Menu Tutup

Sejarah Lengkap Shalat Tarawih

Shalat tarawih adalah shalat sunnah yang khusus dilakukan pada malam bulan Ramadhan. Shalat ini memiliki banyak keutamaan dan hikmah, di antaranya adalah menghidupkan malam Ramadhan, mengkhatamkan Al-Quran, dan mendapatkan ampunan dosa. Namun, tahukah Anda bagaimana sejarah shalat tarawih ini? Bagaimana awal mula shalat ini dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya? Bagaimana pula perkembangan shalat ini hingga saat ini? Mari kita simak ulasan berikut ini.

Shalat Tarawih pada Masa Nabi Muhammad SAW

Shalat tarawih sebenarnya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW. Hal ini sebagaimana diceritakan oleh istri Rasulullah SAW, Aisyah dalam sebuah hadis. Dikatakan bahwa Rasulullah SAW pada suatu malam menjalankan shalat di masjid. Kemudian, beberapa sahabat mengikutinya shalat berjamaah dengan beliau. Malam berikutnya, Rasulullah SAW kembali shalat di masjid dan jumlah sahabat yang mengikutinya bertambah banyak. Malam ketiga atau keempat, para sahabat sudah berkumpul di masjid untuk menunggu Rasulullah SAW shalat bersama mereka. Namun, Rasulullah SAW tidak keluar dari rumahnya. Keesokan harinya, beliau bersabda:

“Amma ba’du, sesungguhnya aku bukannya tidak tahu keberadaan kalian (semalam). Akan tetapi aku takut nanti menjadi diwajibkan atas kalian sehingga kalian menjadi keberatan karenanya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Dari hadis ini, kita dapat mengetahui bahwa Rasulullah SAW khawatir jika shalat tarawih menjadi kewajiban bagi umat Islam. Padahal, shalat tarawih hukumnya sunnah dan tidak wajib dikerjakan. Oleh karena itu, beliau memilih untuk tidak shalat di masjid dan lebih suka shalat di rumahnya sendiri. Namun, hal ini tidak berarti bahwa beliau melarang para sahabat untuk shalat tarawih di masjid. Para sahabat tetap boleh shalat tarawih secara berjamaah atau sendiri-sendiri sesuai dengan kemampuan mereka.

Rasulullah SAW biasanya mengerjakan shalat tarawih sebanyak 8 atau 10 rakaat. Kemudian, beliau menutupnya dengan shalat witir sehingga total menjadi 11 rakaat. Beliau juga membaca Al-Quran dengan tartil dan tajwid yang baik saat shalat tarawih. Beliau juga tidak tergesa-gesa dalam melaksanakan shalat ini.

Shalat Tarawih pada Masa Khalifah Umar bin Khattab

Setelah Rasulullah SAW wafat, para sahabat masih meneruskan tradisi shalat tarawih di masjid. Namun, mereka tidak berjamaah dalam satu imam. Mereka masing-masing membentuk kelompok-kelompok kecil yang berbeda-beda jumlah rakaatnya. Ada yang 8 rakaat, ada yang 12 rakaat, ada yang 20 rakaat, dan seterusnya.

Hal ini berlangsung hingga masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab. Suatu malam, beliau keluar untuk melihat keadaan umat Islam di masjid. Beliau melihat bahwa mereka bercerai-berai dalam melakukan shalat tarawih. Beliau pun merasa bahwa hal ini kurang baik dan tidak serasi. Beliau pun memutuskan untuk mengumpulkan semua orang yang shalat tarawih di masjid dan mengangkat Ubay bin Ka’ab sebagai imam tunggal bagi mereka. Beliau juga menetapkan jumlah rakaat shalat tarawih menjadi 20 rakaat. Beliau berkata:

“Shalat malam (tarawih) adalah sunnah. Barangsiapa yang ingin shalat, maka hendaklah ia shalat bersama Ubay bin Ka’ab. Aku telah menjadikannya sebagai imam bagi kalian. Dan aku telah menetapkan shalat malam (tarawih) menjadi 20 rakaat.” (HR Baihaqi)

Keputusan Umar bin Khattab ini mendapat persetujuan dari para sahabat lainnya. Mereka merasa senang dan puas dengan shalat tarawih yang berjamaah dan seragam. Mereka juga menganggap bahwa hal ini adalah kebaikan dan keberkahan.

Dari sini, kita dapat mengetahui bahwa shalat tarawih 20 rakaat berjamaah di masjid merupakan tradisi yang dimulai oleh Umar bin Khattab. Beliau melakukannya dengan tujuan untuk menyatukan umat Islam dan meningkatkan semangat mereka dalam beribadah. Beliau juga tidak bermaksud untuk menentang sunnah Rasulullah SAW yang mengerjakan shalat tarawih 8 atau 10 rakaat. Beliau hanya mengambil keputusan yang sesuai dengan keadaan dan kepentingan umat Islam pada saat itu.

Shalat Tarawih pada Masa Berikutnya

Shalat tarawih 20 rakaat berjamaah di masjid terus dilakukan oleh umat Islam hingga saat ini. Hal ini menjadi tradisi yang kuat dan populer di kalangan mayoritas kaum Muslimin. Namun, hal ini tidak berarti bahwa shalat tarawih 8 atau 10 rakaat tidak boleh dilakukan. Sebagian ulama masih membolehkan shalat tarawih dengan jumlah rakaat yang lebih sedikit, asalkan dilakukan dengan khusyuk dan tartil.

Sebagian ulama juga membolehkan shalat tarawih di rumah atau di tempat lain selain masjid, asalkan tidak meninggalkan shalat berjamaah yang wajib. Hal ini sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW yang lebih suka shalat tarawih di rumahnya sendiri. Shalat tarawih di rumah juga memiliki kelebihan tersendiri, yaitu lebih tenang, lebih khusyuk, dan lebih fleksibel.

Shalat tarawih juga memiliki hubungan erat dengan Al-Quran. Biasanya, para imam akan membaca Al-Quran secara berurutan dari awal hingga akhir selama bulan Ramadhan. Hal ini bertujuan untuk mengkhatamkan Al-Quran dan menghayati maknanya. Namun, hal ini juga tidak wajib dilakukan. Para imam boleh membaca Al-Quran secara acak atau sesuai dengan tema-tema tertentu.

Baca Juga: