Pengertian dan Hukum Nikah Siri dalam Islam

Pengertian Nikah Siri

Nikah siri merupakan istilah yang sudah cukup lama dikenal di tengah masyarakat Indonesia, sehingga sejarah awal keberadaannya dan kapan muncul istilah tersebut tidak bisa disebutkan secara pasti. Istilah nikah siri (sebagaimana perkembangannya saat ini) sebetulnya tidak dikenal dalam fiqh klasik dan bukan merupakan term yang dapat dijumpai dalam beberapa literatur keagamaan.

Namun demikian, dalam sejarah pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, istilah “sirr” pernah disebutkan dalam sebuah riwayat. Ketika beliau diberitahu bahwa telah terjadi perkawinan yang tidak dihadiri oleh saksi yang memadai, Umar berkata : “Ini adalah nikah siri dan aku tidak membolehkannya, dan sekiranya aku datang pasti aku akan merajamnya” Perkawinan tersebut dianggap sirr karena persoalan saksi yang tidak memadai. Hal yang perlu digaris bawahi dari perkataan Umar tersebut adalah ketika berbicara tentang hukuman yang akan dia timpakan yang disejajarkan dengan hukum terjadinya perzinaan. Dari sini sebetulnya dapat dipahami bahwa pernikahan secara sirri akan sangat rentan terjerumus kepada perzinaan.

Menurut Machasin (Dirjen Bimas Islam Kemenag RI), nikah siri merupakan fenomena yang sudah sangat tua. Bahkan fenmomena ini pernah booming di Yogyakarta sekitar tahun 1975-1985 di mana banyak yang dilakukan oleh mahasiswa yang berpacaran untuk menghalalkan hubungan seksual.

Persoalan ini mencuat di Indonesia setelah diundangkannya regulasi tentang pencatatan perkawinan sekitar tahun 1973 yang kemudian lahir Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974. Setelah tahun 1974 maka tidak ada lagi perkawinan yang tidak tercatat. Adapun perkawinan yang terjadi sebelum itu, maka ada peluang mendaftarkan perkawinannya ke Pengadilan Agama untuk diisbatkan, yang biasa disebut dengan isbat nikah.[1]

Hukum Nikah Siri Dalam Islam

Dalam islam nikah siri diperbolehkan , tetapi harus memenuhi syarat dan rukunnya. Seperti adanya 2 orang saksi yang adil, serta adanya ijab dan Kabul. Jika pernikahan siri itu dilakukan tanpa adanya wali nikah, maka pernikahan tersebut dianggap tidak sah dalam agama.

Pernikahan siri memang sah di mata agama tetapi tidak sah di mata hukum, karena tidak tercatat dalam lembaga resmi KUA tetapi pernikahan siri ini tidak dianjurkan karena selain anak yang tidak terlindungi haknya, Negara juga tidak dapat melakukan perlindungan hukum kepada pelaku pernikahan siri, terutama kepada istri apabila terjadi KDRT atau pada saat suami tidak memberikan nafkah yang sesuai kepadanya. Selain itu, dapat mempersulitkan pengurusan adminitrasi terutama pada sang anak.