Menu Tutup

Dampak Kebebasan Pers terhadap Kehidupan Masyarakat Indonesia

Kebebasan pers dalam bahasa Inggrisnya disebut freedom of opinion and expression dan freedom of the speech. John C. Merril merumuskan kebebasan pers sebagai suatu kondisi riil yang memungkinkan para pekerja pers bisa memilih, menentukan dan mengerjakan tugas sesuai keinginan mereka. Bebas dari negatif dan bebas dari positif. Bebas artinya kondisi seseorang yang tidak di paksa melakukan sesuatu.

Kebebasan pers mulai didapatkan setelah jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada saat itu rakyat menginginkan adanya reformasi pada segala bidang baik ekonomi, sosial, budaya yang pada masa orde baru terbelenggu. Tumbuhnya pers pada masa reformasi merupakan hal yang menguntungkan bagi masyarakat.

Dalam kerangka ini, pers telah memainkan peran sentral dengan memasok dan menyebarluaskan informasi yang diperluaskan untuk penentuan sikap, dan memfasilitasi pembentukan opini publik dalam rangka mencapai konsensus bersama atau mengontrol kekuasaan penyelenggara negara.

Peran inilah yang selama ini telah dimainkan dengan baik oleh pers Indonesia. Setidaknya, antusias responden terhadap peran pers dalam mendorong pembentukan opini publik yang berkaitan dengan persoalan-persoalan bangsa selama ini mencerminkan keberhasilan tersebut. Setelah reformasi bergulir tahun 1998, pers Indonesia mengalami perubahan yang luar biasa dalam mengekspresikan kebebasan.

Fenomena itu ditandai dengan munculnya media-media baru cetak dan elektronik dengan berbagai kemasan dan segmen. Keberanian pers dalam mengkritik penguasa juga menjadi ciri baru pers Indonesia.

Dalam sebuah negara yang demokratis, Pers yang bebas merupakan salah satu komponen yang paling esensial dari masyarakat, sebagai prasyarat bagi perkembangan sosial dan ekonomi yang baik. Keseimbangan antara kebebasan pers dengan tanggung jawab sosial menjadi sesuatu hal yang penting. Hal yang pertama dan utama, perlu dijaga jangan sampai muncul ada tirani media terhadap publik.

Sampai pada konteks ini, publik harus tetap mendapatkan informasi yang benar, dan bukan benar sekadar menurut media. Pers diharapkan memberikan berita dengan se-objektif mungkin, hal ini berguna agar tidak terjadi ketimpangan antara rakyat dengan pemimpinnya mengenai informasi tentang jalannya pemerintahan.

Masalah baru muncul ketika kebebasan pers telah kebablasan. Hal ini terlihat darii pemberitaan yang dianggap kurang balance antara kepentingan masayarakat dan kepentingan pers untuk mengejar tingkat oplah. Untuk itu, pihak pers cenderung mengutakan konsep berita yang sensasional, sangat partisipan, dan yang kurang obyektif. Selain itu, pada level etis kemanusiaan kebebasan pers dinilai telah mengangkangi nilai dan norma kemasyarakatan dan lebih mengutamakan kaidah jurnalistik itu sendiri.

Emilianus juga mencatat bahwa klaim kebebasan bisa dilihat dari kebebasan pers (liberal) yang dinilai menafikan nilai human being dan telah merongrong keutuhan ruang privat manusia. Dari fakta ini muncul kegamangan dan kemuakan masyarakat terhadap kebebasan pers yang dinilainya kebablasan.

Kebebasan yang demikian berakibat pada rusaknya moral masyarakat dan mengganggu kedaulatan pemerintah, sehingga muncullah tuntutan masyarakat dan pemerintah terhadap pers, khususnya pada pers yang provokatif, sensasional dan komersil dalam menyajikan informasi. Hal itu jelas sekali terlihat pada media-media yang menyajikan berita politik dan hiburan baik berupa seks ataupun yang lainnya. Sungguh ironi, dalam sistem politik yang relatif terbuka saat ini, pers Indonesia cenderung memperlihatkan performa dan sikap yang dilematis.

Di satu sisi, kebebasan yang diperoleh seiring tumbangnya rezim Orde Baru membuat media massa Indonesia leluasa mengembangkan isi pemberitaan. Namun, di sisi lain, kebebasan tersebut juga sering kali tereksploitasi oleh sebagian industri media untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya dengan mengabaikan fungsinya sebagai instrumen pendidik masyarakat.

Bukan hanya sekedar celah antara rakyat dengan pemimpin, tetapi pers diharapkan dapat memberikan pendidikan untuk masyarakat agar dapat membentuk karakter bangsa yang bermoral. Padahal seharusnya peran pers saat ini dapat menyelesaikan kesenjangan komunikasi politik antara masyarakat dan pemerintah.

Karena, disinilah pers menjadi media yang memungkinkan untuk menjembatani masyarakat dan pemerintah agar komunikasi politik antara yang berkuasa dengan masyarakatnya dapat berjalan. Namun masa Reformasi ternyata menyisakan masalah bagi pers, tidak hanya masalah kebebasan pers yang dinilai kebablasan juga dampak yang diakibatkan dapat meresahkan masyarakat.

Sumber: Academia.edu

Baca Juga: