Menu Tutup

Sejarah Kodifikasi Hadits

Dalam fakta sejarah, di masa sahabat belum ada pembukuan hadis secara resmi yang diprakarsai  pemerintah, padahal peluang untuk membukukan hadits terbuka. Umar bin Khattab pernah berfikir membukukan hadits, ia meminta pendapat para sahabat, dan disarankan membukukannya. Setelah Umar bin Khattab istikharah sebulan lamanya ia membatalkan rencana tersebut.

Pada masa tabi’in wilayah islam bertambah luas. Perluasan daerah tersebut diikuti dengan penyebaran ulama untuk menyampaikan ajaran ilsam di daerah-daerah, termasuk ulama hadis. Penyebaran hadis disesuaikan dengan kekuatan hafalan masing-masing ulama itu sendiri, sehingga tidak merata hadis yang dimiliki ulama hadis. Maka kondisi tersebut sebagai alasan kodifikasi hadis. Kodifikasi ini disinonimkan dengan tadwin al-hadits tentunya berbeda dengan penulisan hadits kitabah al-hadits.

Tadwin al-hadits mempunyai makna “penulisan hadits Nabi ke dalam suatu buku (himpunan, dan susunan) yang pelaksanaanya dilakukan atas legalitas yang berlaku umum dari lembaga kenegaraan yang diakui masyarakat. Sedangkan Kitabah al-Hadits itu sendiri asal mulanya merupakan hasil kesaksian sahabat Nabi terhadap sabda, perbuatan, taqrir, dan atau al-ihwal Nabi kemudian apa disaksikan oleh sahabat itu lalu disampaikannya kepada orang lain, dan seterusnya, baik secara lisan maupun tulisan. Jadi belum merupakan kodifikasi, akan tetapi baru merupakan tulisan-tulisan-tulisan atau catatan-catatan pribadi. S

edangkan perbedaan-perbedaan antara kodifikasi hadis secara resmi dari penulisan hadis adalah sebagai berikut:

1. Kodifikasi hadis secara resmi dilakukan oleh suatu lembaga administratif yang diakui masyarakat, sedang penulisan hadis dilakukan oleh perorangan.
2. Kegiatan kodifikasi hadis tidak hanya menulis, tapi juga mengumpulkan, menghimpun, dan mendokumentaskannya.
3. Tadwin hadis dilakukannya secara umum, yang melibatkan segala perangkat yang dianggap berkompeten terhadapnya, sedang penulisan hadis dilakukan oleh orang-orang tertentu.

Secara resmi berdasarkan perintah khalifah, dengan melibatkan beberapa personil, yang ahli dalam khalifah, dengan melibatkan beberapa personil yang ahli dalam masalah ini. Bukan dilakukan secara perorangan atau untuk kepentingan pribadi, seperti terjadi pada masa-masa sebelumnya. Khalifah Umar bin Abdul Aziz melalui instruksi kepada Abu Bakar bin Muhammad bin Amr bin Hazm (Gubernur Madinah) dan para ulama Madinah agar memperhatikan dan mengumpulkan hadis dari para penghafalnya.

Khalifah menginstruksikan kepada Abu Bakar ibn Muhammad bin Hazm agar mengumpulkan hadis-hadis yang ada pada Amrah binti Abdurrahman al-Anshari (wafat 98H) murid kepercayaan siti ‘Aisyah. Dan al Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar (wafat 107H). Instruksi yang sama ia tunjukkan pula kepada Muhammad bin Syihab Al-Zuhri (wafat 124H), yang dinilainya sebagai orang yang lebih banyak mengetahui hadis dari pada yang lainnya. Peranan para ulama hadis, khususnya al-Zuhri, sangat mendapat penghargaan dari seluruh umat Islam.

Mengingat pentingnya pernana al-Zuhri ini, para ulama di masanya memberikan komentar, bahwa jika tanpa dia, di antara hadis-hadis niscaya hadis sudah banyak yang hilang. Beberapa pokok mengapa khalifah Umar bin Abdul Aziz mengambil kebijaksanaan seperti ini. Pertama, ia khawatir hilangnya hadis-hadis, dengan menginggalnya para ulama di medan perang. Kedua, ia khawatir akan tercampurnya antara hadis-hadis yang shahih dengan hadis-hadis yang palsu. Ketiga, bahwa dengan semakin meluasnya daerah kekuasaan Islam, sementara kemampuan para tabi’in antara satu dengan yang lainnya tidak sama, jelas sangat memerlukan adanya usaha kodifikasi ini.

Sumber:

  • Karim, Abdullah, membahas ilmu-ilmu hadis ,(PT.  Comdes Kalimantan), h. 65-68.
  • SUPARTA, Munzier, ilmu hadis (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada 1996) cet. Ke 2, h. 66-74.

Baca Juga: