Meskipun Nabi dan umat Islam telah meninggalkan Makkah, tetapi kafir Quraisy tidak menghentikan permusuhannya karena jika Islam berkembang di Madinah bukan hanya mengancam kepercayaan mereka tetapi juga ekonomi. Sebab letak Madinah berada di jalur dagang mereka ke Syam.
Maka tidak mengherankan jika terjadi peperangan antara umat Islam dengan kafir Quraisy selama 8 tahun dalam puluhan kali pertempuran. Yang terpenting di antaranya adalah:
Perang Badar
Perang Badar, terjadi pada bulan Ramadhan 2 H (624 M), di dekat sebuah sumur milik Badr. Sebab utamanya adalah untuk memenuhi tekad kafir Quraisy membunuh Nabi yang berhasil meloloskan diri ke Madinah dan menghukum orang yang melindunginya.
Penyebabnya secara khusus karena adanya berita lewat mata-mata bahwa kabilah dagang yang dipimpin Abu Sofyan yang kembali dari Syam akan dicegat oleh umat Islam di Madinah, sehingga Abu Sofyan mengambil jalan lain hingga selamat sampai ke Makkah. Umat Islam memang memutuskan melakukan pencegatan itu, karena harta kaum muhajirin yang tinggal di Makkah telah diambil oleh orangorang Quraisy.
Orang-orang Quraisy sebanyak 1000 orang di bawah pimpinan Abu Jahl bergerak menuju Madinah. Sementara umat Islam sebanyak 314 orang menyongsong barisan itu.
Sebelum diadakan peperangan terlebih dahulu dilakukan perang tanding, tampil 3 orang pahlawan Quraisy, semuanya dari keluarga Bani Umaiyah, yaitu; Utbah ibn Rabiah dan putranya Al-Walid ibn Utbah serta saudara sepupunya Sya’ibah ibn Muawiyah. Hubungan Hindun binti Muawiyah, istri Abu Sofyan dengan Sya’ibah adalah saudara kandung.
Dari pihak Islam dipilih Nabi 3 orang panlawan Bani Hasyim, yaitu ‘Ubaidah ibn Harits, paman beliau Hamzah dan Ali ibn Abi Thalib. Pahlawan Kafir Quraisy tewas ketigatiganya, Hamzah berhasil menewaskan Sya’ibah, Ali berhasil menewaskan al-Walid serta ‘Utbah tewas di tangan mereka bertiga. Adapun ‘Ubaidah karena terkena luka parah gugur menjadi syahid.[1]
Dalam perang ini kaum muslimin keluar sebagai pemenang. Di pihak Islam gugur 14 orang dan di pihak musuh gugur pula 70 orang, termasuk Abu Jahl sebagai pemimpin perang, dan beberapa orang lainnya tertawan.
Perang ini sangat menentukan bagi umat Islam. Hal ini dapat terbaca dari doa Nabi sebelum berperang : “Ya Allah! Bila umat Islam kalah, engkau tidak lagi akan disembah di permukaan bumi”. Bantuan Allah datang dengan menurunkan malaikat-malaikat. (Baca Surah Ali Imran, ayat 122, Al-Anfal, ayat 9 – 12, 17 dan 43 – 44).
Mendengar kekalahan orang Quraisy dalam perang ini membuat Abu Lahab yang tidak ikut perang Badar jatuh sakit karena dia sangat mengharapkan kemenangan orang Quraisy dalam perang tersebut ternyata dia tidak dapat menerima kekalahan kaumnya itu. Selama lebih kurang tiga hari tiga malam jatuh sakit diapun tewas di tempat tidurnya. Dengan demikian dalam perang Badar ini dua orang musuh utama Nabi, yaitu Abu Jahl dan Abu Lahab tewas dalam waktu yang hampir bersamaan.
