1. Pengertian Tahlil dalam Islam
Secara bahasa, kata “tahlil” dalam bahasa Arab (التهليل) berarti mengucapkan kalimat syahadat atau kalimat tauhid: “Lā ilāha illallāh” (لا إله إلا الله). Dalam konteks budaya Islam di Indonesia, istilah tahlil merujuk pada serangkaian doa yang biasanya dilantunkan secara berjamaah untuk mendoakan orang yang telah meninggal dunia. Tradisi ini sering disebut sebagai “tahlilan.”
Di Indonesia, khususnya di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), tahlil telah menjadi amalan yang mengakar kuat. Sebaliknya, Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, memandang tahlilan sebagai sesuatu yang tidak memiliki dasar dalam syariat Islam. Perbedaan ini mencerminkan perbedaan metodologi dalam memahami dan menerapkan ajaran Islam.
2. Sejarah dan Asal Usul Tradisi Tahlilan
Tahlilan diduga kuat memiliki akar dari pendekatan dakwah Wali Songo, yang merupakan tokoh penyebar Islam di tanah Jawa. Dalam pendekatannya, Wali Songo tidak serta-merta menghapus tradisi Hindu-Buddha yang telah mengakar di masyarakat. Sebaliknya, mereka menyisipkan nilai-nilai Islam ke dalam tradisi lokal, termasuk dalam acara memperingati kematian.
Tradisi Hindu mengenal peringatan kematian pada hari pertama, ketiga, ketujuh, keempat puluh, seratus, hingga seribu hari. Unsur-unsur ini kemudian diadaptasi ke dalam bentuk tahlilan dengan mengisi acara tersebut dengan dzikir, pembacaan ayat-ayat Al-Qur’an, dan doa.
3. Perspektif Muhammadiyah terhadap Tahlilan
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam tajdid atau pembaharu berfokus pada pemurnian ajaran Islam dari praktik yang dianggap bid’ah. Muhammadiyah memandang tahlilan sebagai sesuatu yang:
- Tidak memiliki dalil yang jelas dari Al-Qur’an maupun Sunnah.
- Merupakan adaptasi dari tradisi Hindu yang tidak sesuai dengan ajaran Islam.
- Bertentangan dengan hadis Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa amal seseorang terputus setelah kematiannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan doa anak yang saleh (HR. Muslim).
Ayat-ayat Al-Qur’an yang sering dikutip oleh Muhammadiyah untuk menolak tahlilan antara lain:
- “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm: 39)
- “Dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.” (QS. Al-An‘am: 164)
Muhammadiyah juga menyoroti praktik pengumpulan massa di rumah duka, yang mereka anggap sebagai perbuatan yang dapat memperberat beban keluarga yang sedang berduka. Mereka mengacu pada hadis yang menganjurkan tetangga atau kerabat dekat untuk membantu menyediakan makanan bagi keluarga yang berduka, sebagaimana diriwayatkan oleh Tirmidzi.
4. Perspektif Nahdlatul Ulama (NU) terhadap Tahlilan
NU memiliki pandangan yang berbeda mengenai tahlilan. Mereka berpendapat bahwa:
Tahlilan Memiliki Dasar Syariat
NU menekankan bahwa doa dan dzikir untuk orang yang telah meninggal adalah bagian dari ajaran Islam. Dalil-dalil yang sering digunakan NU untuk mendukung praktik tahlilan antara lain:
- “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa: Ya Tuhan kami, ampunilah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu daripada kami.” (QS. Al-Hasyr: 10)
- Hadis Nabi yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA: *“Sesungguhnya ada seorang laki-laki berkata kepada Rasulullah SAW: ‘Ibuku telah meninggal, apakah ada manfaatnya jika aku bersedekah untuknya?’ Rasulullah menjawab: ‘Ya.’” (HR. Tirmidzi)
Tahlilan Sebagai Bentuk Silaturahmi
Tahlilan tidak hanya dipandang sebagai bentuk doa, tetapi juga sebagai sarana mempererat silaturahmi di antara masyarakat. Tradisi ini menjadi momentum bagi umat Islam untuk saling membantu, berbagi sedekah, dan memberikan penguatan moral kepada keluarga yang berduka.
Harmonisasi dengan Budaya Lokal
Sebagaimana dicontohkan oleh Wali Songo, NU memandang bahwa Islam harus mampu beradaptasi dengan budaya lokal tanpa mengorbankan nilai-nilai syariat. Tradisi tahlilan yang menggabungkan dzikir, doa, dan pembacaan Al-Qur’an dianggap sebagai salah satu wujud Islam yang membumi di Indonesia.
5. Analisis Dalil-Dalil tentang Mengirim Pahala
NU dan Muhammadiyah berbeda dalam memahami apakah pahala dari bacaan Al-Qur’an, dzikir, dan doa dapat sampai kepada orang yang telah meninggal. Dalam hal ini, NU berpegang pada pendapat mayoritas ulama (jumhur) yang menyatakan bahwa pahala dari amalan tertentu, seperti sedekah dan doa, dapat sampai kepada almarhum. Pendapat ini didukung oleh ulama seperti Ibnu Qayyim al-Jawziyah dan Syekh Nawawi al-Bantani.
Muhammadiyah, di sisi lain, cenderung mengikuti pandangan Imam Syafi’i yang menyatakan bahwa bacaan Al-Qur’an untuk orang yang meninggal tidak sampai pahalanya, berdasarkan QS. An-Najm: 39.
6. Implikasi Sosiologis dan Budaya
Tradisi tahlilan memiliki dimensi sosiologis yang kuat. Dalam masyarakat Indonesia, tahlilan menjadi sarana untuk memperkuat solidaritas sosial, menghibur keluarga yang berduka, dan menjaga hubungan kekeluargaan. Namun, praktik ini juga dapat menjadi beban ekonomi jika dilakukan dengan berlebihan.
NU menyadari potensi ini dan mengingatkan bahwa sedekah dalam tahlilan tidak bersifat wajib. Keluarga yang tidak mampu tidak perlu memaksakan diri untuk mengadakan jamuan mewah.
7. Penutup
Perbedaan pandangan antara NU dan Muhammadiyah mengenai tahlilan mencerminkan keragaman dalam memahami Islam. NU menekankan harmoni budaya dan nilai sosial, sementara Muhammadiyah berfokus pada kemurnian syariat. Keduanya memiliki dalil dan argumen yang kuat berdasarkan metodologi masing-masing.
Umat Islam di Indonesia dapat menjadikan perbedaan ini sebagai peluang untuk saling menghormati dan belajar, dengan tetap berpegang pada prinsip dasar Islam: ukhuwah islamiyah (persaudaraan Islam) dan rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta alam).
Sumber: M.Yusuf Amin Nugroho, FIQH AL-IKHTILAF NU-Muhammadiyah.