Menu Tutup

Sejarah Peradaban Islam Masa Utsman bin Affan

Riwayat Singkat Utsman bin Affan

Nama lengkapnya Utsman bin Affan bin Abu al-Ash bin Umayah bin Abd al-Syams bin Abd al-Manaf bin Qushai. Lahir pada tahun kelima dari kelahiran Rasulullah s.a.w. Tapi ada yang mengatakan dia lahir pada tahun keenam sesudah tahun gajah.

Utsman masuk Islam melalui Abu Bakar dan dinikahkan Nabi dengan puterinya Rukaiyah bin Muhammad s.a.w. Utsman tercatat sebagai orang yang pertama memimpin hijrah bersama isterinya ke Habsyi untuk kemudian hijrah pula ke Madinah.[1]

Perlu dicatat bahwa Utsman selalu ikut dalam berbagai perang, kecuali perang Badar, karena dia sibuk menemani dan merawat isterinya Rukaiyah yang sedang sakit sampai wafat dan dimakamkan pada hari kemengan kaum muslimin. Kemudian Utsman dinikahkan Rasulullah dengan puterinya Ummu Kalsum, itulah sebabnya dia digelari Dzunnurain.

Utsman terkenal orang yang pandai menjaga kehormatan diri, pemalu, lemah lembut, budiman, penyabar, dan banyak berderma, pada waktu perang Tabuk, atas ajakan Rasulullah, dia berderma sebanyak 950 kuda dan bahan logistik, ditambah uang sebanyak 1000 dinar. Dia sanggup membeli sumur seorang Yahudi seharga 20.000 dirham dan disedekahkan kepada kaum muslimin.

Diangkat Menjadi Khalifah

Para sahabat terkemuka meminta Umar agar menetapkan penggantinya sebagai khalifah bila dia meninggal dunia. Dia menolak karena orang yang dipandangnya cakap Abu Ubaidah bin Jarrah telah meninggal dunia. Ada usul agar anaknya Abdullah bin Umar dapat diangkat, itu pun ditolaknya juga. Akhirnya dia membentuk “Panitian Enam” (Ashab al-Sittah) dan diberi tugas untuk memilih penggantinya. Mereka itu adalah Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah bin Ubaidillah, Zubeir bin Awwam, Abd. Rahman bin Auf, dan Saad bin Abi Waqqash.

Mereka bersidang sesudah Umar wafat. Dalam sidang itu mulai nampak persaingan antara Bani Hasyim dengan Bani Umayah. Dua keturunan yang juga bersaing di masa jahiliyah. Kedua keturunan itu kini terwakili dalam diri Ali dan Utsman yang merupakan calon terkuat. Berdasarkan hasil sidang dan pendapat di kalangan masyarakat, Abd. Rahman sebagai ketua sidang menetapkan Utsman sebagai khalifah ketiga dalam usia 70 tahun setelah empat hari Umar wafat, dengan tiga pertimbangan;

Pertama, dari segi senioritas bila Ali diangkat menjadi khalifah tidak ada lagi kesempatan buat Utsman sesudahnya.

Kedua, masyarakat telah jenuh dengan pola kepemimpinan Umar yang serba disiplin dan keras bila Ali diangkat akan terulang seperti itu.

Ketiga, menarik jabatan khalifah dari Ali sebagai keluarga Nabi jauh lebih sulit dibandingkan dengan Utsman. Ali bin Abi Thalib dengan pendukungnya turut memberikan bai’at mereka kepada Utsman.

Utsman melanjutkan perluasan wilayah yang dilakukan khalifah Umar. Di fron utara Armenia direbut dari orang-orang Bizantium. Demikian juga pulau Cyprus, pulau Rhodes di fron timur, Thabaristan, Khurasan, dan bagian yang tersisa dari Persia. Di fron barat Tunisia direbut dari Romawi. Sampai di sini ekspansi pertama dalam Islam terhenti, karena disibukkan menhadapi pergolakan dalam negeri pada masa pemerintahan Ali.

Kebijaksanaan Utsman

Kepemimpinan Utsman sangat berbeda dengan kepemimpinan Umar. Utsman mengambil beberapa kebijaksanaan yang menimbulkan keresahan masyarakat yang berlanjut pada kerusuhan.

Pertama, dia mengangkat kaum kerabatnya pada jabatan-jabatan tinggi negara atau yang dikenal dengan politik nepotisme, yaitu sebagai gubernur dan sekretaris negara;

  1. Saudara sesusuannya Abdullah bin Sa’ad diangkat menjadi gubernur Mesir menggantikan Amr bin Al-Ash.
  2. Saudara sepupunya Walid bin Uqbah diangkat menjadi gubernur Kufah menggantikan Mughirah bin Syu’bah. Walid bin Uqbah kemudian diganti pula dengan saudara sepupunya Sa’ad bin al-Ash.
  3. Anak bibinya Abdullah bin Amir diangkat menjadi gubernur Basrah menggantikan Abu Musa al-Asy’ari.
  4. Muawiyah bin Abi Sofyan yang masih sama-sama keturunan Bani Umaiyah dikukuhkan menjadi gubernur Syria dan ditambah dengan wilayah Hims, Yordania, Libanon dan Palestina, semuanya berada di tangannya.
  5. Saudara sepupunya sekaligus menantunya Marwan bin Hakam diangkat menjadi sekretaris Negara menggantikan Zaid ibn Tsabit. Sehingga terkumpullah seluruh kekuasaan di tangan satu keluarga saja.[2][3]

Akibat dari politik nepotisme tersebut menyebabkan muncul protes-protes dan kecaman-kecaman dari rakyat. Sebab meskipun mereka terdiri dari orang-orang yang telah menunjukkan kemampuan militer yang tinggi dan administrator kelas utama, namun mereka belum memiliki moral yang baik, karena baru masuk Islam waktu penakhlukkan kota Makkah, sehingga Islam belum meresap dalam hati sanubari mereka. Abdullah bin Sa’ad misalnya pernah murtad, demikian juga Walid bin Uqbah dikenal sebagai seorang pemabuk.[4]

Kedua,  membubarkan dewan pengelola Baitul Mal yang dulu dibentuk pada masa khalifah Umar dan dijabat oleh Abdullah ibn Arqam yang terkenal sangat jujur dan berpotensi mengelola Baitul Mal. Kini badan itu dihapuskan sehingga pengelola Baitul Mal langsung berada di tangan khalifah. Akibatnya orang yang dulu mendapat tunjangan dari negara, kini tidak ada lagi.

Pengangkatan Marwan ibn Hakam menjadi ketua sekretaris Negara dan pencopotan Abdullah ibn Arqam dari ketua Baitul Mal mendapat kecaman pedas dari tokohtokoh masyarakat. Sebab mereka mengetahui bahwa Marwan dan ayahnya Hakam keduanya adalah orang yang berbahaya bagi daulah Islamiyah, kalau tidak mengapa dulu Rasulullah, Abu Bakar dan Umar melarang kedua orang itu pindah dari Thaib ke Madinah. Justru Utsman meminta Marwan datang ke Madinah untuk diserahi jabatan penting Negara. Sementara Abdullah Ibn Arqam terkenal sangat jujur dan profesional dalam mengelola Baitul Mal.

Ketiga, tanah-tanah rampasan perang atau ditinggalkan pemiliknya pada waktu perluasan wilayah di masa khalifah Umar dulu dijadikan milik negara. Tanah itu diolah rakyat, dan negara memperoleh bagian dari hasil tanah itu.

Kini, di masa Usman tanah-tanah itu diperjual-belikan. Seperti tanah negara yang ada di Basrah dan Kufah dijual kepada Talhah dan zubeir. Juga memberikan tanah Fadak di Persia kepada Marwan ibn Hakam dan membolehkan Muawiyah mengambilalih tanah-tanah negara di seluruh wilayah Syiria, suatu hal yang dilarang keras oleh Khalifah Umar sebelumnya.[5]

Akibatnya, banyak keluarga Bani Umaiyah dan sahabat-sahabat tertentu yang kaya mendadak yang hidup mewah melimpah berkecukupan, sebaliknya sangat banyak pula rakyat yang menjadi miskin mendadak karena lahan kehidupan mereka terputus, hilang mata pencaharian.

Dari tiga macam kebijaksanaan yang dilakukan khalifah Utsman di atas menimbulkan kekecewaan dan kemarahan rakyat, terutama di Kufah, Basrah dan Mesir.

Bahkan Abu Zar Al-Qhiffari mengecam para gubernur dan ketimpangan ekonomi pemerintah. Ia dielu-elukan rakyat, tetapi dia ditangkap Muawiyah dan dikirim ke Madinah. Akhirnya dia meninggal dalam kemiskinan.

Sementara itu Abdullah bin Saba’- seorang munafik dan bekas penganut agama Yahudi- memprovokasi kekecewaan rakyat itu, sehingga ia berhasil menggalang rakyat di Kufah, Basrah dan Mesir supaya memberontak. Mereka datang ke Madinah meminta Ali agar bersedia menjadi khalifah pengganti Utsman, tetapi ditolaknya. Demikian juga Talhah dan Zubeir. Dengan rasa kecewa mereka kembali ke daerah masing-masing.

Dalam perjalanan pulang, rakyat dari Mesir menangkap seorang yang dicurigai. Ia ternyata membawa surat yang hendak disampaikan kepada gubernur Mesir. Surat itu mengatasnamakan khalifah, berisi perintah agar pemimpin kaum pemberontak dari Mesir, yaitu Muhammad bin Abu Bakar ditangkap dan dibunuh.

Mereka kembali ke Madinah membawa surat itu kepada khalifah, tetapi khalifah Utsman menyangkal membuat surat itu dengan mengatakan: “Demi Allah aku tidak menulisnya, tidak mendiktekannya dan tidak tahu menahu tentang isinya, dan bahkan stempel tersebut adalah palsu”.

Mereka meminta agar khalifah Utsman lengser dari jabatannya, tapi ditolak Utsman dengan berucap “Demi Allah saya tidak akan melepaskan baju yang dipakaikan Allah kepadaku”.

Utsman Terbunuh

Para pemberontak mengepung rumah Utsman selama 40 hari, dalam pada itu salah seorang di antara mereka terkena panah yang datang dari kediaman khalifah. Mereka mendesak agar si pemanah diserahkan kepada mereka. Namun tidak juga dipenuhi khalifah. Akhirnya mereka menyerbu kediaman khalifah dan membunuhnya dalam usia sekitar 82 tahun.

[1] Hasan Ibrahim Hasan, op.cit, h. 480.

[2] Abul A’la Maududi, Khilafah dan Kerajaan, c.7 (Bandung: Mizan, 1998), h.

[3] -138.

[4] Ibid., h. 140-142.

[5] Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya (Bandung: Rosda Bandung, 1988), h. 188-189.

Sumber: Nasution, Syamruddin. “Sejarah Perkembangan Peradaban Islam.” (2017).

Baca Juga: