Menu Tutup

Hukum Perikatan Syariah dalam Jasa Pemesanan

Menurut Prof. Subekti, S.H., pengertian perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan hal itu, pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain, dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditor atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang. Hubungan antara dua orang atau dua pihak tadi, adalah suatu hubungan hukum, yang berarti bahwa hak si berpiutang itu dijamin oleh hukum atau undan-undang. Apabila tuntutan itu tidak dipenuhi secara sukarela, si berpiutang dapat menuntutnya di pengadilan. Adapun hukum perikatan syariah, menurut Prof. Dr.H.M.Tahir Azhari, S.H., adalah bagian dari hukum islam bidang muamalah yang mengatur perilaku manusia dalam menjalankan hubungan ekonominya. Misalnya dalam hal jual beli, pemesanan barang dan lain-lainnya.[1]

Pemesanan menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)  adalah proses, perbuatan, cara memesan atau memesankan. Sedangkan pesanan adalah permintaan hendak membeli (supaya dikirim, dibuatkan, dan sebagainya) barang yang dipesan. Jadi, hukum perikatan dalam pemesanan dapat diartikan bagian dari hukum bidang muamalah yang mengatur hubungan dua orang atau lebih, berdasarkan hal itu, pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak lain (pemesan), dan pihak lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu (pengirim). Contoh aplikasi dari jasa pemesanan dalam bidang muamalah adalah akad jual beli salam, dan istishna’. Kegiatan dalam jasa pemesanan merupakan kegiatan muamalah dalam akad jual beli, sehingga hukum perikatan dalam jasa pemesanan sama dengan hukum dalam jual beli. Artinya rukun, syarat, dan ketentuan lain dalam jasa pemesanan sama dengan rukun, syarat, dan ketentuan lain dalam jual beli.

Adapun rukun dan syarat jual beli :[2]

  1. Orang yang berakad atau al-muta’aqidain ( penjual dan pembeli ).

Para ulama’ fiqh sepakat  bahwa orang yang melakukan akad jual beli harus berakal. Artinya jual beli hukumnya tidak sah jika dilakukan oleh anak kecil yang belum berakal dan orang gila. Yang melakukan akad adalah orang yang berbeda. Artinya seseorang tidak dapat bertindak dalam waktu yang bersamaan sebagai penjual sekaligus sebagai pembeli.

  1. Shighat (lafal ijab dan qabul).

Para ulama fiqh sepakat bahwa unsur utama dalam jual beli yaitu kerelaan kedua belah pihak. Kerelaan kedua belah pihak dapat dilihat dari ijab dan qabul yang dilangsungkan. Menurut ulama fiqh kontemporer, seperti Mustafa Ahmad al-Zarqa’ dan Wahbah al-Zuhaily mengatakan bahwa jual beli melalui media elektronik seperti telepon dibolehkan asal antara ijab dan qabul sejalan. Menurut mereka, satu majlis tidak harus diatikan sama-sama hadir dalam satu tempat secara lahir, tetapi juga dapat diartikan dengan satu situasi dan satu kondisi, sekalipun antara keduanya berjauhan, tetapi topik yang dibicarakan adalah jual beli itu. Artinya kegiatan jual beli dalam pemesanan melalui media telpon di bolehkan dalam hukum islam.

  1. Barang yang diperjualbelikan (ma’qud ‘alaih).

Syarat-syarat yang berkaitan dengan barang yang diperjualbelikan sebagai berikut:

  • Barang itu ada, atau tidak ada ditempat, tetapi pihak penjual menyatakan keanggupannya untuk mengadakan barang itu. Artinya barang yang dipesan oleh konsumen harus segera dikirim oleh penjual.
  • Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. Oleh sebab itu, bangkai, khamar, dan darah tidak sah menjadi objek jual beli, karna dalam pandangan syara’ benda-benda seperti ini tidak bermanfaat bagi muslim.
  • Milik seseorang. Barang yang sifatnya belum dimiliki seseorang tidak boleh diperjualbelikan, seperti memperjualbelikan ikan dilaut atau emes dalam tanah, karena ikan dan emas ini belum dimiliki penjual.
  • Boleh diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.
  • Nilai tukar pengganti barang (harga barang).

Termasuk unsur terpenting dalam jualbeli adalah nilai tukar dari barang yang dijual (untuk zaman sekarang adalah uang). Adapun syarat-syaratnya:

  • Harga yang disepakati kedua belah pihak harus jelas jumlahnya.
  • Boleh diserahkan pada waktu akad, sekalipun secara hukum seperti pembayaran dengan cek dan kartu kredit. Apabila harga barang itu dibayar kemudian (berutang) maka waktu pembayarnya harus jelas.
  • Apabila jual beli itu dilakukan dengan saling mempertukarkan barang (al-muqayadhah) maka barang yang dijadikan nilai tukar bukan barang yang diharamkan syara’, seperti babi dan khamar kaerena kedua jenis benda ini tidak bernilai menurut syara’.

[1] Mardani. “Hukum Perikatan Syariah di Indonesia”. Jakarta: Sinar Grafika, 2013. Hal:  6-8

[2]Rahman Ghazaly Abdul, Ihsan Ghufron, dan Shidiq Sapiudin. “Fiqh Muamalat”. Jakarta: Prenadamedia Group, 2010. Hal. 71-76

Baca Juga: