Menu Tutup

Periode Fikih Islam

Secara historis, perkembangan hukum dibagi kedalam empat periode, yaitu: periode Nabi, periode Sahabat, periode ijtihad serta kemajuan, dan periode taklid serta kemunduran.

Periode Nabi

Pada masa ini Nabi Muhammad saw menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul dalam masyarakat berdasarkan wahyu yang turun secara berangsur-angsur. Sedangkan terhadap masalah yang cara penyelesaiannya belum disebut oleh wahyu yang sudah turun, Nabi melakukan ijtihad (putusan yang didasarkan pada pemikiran yang mendalam). Ketika ijtihad Naabi saw tentang hukum ini benar, biasanya tidak diikuti oleh turunnya ayat al-Qur’an untuk memperbaikinya. Dan sebaliknya, ketika putusan Nabi saw tersebut “tidak benar”, Allah menurunkan ayat al-Qur’an untuk menjelaskan hukum yang sebenarnya. Inilah yang dimaksud Nabi Muhammad saw disebut terjaga dari kesalahan (maksum). Pada periode ini seluruh persoalan dikembalikan kepada Nabi Muhammad saw, untuk diputuskan, sehingga Nabi lah yang menjadi satu-satunya sumber fikih (hukum). Pada posisi seperti ini, Prof Harun Nasution menyebut bahwa secara direk pembuat hukum adalah Nabi, tetapi secara indirek Allah-lah pembuat hukumnya, karena hukum yang dikeluarkan Nabi tersebut bersumber pada wahyu Allah. Peran Nabi dalam masalah hukum ini seakan hanya bertugas untuk menyampaikan dan melaksanakan hukum yang ditentukan oleh Allah. Selanjutnya apa yang diterimanya dari Allah ini terhimpun dalam al-Qur’an dan sunnah yang bisa dijadikan sumber hukum untuk generasi sesudahnya.

Periode Sahabat

Meluasnya wilayah Islam pada periode ini, mau tidak mau umat Islam bersentuhan dengan wilayah di luar semenanjung Arabia yang telah mempunyai peradaban tinggi dan susunan masyarakat yang tidak sederhana lagi. Kompleksitas yang semakin tinggi ini juga memaksa munculnya persoalan baru yang menuntut ditentukan hukum fikihnya. Menghadapi kompleksitas masalah baru ini biasanya para sahabat merujuk pada al-Qur’an dan sunnah Nabi. Dalam hal kembali pada al-Qur’an, bagi para sahabat tidak terlalu menjadi masalah karena al-Qur’an sudah mereka hafal dan sudah dibukukan pada masa Abu Bakar, dan semakin tersempurnakan pada masa Utsman bin Affan. Berbeda halnya dengan al-Qur’an, masalah sunnah Nabi, yang belum dihafal dan dibukukan menjadi masalah baru, dimana mereka yang tidak bertanggung jawab membuat-buat perkataan yang dinisbahkan kepada Nabi, yang dikemudian dikenal sebagai hadis palsu.

Kompleksitas masalah muncul dan terbatasnya ayat-ayat al-Qur’an tentang hukum yang tidak mengover seluruh masalah yang muncul untuk ditentukan hukumnya, ditambah dengan hadis palsu, memaksa Khalifah dan para Sahabat untuk melakukan ijtihad. Karena turunnya wahyu sudah terhenti pada masa ini, maka tidak ada lagi sumber yang bisa digunakan untuk mengkonfirmasi benar tidaknya sebuah ijtihad. Untuk mengatasi masalah ini para sahabat tidak memutuskan masalah secara sendiri-sendiri, melainkan memutuskannya secara bersama-sama secara bulat, yang lebih dikenal sebagai ijma’ sahabat. Namun ijmak ini hanya mudah dilakukan pada masa Abu Bakar, tidak pada masa Umar dan seterusnya karena para Sahabat sudah tersebar ke daerah-daerah yang jatuh dibawah kekuasaan Islam, seperti  Mesir, Suria, Irak dan Persia. Oleh karena itu pada masa ini memunculkan apa yang diputuskan hukumnya dengan ijtihad pada persoalan-persoalan yang tidak dijumpai secara langsung dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan ijma’ Sahabat dan Sunnah Sahabat. Singkatnya, bagi generasi berikutnya sumber hukum ditambah sunnah Sahabat, mendampingi al-Qur’an dan Sunnah Nabi.

Kompleksitas lain yang juga memicu munculnya problematika hukum baru adalah masuknya orang-orang non-Arab ke dalam Islam, tata pemerintahan yang berkembang [muncul peradilan, ekonomi pasar, dll], serta masuknya pengaruh budaya Romawi dan Persia ke dalam kehidupan umat Islam.

Periode Ijtihad dan Kemajuan (700 – 1000 M).

Pada periode ini ditandai dengan pengumpulan hadis, ijtihad atau fatwa Tabi’in (generasi pasca sahabat). Sebagaimana pada masa Sahabat, pada era Tabiin ini wilayah kekuasaan Islam mengalami perluasan yang sangat pesat. Hal ini juga diikuti munculnya banyak problem yang memerlukan penetapan hukum agamanya (baca: fikih). Menyikapi hal ini, para ahli hukum pada waktu itu banyak melakukan ijtihad berdasarkan al-Qur’an, sunnah Nabi dan sunnah Sahabat. Dari banyak ulama yang melakukan ijtihad ini, mereka yang memiliki otoritas keilmuan di bidang fikih ada yang mendapat pengakuan secara luas, yang selanjutnya mereka menjadi rujukan dalam menyelesaikan problematika hukum. Di antara para mujtahid yang menjadi panutan ini kemudian dikenal dengan sebutan imam atau faqih dalam Islam.

Para imam di masa Tabiin ini, sesuai dengan luasnya wilayah Islam di masa itu, tersebar di berbagai wilayah Islam. Di Madinah misalnya, diantaranya Sa’id Ibn Masayyab,’Urwah bin Zubair dan al-Qasim ibn Muhammad. Dari Tabi’in ini kemudian lahrilah murid-murid yang melanjutkan pemikiran mereka, seperti Muhammad Ibn Syahab al-Zuhri, Yahya Ibn Sa’id dan Malik bin Anas. Yang terakhir ini selanjutnya menjadi pendiri mazhab Maliki, sebagaimana yang sering kita dengar.

Sementara itu, para fuqaha Tabiin yang terkenal di Makkah adalah ‘Ikrimah dan Mujahid, yang melahirkan murid-murid terkenal mereka seperti Sufyan Ibn ‘Uyanah dan Muslim Ibn Khalid. Dari murid-murid Tabiin yang ada di Makkah inilah Imam Syafi’i belajar sewaktu berada di Makkah. Imam Syafi’i ini selanjutnya mendirikan mazhab Syafi’i yang berkembang luas di dunia Islam. Selain belajar pada ulama fikih di Makkah, Imam Syafi’i juga belajar dari ulama fikih yang silsilah keilmuannya berasal dari Tabiin yang tinggal di Mesir, seperti Yazid Ibn Habib. Dari Yazid inilah lahir al-Laiz Ibn Sa’ad, seorang ulama fikih yang terkenal, yang dari beliau ini Imam Syafi’i belajar banyak tentang Islam, termasuk fikih.

Ulama dari golongan Tabiin ada juga yang menempati wilayah Kufah, seperti ‘Alqamah bin Qais dan al-Qadhi Syuraih, di mana murid mereka yang paling masyhur adalah Ibrahim al-Nakha’i. Dari Ibrahim al-Nakha’i ini melahirkan murid yang juga sangat terkenal di masanya, yakni Hammad Ibn Abi Sulaiman, yang darinya Imam Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi) belajar. Karena berada di tempat yang jauh dari sumber beredarnya sunnah Nabi (Madinah) yang ketika itu masih disebarkan dalam budaya tutur dan perkembangan kebudayaan masyarakat yang tinggi, maka Imam Abu Hanifah lebih banyak menggunakan “pendapat” (الرَّأيُ) dalam menyelesaikan permasalahan yang menuntut penyelesaian hukumnya. Beliau hanya menggunakan sunnah yang betul-betul diyakini kebenarannya. Oleh karena itu mazhab yang satu ini lebih dikenal sebagai mazhab ahlu ra’yi. Meskipun demikian, ia tidak terlalu fanatik terhadap pendapatnya dengan selalu mengatakan: “inilah pendapat saya…dan kalau ada orang lain yang membawa pendapat yang lebih kuat, maka pendapatnya itulah yang lebih benar.”

Sementara itu dari Baghdad yang berakar pada Tabiin yang melahirkan Imam Abu Hanifah, dan selanjutnya memunculkan Abu Yusuf yang menjadi ulama terkenal, dan sekaligus guru Ahmad Ibn Hanbal, pendiri mazhab Hambali. Guru lain dari Ahmad Ibn Hanbal ini adalah Imam Syafi’i. Sejarah sebenarnya mencatat lebih dari empat mazhab fikih di atas, dari golongan ahlus sunnah, seperti mazhab Sufyan al-Sauri, mazhab Syuraih al-Nakha’i, mazhab Abi Saur, mazhab al-Auza’i, mazhab al-Thabari dan mazhab al-Zahiri. Singkatnya semua mazhab ahlus sunnah ini kurang populer kemudian menghilang, sehingga yang muncul atau dikenal hanya empat mazhab di atas. Sementara itu di kalangan Syi’ah muncul mazhab Zaidiyah, Syi’ah Itsna ‘Asyariyah dan mazhab Syi’ah Ismailiyah.

Gambaran singkat pada periode ini adalah betapa dinamisnya perkembangan ilmu fikih. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya mazhab yang muncul tersebut. Bahkan pada periode ini terjadi pembukuan hadis dan fatwa-fatwa imam besar.

Periode Taqlid (Sekitar Abad ke-empat Hijriyah/ke-duabelas Masehi)

Bersamaan dengan kemunduran kebudayaan umat Islam, pada periode in bisa dikatakan perkembangan hukum fikih mengalami kemandekan. Empat mazhab yang ada mengalami kestabilan di tengah masyarakat, sehingga perhatian orang bukan lagi ke al-Qur’an dan sunnah Nabi, tetapi lebih memperhatikan buku-buku fikih yang berisi fatwa fikih imam-imam besar tersebut. Hal ini diperparah oleh ulama-ulama mazhab yang mempertahankan mazhab imam mereka masing masing dan menganggap hanya mazhab imamnyalah yang benar dan yang lainnya tidak benar. Mereka sudah merasa cukup menjadi mujtahid fil mazahib, enggan beranjak meningkatkan kualitas diri menjadi mujtahid mutsaqil seperti empat imam mazhab sebelumnya.

Pada periode ini juga ditandai munculnya ulama-ulama yang belum mencapai kualifikasi mujtahid, namun mengeluarkan fatwa hukum. Dari fatwa mereka inilah berawalnya kekacauan dalam bidang hukum dan sekaligus keresahan dalam masyarakat. Salah satu contoh kasusnya adalah adanya sebuah kasus yang sama di kota yang sama memperoleh keputusan hukum yang bertentangan. Dalam suasana seperti ini, sebagian ulama melihat perlunya untuk menutup pintu ijtihad, dan pengadilan perkara tidak boleh lagi didasarkan kecuali pada pendapat ulama-ulama besar sebelumnya. Muncul pula larangan untuk kembali langsung merujuk pada al-Qur’an dan sunnah Nabi untuk menentukan hukum suatu perkara. Dari sinilah faham dan sikap taklid, yakni mengikuti saja pendapat ulama sebelumnya tanpa perlu mengetahui dasar berpijaknya, mendapat lahan subur untuk berkembang, yang dampaknya masih kita rasakan sampai saat ini.

Baca Juga: