Puasa Ramadhan adalah salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang mukallaf. Namun, ada beberapa hal yang dapat menghalangi seseorang untuk berpuasa, seperti sakit, musafir, haid, nifas, atau pekerja berat. Dalam hal ini, Allah SWT memberikan keringanan kepada mereka untuk tidak berpuasa dan menggantinya di hari lain setelah Ramadhan. Allah SWT berfirman:
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٖ فَعِدَّةٞ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
“Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (al-Baqarah; 185)
Namun, bagaimana jika seseorang meninggal dunia sebelum sempat mengqadha’ puasanya? Apakah ada kewajiban bagi ahli warisnya untuk menggantikannya? Atau cukup dengan membayar fidyah? Atau tidak ada tanggung jawab apa pun?
Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Secara umum, ada tiga pendapat utama:
Pendapat Pertama: Tidak Ada Kewajiban Apa Pun
Pendapat ini adalah pendapat mayoritas ulama dari madzhab Malikiyyah, Hanafiyyah, dan Syafi’iyyah (menurut pendapat baru) serta sebagian ulama Hanabilah. Mereka berpendapat bahwa tidak ada kewajiban apa pun bagi ahli waris untuk mengqadha’ puasa orang yang meninggal dunia atau membayar fidyah atas namanya. Alasannya adalah:
- Puasa adalah ibadah badaniyah yang tidak dapat diwakilkan oleh orang lain. Hanya orang yang berpuasa sendiri yang mendapatkan pahala dan keutamaannya. Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa puasa dapat digantikan oleh orang lain setelah kematian.
- Puasa adalah ibadah yang memiliki waktu tertentu dan tidak dapat ditunda tanpa udzur. Jika seseorang meninggal dunia sebelum sempat mengqadha’ puasanya, maka ia dianggap telah terhalang oleh takdir Allah SWT dan tidak berdosa atasnya.
- Puasa adalah ibadah yang bersifat individu dan tidak berkaitan dengan hak orang lain. Tidak ada kewajiban bagi ahli waris untuk menunaikan hutang puasa orang yang meninggal dunia seperti halnya hutang uang atau zakat.
- Puasa adalah ibadah yang tidak memiliki nisab atau batas minimal. Tidak ada ketentuan tentang jumlah hari puasa yang harus diganti oleh ahli waris jika mereka ingin melakukannya.
Pendapat Kedua: Wajib Mengqadha’ atau Membayar Fidyah
Pendapat ini adalah pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah (menurut pendapat lama) dan sebagian ulama Hanabilah. Mereka berpendapat bahwa wajib bagi ahli waris untuk mengqadha’ puasa orang yang meninggal dunia atau membayar fidyah atas namanya. Alasannya adalah:
- Puasa adalah ibadah yang memiliki kewajiban dan hutang yang harus ditunaikan. Jika seseorang meninggal dunia sebelum sempat mengqadha’ puasanya, maka ia masih memiliki tanggung jawab atasnya dan ahli warisnya harus menyelesaikannya.
- Puasa adalah ibadah yang memiliki dalil yang menunjukkan bahwa dapat digantikan oleh orang lain setelah kematian. Dalil-dalil tersebut adalah:
- Hadits dari Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, ia berkata: Seorang laki-laki mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, ‘Sesungguhnya ibuku telah meninggal, padahal ia memiliki hutang puasa selama satu bulan. Apakah saya harus membayarkan untuknya?” Beliau menjawab: ‘Sekiranya ibumu memiliki utang uang, apakah kamu harus membayarnya?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Ya, tentu.’ Beliau bersabda: ‘Kalau begitu, maka utang kepada Allah adalah lebih berhak untuk dilunasi.’” (HR Muslim)
- Hadits dari Aisyah radliallahu ‘anha; Bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Siapa yang meninggal, sedangkan ia masih memiliki utang puasa, maka yang membayarnya adalah walinya.” (HR Bukhari, Muslim)
- Puasa adalah ibadah yang berkaitan dengan hak Allah SWT dan juga hak orang lain. Jika seseorang meninggal dunia sebelum sempat mengqadha’ puasanya, maka ia telah menyia-nyiakan hak Allah SWT dan juga hak dirinya sendiri untuk mendapatkan pahala dan keutamaan puasa.
- Puasa adalah ibadah yang memiliki nisab atau batas minimal. Jumlah hari puasa yang harus diganti oleh ahli waris adalah sama dengan jumlah hari puasa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia.
Pendapat Ketiga: Boleh Mengqadha’ atau Membayar Fidyah
Pendapat ini adalah pendapat sebagian ulama Syafi’iyyah (menurut pendapat shahih) dan sebagian ulama Hanabilah. Mereka berpendapat bahwa boleh bagi ahli waris untuk mengqadha’ puasa orang yang meninggal dunia atau membayar fidyah atas namanya. Alasannya adalah:
- Puasa adalah ibadah yang memiliki kewajiban dan hutang yang harus ditunaikan. Jika seseorang meninggal dunia sebelum sempat mengqadha’ puasanya, maka ia masih memiliki tanggung jawab atasnya dan ahli warisnya boleh menyelesaikannya.
- Puasa adalah ibadah yang memiliki dalil yang menunjukkan bahwa dapat digantikan oleh orang lain setelah kematian. Dalil-dalil tersebut adalah hadits-hadits yang telah disebutkan sebelumnya.
- Puasa adalah ibadah yang berkaitan dengan hak Allah SWT dan juga hak orang lain. Jika seseorang meninggal dunia sebelum sempat mengqadha’ puasanya, maka ia telah menyia-nyiakan hak Allah SWT dan juga hak dirinya sendiri untuk mendapatkan pahala dan keutamaan puasa. Oleh karena itu, ahli warisnya boleh menggantikannya dengan puasa atau fidyah sebagai bentuk kebaikan dan keutamaan.
- Puasa adalah ibadah yang memiliki nisab atau batas minimal. Jumlah hari puasa yang boleh diganti atau dibayar fidyahnya oleh ahli waris adalah sama dengan jumlah hari puasa yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia.
Kesimpulan
Dari ketiga pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa masalah mengqadha’ puasa bagi orang yang meninggal dunia adalah masalah khilafiyah yang tidak ada dalil yang qath’i atau pasti tentangnya. Oleh karena itu, tidak ada paksaan atau keharusan bagi ahli waris untuk mengikuti salah satu pendapat tertentu. Namun, jika mereka ingin berbuat baik dan mendapatkan pahala, maka mereka boleh mengqadha’ puasa orang yang meninggal dunia atau membayar fidyah atas namanya sebagai bentuk ketaatan kepada Allah SWT dan kasih sayang kepada orang yang telah tiada.