harus percaya bahwa “di luar” dirinya banyak orang lain yang peduli dan memiliki solidaritas kepada mereka.

Harapan untuk mengarungi hidup di masa depan harus dibangun berdasarkan keyakinan akan adanya kepedulian orang lain dan karena Allah tidak menghendaki orang yang berputus asa. Sebagaimana firman Allah,

(Ya’qub berkata): Hai anak-anakku, pergilah kamu, maka carilah berita tentang Yusuf dan saudaranya dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir” [Q.S. Yūsuf (12): 87].

Ibrahim berkata: “Tidak ada orang yang berputus asa dari rahmat Tuhan-nya, kecuali orang-orang yang sesat” [Q.S. al-Ḥijr (15): 57].

Putus asa tidak akan dapat mengubah kondisi kehidupan ketika ditimpa bencana. Dengan demikian, pilihan untuk bangkit dan menyongsong masa depan dengan tetap menjadikan peristiwa yang telah berlalu seabgai pelajaran adalah modal terbesar untuk memperbaiki kehidupan di masa yang akan datang.

Selain semangat untuk bangkit dan keyakinan akan adanya pertolongan dari orang lain, sikap penting lainnya yang harus dimiliki setelah bencana terjadi adalah syukur dan sabar. Pada saat manusia menerima musibah berupa kebaikan maka harus bersyukur kepada Allah, karena hal itu merupakan ujian berupa ḥasanāt (kebaikan).

Menurut Muhammad Abduh, bersyukur (alsyukru) dilakukan dengan hati, secara lisan, dan perbuatan, dan ini berbeda dengan al-hamdu yang bermakna pujian dengan lisan saja.12 Syukur secara hati adalah kemantaban dan keikhlasan hati dalam menerima kebaikan dari Allah yang diikuti dengan pujian kepada Allah dengan mengucapkan alḥamdu lillāhi rabbil’ālamīn.

Syukur kemudian dilanjutkan dengan perbuatan, yakni dengan menggunakan seluruh kebaikan yang telah diberikan oleh Allah untuk menciptakan kebaikan-kebaikan kembali kepada seluruh makhluk. Dengan sikap ini maka niscaya Allah akan menambah kebaikan pada seseorang tersebut sebagaimana firman Allah,

Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” [Q.S. al-A’rāf (7): 14].

Buah dari sikap syukur akan kembali kepada manusia sendiri yang berupa kebaikan yang berlimpah dibandingkan dengan kebaikan sebelumnya, Allah menegaskan dalam firman-Nya,

Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata: “Ini termasuk karunia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barangsiapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia” [Q.S. Ghāfir (40): 27].

Selanjutnya, pada saat manusia diberi musibah berupa keburukan (sayyi`āt) maka ia harus bersabar. Bersabar adalah upaya hati, lisan dan perbuatan.

Sabar dengan hati adalah kesadaran bahwa keburukan yang dihadapi adalah bentuk kasih sayang Allah supaya dia memperbaiki diri atas kesalahan dan kekurangan yang telah dilakukan dan mengembalikannya kepada Allah.

Sabar dengan lisan adalah dengan ucapan lisan innā lillāhi wa innā ilaihi rāji’ūn (tarjī’), sebagaimana firman Allah,

(155) Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (156) (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan: “Inna lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun” [Q.S. al-Baqarah (2): 155-156].

Ketahuilah, bahwasanya pada kesabaran terhadap segala yang tidak engkau sukai itu terdapat kebaikan yang banyak. Sungguh, pertolongan itu bersama dengan kesabaran dan jalan keluar itu bersama dengan kesusahan. Bersamaan dengan kesulitan itu ada kemudahan.” [H.R. Aḥmad dari Ibn ‘Abbās].

Sedangkan sabar dengan perbuatan adalah upaya merubah kondisi buruk yang dihadapi sekarang untuk menciptakan kebaikan-kebaikan di masa yang akan datang. Rasulullah bersabda,

Barangsiapa yang sabar akan disabarkan Allah, dan tidak ada pemberian Allah yang paling luas dan lebih baik daripada kesabaran [HR. al-Bukhāri, Muslim dari Ibn Sa’īd].

Bersabar tidak hanya dimaknai dengan usaha untuk menuju kebaikan setelah musibah keburukan terjadi, tetapi juga dapat dimaknai sebagai usaha membuat kebaikan-kebaikan jauh sebelum musibah keburukan terjadi. Misalnya dengan memperhitungkan risiko-risiko dari setiap tindakan dan perilaku terhadap sesama manusia dan alam untuk menciptakan kebaikan yang lebih besar dan menghindarkan diri dari musibah keburukan (bencana).

Perhitungan-perhitungan yang dilakukan manusia jauh sebelum peristiwa yang berupa bencana terjadi akan menghasilkan kebaikan-kebaikan yang lebih besar daripada sikap sabar setelah bencana terjadi. Salah satu sikap sabar itu di antaranya sabar dalam melakukan persiapan untuk mengantisipasi bencana.

Dengan demikian sabar bukanlah sikap yang pasif melainkan sikap yang aktif, yakni mensikapi seluruh peristiwa yang buruk dengan sikap yang baik dengan diiringi oleh sikap lain yakni ihtiar menuju kondisi yang lebih baik.

Referensi:

Berita Resmi Muhammadiyah, Fikih Kebencanaan, 2018

 

Baca Juga: