Menu Tutup

Rawi, Syarat Rawi, dan Tahammu Wa Al – Ada’

Pengertian Rawi

Kata rawi atau ar-rawi berarti orang yang meriwayatkan atau memberikan hadits[1] Sedangkan menurut istilah yaitu orang yang menukil, memindahkan atau menuliskan hadits dengan sanadnya baik itu laki-laki maupun perempuan.

Rawi harus benar – benar memiliki pengetahuan bahasa arab yang mendalam. Diantaranya, perawi harus seorang ahli ilmu Nahwu, sharaf dan ilmu bahasa, mengerti konotasi lapadz dan maksudnya, memahami perbedaan – perbedaan dan mampu menyampaikan hadits dengan tepat.

Perawi dalam kondisi terpaksa. Lupa susunan harfiahnya, sedangkan kandungan hadits tersebut sangat diperlukan. Hal ini dianggap baik dari pada tidak meriwayatkan suatu hadits, atau enggan meriwayatkan hadits dengan alasan lupa lapadznya sementara nilai pokok (hukum) yang terkadung dalam hadits tersebut sangat diperlukan ummat Islam.

Perawi harus menyertakan kalimat – kalimat yang menunjukkan bahwa hadits tersebut diriwayatkan dengan periwayatan makna seperti terungkap pada kalimat – kalimat “Ad kama kola”.Menurut periwayatan hadits dengan cara bi al makna (Makna) di perbolehkan apabila lapdz – lapadz hadits tersebut lupa. Periwayatan itu tidak merusak maksud, sehingga terpelihara dari kesalahan periwayata. Tetapi cara ini hanya akan berlaku pada zaman sahabat yang langsung mereportase prilaku Nabi.

Kebolehan periwayatan hadits dengan makna terbatas, pada masa sebelum di bukukan hadits nabi secara resmi. Sesudah masa pembukuan (tadwin) hadits. Harus dengan lapadz. Kedudukan boleh tidaknya  meriwayatkan hadits denan makna, sejak sahabatpun sudah controversial, namun pada umumnya sahabat memperbolehkannya. Tetapi, sebenarnya mereka yang berpegang teguh pada periwayatan dengan lapadz tidak melarang secara tegas sahabat lain dalam meriwayatkan hadits dengan makna.

Syarat-Syarat Rawi

Berakal, cakap/cermat, adil, dan Islam adalah syarat syarat yang mutlak untuk menjadi seorang perawi agar riwayatnya dapat diterima. apabila seorang perawi tidak memenuhi seluruh predikat itu maka hadistnya akan ditolak dan tidak akan dipakai. Oleh para kritikus hadist, baik angkatan lama maupun angkatan baru, keempat syarat tersebut membutuhkan penjabaran lebih lanjut. Berikut ini syarat – syarat rawi :

Berakal

Menurut para ahli hadist berkal berarti identik dengan kemampuan seseorang untuk  membedakan. Jadi untuk mampu menanggung dan menyampaikan suatu hadist, seseorang harus telah memasuki usia akil baligh[2]

Sahabat yang paling banyak menerima riwayat, yang  mereka dengar pada masa kecilnya, ialah Anas bin Malik, Abdullah bin Abbas, dan Abu Sa’id al-Khudri. Mahmud bin rabi’ masih ingat Rasulullah menghukumnya pada waktu ia membuat kesalahan dan beliau wafat ketika Mahmud berusia 5 tahun[3].

Cermat

Kecermatan perawi bisa dikenali dari hadist yang dia riwayatkan ternyata cocok dengan yang diriwayatkan oleh orang yang dikenal cermat, telilti dan terpercaya. tetapi itu tidak harus mengena keseluruhan. Perbedaan yang tidak sedikit tentang hadist yang mereka riwayatkan masih dapat didamaikan. Tapi jika perbedaan terlampau jauh dan tidak sesuai dengan hadist yang mereka riwayatkan, maka kecermatanya masih diragukan[4]

 Syu’bah al-Hajjaj berkata: “Hadist aneh yang anda terima berasal dari orang yang aneh pula”[5]. Allah akan menghargai orang orang yang bersikap cermat dalam periwayatan hadist, merekalah orang yang pandai dan bijaksana, mereka hanya mau mengutip hadis shahih saja. hadist shahih diketahui bukan hanya dari riwayatnya saja tapi juga melalui pemahaman dan penghafal dan banyak mendengar[6].

Adil

Perawi yang adil ialah yang bersikap konsisten dan berkomitmen tinggi pada urusan agama, yang bebas dari setiap kefasikan dan dari hal-hal yang merusak kepribadian, Al-khatib al-Baghdadi memberikan definisi adil sebagai berikut: ”yang tahu melaksanakan kewajibannya dan segala yang diperintahkanya kepadanya- dapat menjaga diri dari larangan-larangan, menjauhi dari kejahatan, mengutamakan kebenaran dan kewajiban dalam segala tindakan dan pergaulannya, serta menjaga perkataan yang bisa merugikan agama dan merusak kepribadian. Barang siapa dapat menjaga dan mempertahankan sifat-sifat tersebut maka ia dapat disebut bersikap adil bagi agamanya dan hadistnya diakui kejujuranya[7].”

Para ulama membedakan adilnya seorang rawi dan bersihnya seorang saksi. Jika masalah kebersihan dapat baru diterima dengan penyaksian dua saksi. Saksi ini baik laki laki maupun saksi perempuan, orang merdeka atau berstatus budak, dengan persyaratan dapat adil terhadap dirinya sendiri[8]. Itulah menurut Imam fakhrudin dan Saif-Ahmad. Kepribadian yang baik harus dipenuhi oleh seorang rawi yang adil lebih banyak dikaitkanya dengan ukuran ukuran moral seorang rawi.

Muslim

Mengenai syarat ke-Islaman, itu sudah jelas. Seorang rawi harus meyakini dan mengerti akidah Islam, karena dia meriwayatkan hadist atau khabar yang berkaitan dengan hukum-hukum, urusan dan tasyri’ agama Islam. Jadi dia mengemban tanggung jawab untuk urusan memberi pemahaman tentang semuanya kepada manusia. Namun syarat Islam sendiri hanya berlaku ketika seseorang menyampaikan hadist, bukan ketika membawa atau menanggungnya[9].

Tahammuwa al – ‘ada

PengertianTahammuwa al – ‘ada

Al – Tahammul adalah kegiatan menerima dan mendegar suatu periwayatan hadits. Sedangakan Al – ‘Ada adalah kegiatan menyampaikan atau meriwayatkan suatu hadits kepada orang lain.

Al-Tahammu

Para Ulama mengidentifikasi cara pengambilan hadits dari para rawi menjadi delapan macam. Mereka mengupas dan menjelaskan hukum – hukumnya secara panjang lebar, yang garis besarnya sebagai berikut :

Sama’ Min Lafdzi Syaikhihi (شيخه لفظ من السماع)

Yaitu penerimaan riwayat hadits dengan cara mendengar langsung dari ucapan gurunya, baik dengan cara didiktekan dari hafalannya maupun dari tulisannya.

Menurut jumhur ulama hadits, cara seperti ini adalah cara yang paling tinggi nilainya. Karena dengan cara seperti inilah yang dilakukan sahabat Nabi untuk menerima hadits Rasulullah SAW, dan terpelihara dari kekeliruan dan lupa.

Lafadh – lafadh yang sering digunakan oleh perawi dalam meriwayatkan hadits atas dasar “sama’” adalah :

اخبرني – اخبرنا

(Seseorang telah mengabarkan kepadaku / kami)

حدثني – حدثنا

(Seseorang telah bercerita kepadaku / kami)

سمعت – سمعنا

 (Saya telah mendengar / kami telah mendengar)

Al – Qiraah ‘Ala Syaikhihi (شيخه على القراءة)

Yaitu penerimaan riwayat hadits dengan cara sipembaca membacakan hadits di hadapan gurunya, baik ia sendiri yang membacanya maupun orang lain yang membacakannya sedangkan ia sendiri  yang mendengarkannya.

Lafadh – lafadh yang sering digunakan oleh seorang perawi dalam meriwayatkan hadits atas dasar Al – Qiraah ‘Ala Syaikhihi adalah :

عليه قرأت

(Saya telah membacakan di hadapannya)

اسمعو انا فلان على قرئ

(Dibacakan oleh seseorang di hadapan gurunya, sedangkan aku mendengarkannya)

Ijazah (الاجازة)

            Yaitu penerimaan hadits dengan cara pemberian izin kepada orang lain untuk meriwayatkan haditsnya atau kitab-kitabnya. Kebanyakan para muhaditsin tidak memperbolehkan periwayatan dengan cara ijazah seperti ini,tetapi ada sebagian ulama yang lain memperbolehkan.

Lafadh-lafadh yang sering digunakan oleh perawi dalam meriwayatkan hadits atas dasar ijazah adalah:

عنى لفلاني الكتابر واية لك اجزت

(Aku ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan kitab si fulan dari saya)

مرويتيا ومسمو عتي جميع لك اجزت

(Aku ijazahkan kepadamu seluruh yang saya dengar atau yang saya riwayatkan)

مسموعتي جميع للمسلمين اجزت

(Aku ijazahkan kepada seluruh kaum muslimin semua apa-apa yang saya dengar)

Munawalah ( المناولة)

Yaitu penerimaan hadits dengan cara seorang guru memberikan sebuah naskah asli atau salinan yang sudah dikoreksi kepada muridnya untuk diriwayatkan.

Penerimaan hadits atas dasar munawalah ini mempunyai dua macam bentuk,yaitu:

Pertama, Dengan disertai ijazah. Yaitu setelah seorang guru menyerahkan kitab asli atau salinannya, kemudian mengatakan:

فاروه فلان عن او روايتي سماعي هذا

“Ini adalah hasil pendengaranku atau periwayatanku dari seseorang, maka riwayatkan lah”

Kedua, tanpa disertai ijazah.Yaitu ketika naskah asli atau salinannya diberikan kepada muridnya tanpa diikuti dengan suatu perintah untuk meriwayatkannya.

Guru itu mengatakan:

روايتي اومن سماعي هذا

“Ini adalah hasil pendengaranku atau berasal dari periwayatanku”

Mukatabah (المكاتبة)

Yaitu penerimaan riwayat hadits dengan cara seorang guru menulis sendiri atau menyuruh orang lain menulis beberapa hadits kepada orang di tempat lain atau yang ada di hadapannya.

Cara mukatabah ini seperti juga munawalah ada yang disertai ijazah dan ada yang tidak disertai ijazah.

Wijadah (الوجادة)

Yaitu penerimaan riwayat hadits dengan cara memperoleh tulisan hadits orang lain yang tidak diriwayatkannya baik dengan lafadh sama’, qiraah atau yang lainnya dari pemilik hadits atau pemilik tulisan tersebut.

Washiyah (الوصية)

Yaitupenerimaanriwayathaditsdengancarapesanseseorangketikaakanmeninggalduniaataubepergian,dengansebuahkitabuntukdiriwayatkannya.

I’lam (الاعلام)

Yaitu penerimaan riwayat hadits dengan cara pemberitahuan guru kepada muridnya bahwa hadits yang diriwayatkannya adalah riwayatnya sendiri yang diterima dari guru seseorang, dengan tidak mengatakan atau menyuruh si murid untuk meriwayatkannya.

 Al-‘Ada

Berikutmacam-macam cara penyampaian riwayat hadits, yang secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga.Yaitu:

Cara Penyampaian Riwayat Hadits Qauli

Sahabat-sahabat Nabi dalam menerima hadits qauli (sabda) Rasulullah ada yang mendengar secara langsung dari Nabi, ada yang mendengar secara tidak langsung yaitu mendengar dari sahabat-sahabat Nabi yang lainnya.

 Ada beberapa macam lafadh yang biasa dipakai oleh para sahabat dalam menyampaikan periwayatan hadits qauli:

Bentuk pertama dengan lafadh :

وسلم عليه الله صلى الله رسول سمعت

(Saya mendengar Rasulullah SAW…)

…وسلم عليه الله صلى الله رسول اخبرني

(Rasulullah SAW mengabarkan kepadaku…)

…وسلم عليه الله صلى الله رسول حدثني

(Rasulullah SAW menceritakan kepadaku…)

Cara penyampaian periwayatan hadits dengan lafadh-lafadh seperti ini merupakan cara yang paling pokok karena menunjukkan bahwa sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut betul-betul menerima secara langsung, berhadapan dengan Rasulullah SAW.

Bentuk kedua dengan lafadh :

…وسلم عليه الله صلى الله رسول قال

(Rasulullah SAW bersabda…)

…وسلم عليه الله صلى الله رسول امر

(Rasulullah SAW memerintahkan…)

…وسلم عليه الله صلى الله رسول نهى

(Rasulullah SAW melarang…)

            Cara penyampaian periwaatan hadits denga lafadh – lafadh semacam ini menunjukkan bahwa sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut tidak mendengar langsung dari Rasulullah, tapi kemungkinan melalui perantara sahabat lain.

Bentuk ketiga dengan lafadh :

بگذا امرنا

(Kami disuruh begini…)

بگذا نهينا

(Kami dilarang begini…)

 ara penyampaian periwayatan hadits dengan lafadh – lafadh semacam ini menunjukkan bahwa kemungkinan sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut tidak mendengar perintah atau larangan Nabi secara langsung dari beliau, akan tetapi melalui perantara orsng lain, bahkan kemungkinan hanya merupakan kesimpulan atau pemahaman sahabat sendiri.

Cara Penyampaian Riwayat Hadits Fi’li

Para sahabat Nabi dalam menerima hadits fi’li, ada kalanya melihat sendiri secara langsung pa yang dilakukan Rasulullah, dan adakalanya melalui perantara sahabat lain.

            Ada beberapa lafadh yang sering digunakan dalam penyampaian periwayatan hadits fi’li diantaranya:

Bentuk pertama dengan lafadh :

…وسلم عليه الله صلى الله رسول رايت

(Saya melihat Rasulullah SAW…)

Cara penyampaian periwayatan hadits dengan lafadh ini menunjukkan bahwa sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut benar-benar secara langsung melihat sendiri apa yang dilakukan oleh Rasulullah. Cara seperti ini merupakan cara yang paling pokok.

Bentuk kedua dengan lafadh :

…وسلم عليه الله صلى النبي كان

(Adalah Nabi SAW…)

…وسلم عليه الله صلى النبي ان .ان

(Sesungguhnya Nabi SAW…)

            Cara penyampaian periwayatan hadits dengan lafadh ini menunjukkan bahwa sahabat yang meriwayatkan hadits tersebut tidak melihat secara langsung apa yang dilakukan oleh Rasulullah, tapi ada kemungkinan melalui perantara sahabat lain.

Adakalanya seorang sahabat menyebutkan secara lansung apa yang dilakukan Rasulullah, tanpa diawali dengan lafadh : “Aku melihat Rasulullah SAW…….” atau “Adalah Rasulullah SAW……..” atau “Sesungguhnya Rasulullah SAW………”

Cara Penyampaian Riwayat Hadits Secara Ma’nawi

            Para sahabat Nabi ada yang menyampaikan periwayatan hadits tidak persis sebagaimana yang diucapkan Rasulullah, melainkan hanya dengan ma’nanya saja. Maksudnya apa yang diucapkan Rasulullah itu hanya dipahami maksudnya saja, lalu disampaikan atau diriwayatkan oleh para sahabat tersebut dengan lafadh atau redaksi susunan kata-kata mereka sendiri.

Hal ini disebabkan karena daya ingat para sahabat berbeda-beda, ada yang kuat dan ada yang lemah. Atau karena masa yang sudah lama dari apa yang diucapkan Rasul, sehingga paham maksudnya tapi kalimat yang diucapkannya tidak ingat.

Kebanyakan hadits diriwayatkan dengan cara ini (secarama’nawi), dan sedikit yang diriwayatkan secara lafdhi. Oleh karena itu sering dijumpai hadits-hadits yang maksudnya sama, akan tetapi lafadh atau matan hadits-hadits tersebut berbeda.

[1] Sahrani, Sohari. 2010. Ulumul Hadits. Bogor : Ghalia Indonesia. hal 120

[2] Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-kifayah. hal 54

[3] Ibid 56

[4] Salah Muhammad Muhammad Uwayd. Taqrib Al-tadrib . (Beirut : Dar al-Kutub al-Imliyyah, 1989) hal 110

[5] Al-Khatib Al-Baghdadi .Al-Kifayah .hal 141

[6] Al Hakim al Naisaburi. Ma’rifah Ulum al-Hadist. hal 59

[7] Al-Khatib Al-Baghdadi. Al-kifayah .hal 80

[8] Muhammad Al Shan’ani. Taudhid al-Afkar 2/121.

[9] Al-Khatib Al-Baghdadi . Al-Kifayah hal 76

Baca Juga: