Islam di Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan beragam. Sejak masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke-13 hingga sekarang, banyak tokoh-tokoh yang berjasa dalam menjaga dan memperbarui Islam di Indonesia. Mereka tidak hanya mengajarkan ajaran Islam yang murni dan sesuai dengan sunnah Nabi Muhammad SAW, tetapi juga bergerak di bidang sosial, pendidikan, kesehatan, politik, dan budaya. Berikut ini adalah empat tokoh pembaruan Islam di Indonesia yang patut kita kenang dan teladani.
KH Ahmad Dahlan
Beliau adalah pendiri organisasi Islam Muhammadiyah yang didirikan pada 18 November 1912 di Kauman, Yogyakarta. Tujuan Muhammadiyah adalah menyebarkan pengajaran Nabi Muhammad SAW kepada penduduk bumiputera dan memajukan hal agama Islam kepada anggota-anggotanya. Muhammadiyah bergerak di bidang kemasyarakatan, kesehatan, dan pendidikan ketimbang politik. Muhammadiyah juga dikenal sebagai organisasi yang mengusung gerakan tajdid atau pembaharuan Islam yang bersih dari khurafat dan tahayul.
KH Ahmad Dahlan lahir di Kauman, Yogyakarta, pada 1 Agustus 1868 dengan nama Muhammad Darwis. Ayahnya adalah KH Abubakar, seorang khatib masjid besar di Kesultanan Yogyakarta, sedangkan ibunya adalah Siti Aminah, putri seorang penghulu. Sejak kecil, beliau mendapat didikan agama dan bahasa Arab di lingkungan pesantren. Ketika menetap di Mekah pada usia 15 tahun, beliau mulai berinteraksi dan tersentuh dengan pemikiran para pembaharu Islam. Sejak itu, beliau merasa perlunya gerakan pembaharuan Islam di kampung halamannya, yang masih berbaur dengan sinkretisme dan formalisme. Beliau wafat di Yogyakarta pada 23 Februari 1923 dan dimakamkan di Karang Kuncen, Yogyakarta.
Syekh Ahmad Surkati
Beliau adalah salah satu tokoh Al-Irsyad, sebuah organisasi Islam yang didirikan oleh para ulama dari Timur Tengah pada tahun 1914 di Batavia (Jakarta). Al-Irsyad memiliki misi untuk menyebarkan ajaran Islam yang murni dan rasional sesuai dengan Al-Quran dan Hadis. Al-Irsyad juga aktif dalam bidang pendidikan dan sosial. Salah satu sumbangsih Al-Irsyad adalah mendirikan sekolah-sekolah modern yang mengajarkan ilmu-ilmu umum selain ilmu-ilmu agama.
Syekh Ahmad Surkati lahir di pulau Arqu, daerah Dunggulah, Sudan, pada tahun 1875. Beliau sempat mengenyam pendidikan di Al-Azhar (Mesir) dan Mekah sebelum datang ke Jawa pada Maret 1911. Di Jawa, beliau menjadi guru bagi banyak ulama Indonesia, seperti KH Hasyim Asy’ari (pendiri Nahdlatul Ulama), KH Mas Mansur (pendiri Persis), dan KH Wahid Hasyim (menteri agama pertama RI). Beliau juga terlibat dalam perdebatan-perdebatan tentang isu-isu keislaman dan kemerdekaan Indonesia. Beliau wafat di Jakarta pada 19 Oktober 1943 dan dimakamkan di Tanah Kusir.
KH Hasyim Asy’ari
Beliau adalah pendiri organisasi Islam Nahdlatul Ulama (NU) yang didirikan pada 31 Januari 1926 di Surabaya. Tujuan NU adalah mempertahankan tradisi-tradisi keislaman yang sudah ada sejak lama di Indonesia, seperti madzhab fiqih, tasawuf, tarekat, ziarah kubur, dan lain-lain. NU juga bergerak di bidang sosial, pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan politik. NU merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan anggota mencapai puluhan juta orang.
KH Hasyim Asy’ari lahir di Jombang, Jawa Timur, pada 14 Februari 1875 dengan nama Muhammad Hasyim. Ayahnya adalah KH Asy’ari bin KH Sholeh bin KH Umar bin KH Abdurrahman bin KH Muhammad Nur bin KH Ali Maksum bin KH Zainuddin bin KH Abdul Qodir bin KH Abdul Wahab bin KH Abdul Malik bin KH Abdul Qodir bin KH Abdul Wahab bin KH Abdul Qodir bin KH Abdul Wahab bin KH Abdul Qodir bin KH Abdul Wahab bin KH Abdul Qodir bin KH Abdul Wahab bin KH Abdul Qodir bin KH Abdul Wahab bin KH Abdul Qodir bin KH Abdul Wahab bin KH Abdul Qodir bin KH Abdul Wahab bin KH Abdul Qodir bin Sunan Ampel Denta (salah satu wali songo). Beliau mendapat pendidikan agama dari ayahnya sendiri sebelum melanjutkan ke Mekah pada usia 20 tahun. Di sana beliau berguru kepada ulama-ulama besar seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Syekh Muhammad Mahfudh At-Tarmasi.
Setelah pulang ke Jawa pada tahun 1899, beliau mendirikan pondok pesantren Tebuireng yang menjadi salah satu pesantren terbesar dan terkemuka di Indonesia. Di pesantren ini beliau mengajarkan ilmu-ilmu agama secara luas dan mendidik banyak santri yang kemudian menjadi ulama-ulama besar Indonesia. Beliau juga menulis banyak kitab-kitab tentang berbagai cabang ilmu agama seperti tafsir, hadis, fiqih, tauhid, tasawuf, akhlak, sejarah Islam, dan lain-lain. Salah satu karyanya yang terkenal adalah Risalah Ahlussunnah Wal Jama’ah yang merupakan bantahan terhadap ajaran-ajaran sesat seperti Wahabiyyah dan Syi’ah.
Beliau wafat di Jombang pada 25 Juli 1947 dan dimakamkan di Tebuireng.
Ahmad Hasan
Beliau adalah salah satu tokoh Persatuan Islam (Persis), sebuah organisasi Islam yang didirikan pada tahun 1923 di Bandung oleh para pemuda Muslim yang ingin melakukan pembaharuan Islam sesuai dengan Al-Quran dan Hadis tanpa taqlid buta kepada madzhab fiqih atau tradisi-tradisi lokal. Persis juga aktif dalam bidang dakwah, pendidikan, sosial, politik, dan budaya. Persis dikenal sebagai organisasi yang kritis terhadap pemerintahan kolonial Belanda maupun pemerintahan Republik Indonesia Serikat (RIS) yang dinilai tidak pro-Islam.
Ahmad Hasan lahir di Cirebon pada tahun 1902 dengan nama Hasan Abdullah Baqir. Ayahnya adalah Abdullah Baqir Al-Baghdadi Al-Husaini Al-Qurasyi Al-Hasani Al-Mujtaba Al-Murtada Al-Mukhtar Al-Mansur Al-Mutawakkil Al-Muntasir Billah Al-Mustansir Billah Al-Mustaqfi Billah Al-Mustazhir Billah Al-Mustanjid Billah Al-Mustadi Billah Al-Mustazhir Billah Al-Nasir Li Dinillahi Amirul Mukminin Abu Ja’far Abdullah Baqir Bin Muhammad Bin Ali Bin Husain Bin Ali Bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhum Ajma’in (nama panjang ayahnya). Ayahnya adalah seorang ulama besar dari Baghdad yang hijrah ke Cirebon karena situasi politik yang tidak aman di Irak. Beliau mendapat pendidikan agama dari ayahnya sendiri sebelum melanjutkan ke Mekah pada usia 15 tahun. Di sana beliau berguru kepada ulama-ulama besar seperti Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi dan Syekh Muhammad Mahfudh At-Tarmasi, sama seperti KH Hasyim Asy’ari.
Setelah pulang ke Cirebon pada tahun 1921, beliau bergabung dengan Persis dan menjadi salah satu tokoh utamanya. Beliau juga menulis banyak artikel-artikel tentang isu-isu keislaman di majalah-majalah Persis seperti Al-Munir, Pembela Islam, dan Al-Ikhwan. Beliau juga menjadi salah satu pendiri Universitas Islam Indonesia (UII) di Yogyakarta pada tahun 1945. Beliau wafat di Bandung pada 28 Oktober 1958 dan dimakamkan di Cikutra.