Perang Uhud
Perang Uhud, terjadi pada tahun 3 H (625 M). Penyebabnya karena kekalahan kaum Quraisy dalam perang Badr merupakan pukulan berat. Mereka bersumpah akan melakukan pembalasan. Untuk itu pemimpin Abu Sofyan memobilisasi 3000 prajurit. Beberapa orang pembesar disertai istrinya berperang termasuk istri Abu Sofyan sendiri, Hindun. Mereka berangkat menuju Madinah.
Mendengar berita itu, Nabi bermusyawarah dengan para sahabat dan disepakati menyongsong musuh ke luar kota. Nabi Muhammad dengan pasukan 1000 orang meninggalkan kota Madinah. Tetapi baru saja melewati batas kota, Abdullah bin Ubay seorang munafiq dengan 300 orang Yahudi membelot dan kembali ke Madinah. Meski pun dengan 700 pasukan, Nabi tetap melanjutkan perjalanan.
Di Bukit Uhud kedua pasukan itu bertemu. Nabi memilih 50 orang pemanah ahli di bawah pimpinan Abdullah bin Jabir untuk menjaga garis belakang pertahanan. Mereka diperintahkan Nabi agar tidak meninggalkan tempat tersebut, apapun yang terjadi, menang atau kalah.
Perang dasyat pun berkobar. Pertama-tama prajurit Islam dapat memukul mundur tentara musuh yang lebih besar itu. Pasukan berkuda yang dipimpin Khalid bin Walid gagal menembus benteng pasukan pemanah Islam.
Sayangnya kemenangan yang sudah diambang pintu itu tibatiba gagal karena godaan harta gonimah. Prajurit Islam mulai memungut harta rampasan perang tanpa menhiraukan gerakan musuh. Termasuk di dalamnya anggota pasukan pemanah yang diperingatkan Nabi agar tidak meninggalkan pos-nya apapun yang terjadi.
Kelengahan kaum muslimin ini dimanfaatkan oleh Khalid bin Walid untuk melumpuhkan pasukan pemanah Islam, dan pasukan musuh yang tadinya sudah kalah berbalik menyerang pasukan Islam. Akibatnya satu per satu pahlawan Islam gugur, bahkan Nabi sendiri terluka dan terperosok jatuh ke dalam sebuah lubang, dengan bercucuran darah. Melihat kejadian itu, seorang Quraisy meneriakkan bahwa Nabi telah tewas. Karena yakin bahwa Nabi telah terbunuh, kaum Quraisy menghentikan perang.
Di pihak Islam lebih dari 70 orang gugur, termasuk paman Nabi Hamzah yang dadanya dibelah dan hatinya dimakan istri Abu Sofyan, Hindun karena dendam melihat Hamzah yang membunuh saudaranya dalam perang tanding badar sebelumnya.
Penghianatan Abdullah bin Ubay dan pasukan Yahudi yang membelot diganjar dengan tindakan tegas. Mereka itu terdiri dari Yahudi Bani Nadir, salah satu suku Madinah, mereka diusir ke luar kota. Kebanyakan mereka mengungsi ke Khaibar. Sedangkan Yahudi lainnya, yaitu bani Quraizah masih tetap di Madinah.
Perang Ahzab/Khandaq
Perang Ahzab, terjadi pada bulan Syawal 5 H (627 M). di pihak musuh membentuk pasukan gabungan yang terdiri dari orang-orang Quraisy, suku Yahudi yang mengungsi ke Khaibar, dan beberapa suku Arab lainnya. Mereka berjumlah 10.000 tentara di bawah pimpinan Abu Sofyan.
Menghadapi pasukan sebanyak itu, Nabi memutuskan bertahan, setelah mendengar usul Salman Al-Farisi, agar umat Islam bertahan dengan menggali parit (Khandaq), terutama di bagian utara kota. Sisi lain dikelilingi bukit yang dapat dijadikan sebagai benteng pertahanan. Itulah sebabnya perang ini selain disebut perang Ahzab (pasukan sekutu) juga perang Khandaq (parit).
Di pihak Islam terdapat 3000 orang prajurit. Taktik Nabi itu membawa hasil. Pasukan musuh tidak dapat menyeberangi parit. Namun mereka mengepung Madinah dengan mendirikan kemah-kemah di luar parit, hampir sebulan lamanya. Dalam masa-masa kritis itu, orang-orang Yahudi Bani Quraizah di bawah pimpinan Ka’ab bin Asad berkhianat. Karena mereka yang ditugasi Nabi mempertahankan garis belakang bergabung dengan Yahudi Bani Nadir akan memukul umat Islam.
Hal itu membuat umat Islam semakin terjepit. Apalagi mereka mengalami kesulitan yang amat dahsyat, menderita kelaparan, sehingga terpaksa mengikatkan batu ke perut mereka. Namun dalam kesulitan yang sempat menggoncangkan jiwa mereka itu, pertolongan Allah tiba.
Angin dan badai yang amat kencang turun merusak dan menerbangkan kemah-kemah mereka, dan menebarkan debu yang membuat mereka susah melihat. Mereka terpaksa kembali ke negeri masing-masing tanpa hasil apapun. Sementara itu, penghianat-penghianat Yahudi Bani Quraizah dijatuhi hukuman mati, sebanyak 700 orang.[2]
Perjanjian Hudaibiyah
Perjanjian Hudaibiyah, pada tahun 6 H, ketika ibadah haji sudah disyariatkan. Nabi memimpin 1000 kaum muslimin berangkat ke Makkah, bukan untuk berperang melainkan untuk melakukan ibadah umrah. Karena itu mereka memakai pakaian ihram tanpa membawa senjata. Sebelum tiba di Makkah, mereka berkemah di Hudaibiyah, beberapa kilometer dari Makkah.
Penduduk Makkah tidak mengizinkan mereka masuk kota apapun alasannya. Mereka mengutus Suhail bin Amr menemui Nabi dan meminta agar umrah ditunda tahun depan. Permintaan itu diterima Nabi.
Akhirnya diadakanlah perjanjian yang lebih dikenal dengan nama “Perjanjian Hudaibiyah”, yang isinya antara lain:
- Kaum muslimin belum boleh mengunjungi Ka’bah tahun ini, tetapi ditunda sampai tahun depan.
- Orang kafir Makkah yang ingin masuk Islam tanpa izin walinya harus ditolak umat Islam.
- Orang Islam yang ingin kembali ke Makkah (murtad) tidak boleh ditolak orang Quraisy.
- Gencatan senjata antara kedua belah pihak selama 10 tahun.[3]
Masa Genjatan Senjata.
Setahun kemudian ibadah haji ditunaikan sesuai dengan rencana. Banyak orang Quraisy yang masuk Islam setelah melihat kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh masyarakat Islam Madinah. Di antaranya Khalid bin Walid dan Amr bin Ash.
Masa gencatan senjata telah memberi kesempatan kepada Nabi; pertama, mengirim utusan dan surat kepada kepala-kepala negara dan pemerintahan ke berbagai negeri lain yang ada saat itu untuk mengajak mereka memeluk Islam.
Di antara raja-raja yang dikirimi utusan dan surat oleh Nabi itu adalah raja Ghassan, Mesir, Abesinia, Persia, dan Romawi. Namun tidak seorang pun di antara mereka yang masuk Islam. Tapi ada yang menolak secara kasar, seperti yang diperlihatkan oleh raja Ghassan yang membunuh utusan Nabi, Harits bin Umair. Ada pula yang menolak secara halus, seperti yang diperlihatkan Raja Mesir Maqaqis, dia mengirimkan dua hamba sahaya dan sejumlah hadiah untuk diberikan kepada Rasulullah.[4]
Untuk membalas perlakuan kasar Raja Ghassan itu, Nabi mengirim pasukan perang sebanyak 3000 orang, pada tahun 8 H. Maka terjadilah perang Mu’tah. Dalam peperangan itu pasukan Islam itu mengalami kesulitan menghadapi tentara Ghassan yang mendapat bantuan dari Romawi, sehingga berjumlah 200.000 orang.
Akibatnya, tiga pimpinan pasukan Islam gugur dalam perang tersebut, masing-masing Zaid bin Haritsah, Abdullah bin Rawahah dan Ja’far bin Abi Thalib. Melihat kenyataan yang tidak seimbang itu, Khalid bin Walid mengambil alih komando dan memerintahkan pasukan kembali ke Madinah.
Kedua. Masa gencatan senjata juga memberi kesempatan kepada Nabi untuk mengadakan perhitungan dengan orang-orang Yahudi yang sudah tiga kali melakukan penghianatan. Oleh karena itu pada tahun 7 H, kota Khaibar sebagai kota pertahanan Yahudi dikepung. Akhirnya seluruh Yahudi yang ada di Jazirah Arab mengadakan perjanjian dengan Nabi. Isinya, mereka harus menyetor separoh dari hasil tanaman dan buah-buahan mereka kepada kaum muslimin sebagai jaminan agar mereka tidak berkhianat lagi.[5]
Ketiga, Masa gencatan senjata juga memberikan kesempatan kepada orang-orang Arab memikirkan hakikat Islam. Sehingga dalam dua tahun perjanjian Hudaibiyah, dakwah Islam sudah menjangkau seluruh Jazirah Arab dan mendapat tanggapan yang positif.
Hampir seluruh Jazirah Arab, termasuk suku-suku yang paling selatan menggabungkan diri dalam Islam. Hal ini membuat orang-orang Makkah merasa terpojok. Perjanjian Hudaibiyah ternyata menjadi senjata bagi umat Islam untuk memperkuat dirinya.
Penaklukan Kota Makkah
Dua tahun setelah terjadi Perjanjian Hudaibiyah, ternyata dilanggar oleh kaum Quraisy. Pada tahun 8 Hijrah mereka membantu sekutunya Bani Bakr yang berperang dengan Bani Khuza’ah sekutu umat Islam. Nabi menegur Abu Sofyan tentang bantuan yang mereka berikan kepada Bani Bakr. Dijawab Abu Sofyan bahwa perjanjian Hudaibiyah telah mereka batalkan.
Oleh karena mereka telah membatalkan perjanjian Hudaibiyah secara sepihak. Maka Nabi bersama 10.000 pasukan bertolak ke Makkah untuk melawan mereka. Menjelang sampai di Makkah pasukan Islam berkemah di pinggiran kota Makkah. Abu Sofyan, pemimpin Quraisy dan anaknya Muawiyah dan juga paman Nabi, Abbas menemui Nabi untuk menyatakan diri masuk Islam.
Dengan demikian pemimpin-pemimpin Quraisy sudah semuanya masuk Islam menjelang penaklukan Kota Makkah, maka pasukan Islam memasuki kota Makkah tanpa perlawanan sama sekali. Berhala-berhala yang selama ini ada di Ka’bah berjumlah 360 mereka hancurkan.
Setelah itu, Nabi berkhutbah menjanjikan ampunan Tuhan terhadap kafir Quraisy. Kemudian mereka datang bebondong-bondong memeluk agama Islam. Dengan takluknya kota Makkah, maka patahlah sudah perlawanan orang Quraisy terhadap orang Islam sebagaimana firman Allah dalam surat al-Nashr.
[1] Ahmad Syalabi
[2] M. Husein Haikal
[3] Ibid, h. 402-403.
[4] Satu di antara hamba sahaya itu bernama Maria al-Qibtiyah diangkat Nabi sebagai istrinya kelak.
[5] Ahmad Syalabi
Sumber: Nasution, Syamruddin. “Sejarah Perkembangan Peradaban Islam.” (2017).