Menu Tutup

Etika Istri Mencari Nafkah

Sebagimana yang telah dipaparkan di atas, ulama fiqih berbeda pendapat terkait hukum seorang istri mencari nafkah.

Terkait istri yang mencari nafkah untuk keluarganya, terutamanya jika mengharuskan mereka keluar dari rumah, menurut sebagian ulama yang membolehkan, dengan memberikan syaratsyarat atau ketentuan yang harus mereka laksanakan. Ada etika dan aturan harus mereka perhatikan.

1. Mendapat Ijin dari Suami

Jika seorang istri ingin bekerja mencari nafkah, maka para ulama mengharuskan yang pertama harus mendapat ijin dari suaminya.

Jika suaminya tidak mengijinkan, maka istri tidak boleh membantahnya dan melakukannya.

Mematuhi suami merupakan ketaatan utama untuk sang istri setelah ketaatan terhadap Allah Rasulnya. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah disebutkan:

Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Jawab beliau, “Yaitu yang paling menyenangkan jika dilihat suaminya, mentaati suami jika diperintah, dan tidak menyelisihi suami pada diri dan hartanya sehingga membuat suami benci” (HR. An-Nasa’i)

2. Tidak Mengabaikan Urusan di Rumah

Seorang istri yang bekerja mencari nafkah, baik dilakukan di rumah, apalagi yang keluar rumah, harus memastikan bahwa dia telah melaksanakan kewajibannya sebagai seorang istri apalagi jika telah menjadi ibu.

Istri harus ingat perannya di rumah, pekerjaan yang dia lakukan tanpa mengabaikan kewajiban dan tanggung jawabnya di rumah.

Harus memastikan suami dan anak-anaknya tetap terurus, urusan di rumah tetap dijalankan. Merupakan kekeliruan besar ketika dia mementingkan pekerjaan, sementara suami, anakanak dan rumahnya tidak terabaikan. Karena hal itu dapat mempengaruhi keharmonisan rumah tangganya.

3. Menjaga Diri

Kewajiban harus dilakukan seorang istri yang mencari nafkah, baik di rumah atau di luar adalah hendaklah senantiasa menjaga diri dan kehormatan dirinya, keluarganya dan agamanya.

Jika dia keluar rumah harus berpakaian yang menutup aurat, sopan, dan tidak berlebihan.  Tidak berhias yang berlebihan, memakai wewangian yang dapat mengundang syahwat laki-laki yang bukan mahramnya serta menjaga pergaulannya dari pergaulan yang buruk.

Dalam sebuah hadis nabi menyebutkan:

“Jika seorang wanita selalu menjaga shalat lima waktu, juga berpuasa sebulan (di bulan Ramadhan), serta betul-betul menjaga kemaluannya (dari perbuatan zina) dan benarbenar taat pada suaminya, maka dikatakan pada wanita yang memiliki sifat mulia ini, “Masuklah dalam surga melalui pintu mana saja yang engkau suka.” (HR. Ahmad)

4. Tidak Ada yang Terdzolimi

Seorang istri yang bekerja apalagi yang keluar rumah, harus memastikan tidak mendzolimi seorang pun dengan dia bekerja. Seperti mendzolimi orang tuanya, dengan menitipkan anak-anaknya pada orang tuanya, apalagi orang tuanya telah sepuh apalagi sampai mempekerjakan mengurus rumahnya.

Dengan dia bekerja, harus dipastikan juga, tidak akan mendzolimi anaknya. Misalkan sang anak masih bayi, hanya bisa menyusu dari ibunya, maka jika dia bekerja, sang ibu harus memenuhi ASI anaknya terpenuhi.

Sebelum istri bekerja yang tidak memungkinkan dapat menemui sang anak dalam setiap waktu, maka hendaklah menstok susu atau makanan terlebih dahulu yang mencukupi kebutuhan sang anak, dan menitipkan anaknya pada baby sitter atau pembantu yang bisa menggantikan peran ibunya di rumah.

Kemudian sang istri harus memastikan bahwa suaminya tidak terdzolimi dengan dia bekerja, rumah tangganya tetap terurus dan berjalan harmonis.

Jika dengan bekerjanya sang istri ada pihak yang terdzolimi, maka hal ini tidak dibenarkan. Dan Syariah Islam tidak   membenarkan        adanya kedzoliman, mendzolimi atau terdzolimi.

Wallahu a’lam. 

Sumber: Isnawati, Istri Bekerja Mencari Nafkah?, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2018

Baca Juga: