Puasa Ramadhan adalah salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslim yang mampu. Namun, ada beberapa hal yang dapat menghalangi seseorang untuk berpuasa, salah satunya adalah haid. Haid adalah suatu kondisi alami yang dialami oleh wanita setiap bulannya, yang menyebabkan darah keluar dari rahimnya. Haid dapat membatalkan puasa dan shalat, sehingga wanita yang sedang haid harus mengganti puasanya di hari lain setelah Ramadhan.
Namun, ada beberapa wanita yang ingin tetap berpuasa sebulan penuh tanpa terputus oleh haid. Mereka berusaha untuk menunda atau mencegah haid dengan menggunakan obat-obatan tertentu, seperti pil KB atau pil penunda haid. Apakah hal ini diperbolehkan dalam Islam? Bagaimana hukumnya jika wanita meminum obat penunda haid saat puasa Ramadhan?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat beberapa pendapat ulama tentang masalah ini. Berdasarkan hasil pencarian web, ada tiga pendapat utama yang dapat kita simpulkan sebagai berikut:
Pendapat pertama: Boleh meminum obat penunda haid selama tidak membahayakan kesehatan.
Pendapat ini didasarkan pada fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) nomor 4 tahun 2003 tentang Hukum Mengonsumsi Obat Penunda Haid. Dalam fatwa ini, MUI menjelaskan bahwa mengonsumsi obat penunda haid untuk bisa melakukan ibadah haji hukumnya mubah (boleh). Hal ini karena ibadah haji adalah kewajiban sekali seumur hidup yang memiliki syarat-syarat tertentu, salah satunya adalah suci dari haid.
Sedangkan mengonsumsi obat penunda haid agar bisa melakukan puasa Ramadhan sebulan penuh hukumnya makruh (dibenci). Hal ini karena puasa Ramadhan adalah kewajiban setiap tahun yang dapat diganti di hari lain jika ada udzur (halangan), seperti haid. Namun, bagi wanita yang sulit meng-qada’ (mengganti) puasanya di hari lain karena alasan-alasan tertentu, seperti sakit atau hamil, maka hukumnya mubah.
Adapun mengonsumsi obat penunda haid yang tujuannya selain dua hal tersebut di atas, maka hukumnya tergantung pada niatnya. Jika niatnya baik dan tidak ada hal-hal yang dilarang syariat atau membahayakan kesehatan, maka boleh. Jika niatnya buruk atau ada hal-hal yang dilarang syariat atau membahayakan kesehatan, maka tidak boleh.
Fatwa MUI ini juga didukung oleh pendapat Imam Ibnu Baz, seorang ulama terkemuka dari Arab Saudi. Beliau mengatakan bahwa tidak masalah bagi wanita untuk menggunakan obat pencegah haid selama bulan Ramadhan, sehingga dia bisa berpuasa bersama kaum muslimin lainnya. Namun, beliau menekankan bahwa obat tersebut harus aman dan tidak berbahaya bagi kesehatan wanita.
Pendapat kedua: Boleh meminum obat penunda haid jika benar-benar kering dan tidak ada darah yang keluar.
Pendapat ini didasarkan pada kriteria suci dan tidak suci bagi wanita yang mengkonsumsi obat penunda haid. Jika obat tersebut berhasil menghentikan keluarnya darah sama sekali, maka wanita tersebut dianggap suci dan boleh berpuasa dan shalat. Namun, jika obat tersebut tidak berhasil menghentikan keluarnya darah sama sekali atau masih ada darah yang keluar meskipun sedikit, maka wanita tersebut dianggap haid dan tidak boleh berpuasa dan shalat. Wanita tersebut harus mengganti puasanya di hari lain setelah Ramadhan.
Pendapat ini didasarkan pada penjelasan Syaikh Musthofa Al-Adawi, seorang ulama kontemporer dari Mesir. Beliau mengatakan bahwa hukum wanita yang mengkonsumsi obat pencegah haid tergantung pada apakah darahnya telah putus sempurna atau tidak. Jika darahnya telah putus sempurna, maka dia boleh puasa dan tidak perlu mengulangi. Jika darahnya belum putus sempurna, maka dia tidak boleh puasa dan harus mengulangi.
Pendapat ketiga: Tidak boleh meminum obat penunda haid karena bertentangan dengan kodrat Allah.
Pendapat ini didasarkan pada sikap tidak menyarankan atau melarang wanita untuk menggunakan obat pencegah haid, meskipun untuk tujuan ibadah. Hal ini karena sikap tersebut dianggap kurang menunjukkan kepasrahan terhadap kodrat yang Allah tetapkan untuk para wanita. Haid adalah sesuatu yang Allah ciptakan sebagai fitrah bagi wanita, dan tidak seharusnya diubah atau dicegah dengan cara apapun.
Pendapat ini didukung oleh Imam Ibnu Utsaimin, seorang ulama terkemuka dari Arab Saudi. Beliau mengatakan bahwa dia tidak menyarankan para wanita menggunakan obat pencegah haid untuk membantunya melakukan ketaatan kepada Allah. Karena darah haid yang keluar merupakan sesuatu yang Allah tetapkan untuk para wanita. Beliau juga menyebutkan dalil dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menemui beliau di kemahnya ketika haji wada’. Ketika itu, beliau telah melakukan ihram untuk umrah, namun tiba-tiba datang haid sebelum sampai ke Mekah. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya:
فَاصْنَعِي مَا يَصْنَعُ الْحَاجُ إِلَّا أَنْ لَا تُطُوفِي بِالْبَيْتِ حَتَّى تَطْهُرِي
“Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji, kecuali janganlah engkau thawaf di Baitullah sampai engkau suci.” (HR. Bukhari no. 1650 dan Muslim no. 1211)
Dari hadis ini, kita dapat memahami bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyuruh Aisyah untuk menggunakan obat pencegah haid agar bisa melanjutkan ibadahnya, tetapi menyuruhnya untuk bersabar dan menunggu sampai suci.
Demikianlah beberapa pendapat ulama tentang hukum puasa jika mengkonsumsi obat untuk menunda haid. Semoga artikel ini bermanfaat dan menambah wawasan kita tentang agama. Wallahu a’lam bish-shawab.