Menu Tutup

Kondisi Ekonomi Masyarakat Makkah Sebelum Islam

Kondisi Ekonomi Masyarakat Makkah Sebelum Islam

Bangsa Arab pada umumnya menggantungkan mata pencaharian mereka pada sektor perdagangan, pertanian, dan peternakan. Bagi suku Badui, peternakan adalah tulang punggung kehidupan mereka.

Mereka hidup secara nomaden, menggiring ternaknya ke daerah-daerah yang tengah mengalami musim hujan atau ke padang rumput yang subur.

Ternak mereka menyediakan kebutuhan pangan berupa daging dan susu, sementara bulu domba dimanfaatkan untuk membuat pakaian dan peralatan sehari-hari.

Setelah kebutuhan mereka tercukupi, mereka menjual hasil peternakan tersebut. Kekayaan seseorang di kalangan masyarakat Badui dapat dilihat dari banyaknya hewan yang mereka pelihara.

Selain di kalangan Badui, masyarakat kota juga menjadikan peternakan sebagai sumber penghidupan. Beberapa di antaranya menjadi pengembala ternak milik pribadi, sementara yang lain menggembala ternak orang lain.

Nabi Muhammad SAW, misalnya, ketika tinggal bersama suku Bani Sa’ad, bekerja sebagai pengembala kambing. Demikian juga Umar bin Khattab, Ibnu Mas’ud, dan sejumlah tokoh lain yang pernah menggeluti profesi tersebut.

Di daerah-daerah yang subur seperti Yaman, Tha’if, Madinah, Najd, dan Khaibar, pertanian menjadi mata pencaharian utama. Selain itu, perdagangan juga merupakan sumber penghidupan yang penting, khususnya bagi penduduk Makkah. Makkah memiliki pusat perdagangan yang sangat strategis dan istimewa.

Sebagai penduduk negeri Haram (Makkah), mereka mendapat kedudukan yang tinggi di kalangan suku-suku Arab lainnya. Keistimewaan ini menjamin keamanan bagi masyarakat Makkah dan kegiatan perniagaan mereka, yang tidak akan diganggu oleh suku lain. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Ankabut [29]: 67:

“Dan apakah mereka tidak memperhatikan, bahwa Sesungguhnya Kami telah menjadikan (negeri mereka) tanah suci yang aman, sedang manusia sekitarnya rampok-merampok. Maka mengapa (sesudah nyata kebenaran) mereka masih percaya kepada yang batil dan ingkar kepada nikmat Allah?”

Suku Quraisy, sebagai penduduk Makkah, memainkan peran penting dalam perdagangan di Jazirah Arab. Mereka mewarisi keterampilan berdagang dari orang-orang Yaman yang terkenal dengan keahlian mereka dalam bidang perdagangan. Makkah, selain sebagai pusat perdagangan, juga menjadi tujuan bagi orang-orang Arab yang datang untuk melaksanakan ibadah haji ke Ka’bah.

Perjalanan perdagangan orang-orang Quraisy sangat terkenal, yakni perjalanan musim dingin menuju Yaman dan perjalanan musim panas ke Syam. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Quraisy [106]: 1-4:

“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini (Ka’bah), yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari ketakutan.”

Selain Makkah, terdapat pula pusat-pusat perdagangan terkenal di Jazirah Arab, seperti Ukazh, Mijannah, dan Zul Majaz. Pusat-pusat perdagangan ini tidak hanya berfungsi sebagai tempat transaksi ekonomi, tetapi juga sebagai arena bagi para sastrawan, penyair, dan orator untuk menguji kemampuan mereka.

Hal ini menunjukkan bahwa pasar-pasar tersebut bukan sekadar pusat ekonomi, tetapi juga merupakan pusat kebudayaan dan peradaban, di mana bahasa Arab, terutama dialek Quraisy, menjadi bahasa yang paling mudah dipahami, enak didengar, dan kaya akan perbendaharaan kata.

Dalam hal ekonomi, praktik riba telah menjadi tradisi yang umum di Jazirah Arab, bahkan di Makkah sebagai pusat perdagangan. Praktik ini dipengaruhi oleh sistem perdagangan bangsa-bangsa lain yang sudah terlebih dahulu mengenal dan mempraktikkan riba.

Adapun alat transportasi utama pada masa itu adalah unta, yang dianggap sebagai “perahu padang pasir”. Unta memiliki daya tahan yang luar biasa, mampu menahan haus, dan dapat menempuh perjalanan jauh. Unta-unta ini digunakan untuk membawa barang-barang dagangan dari satu wilayah ke wilayah lainnya, yang kemudian diperjualbelikan.

Lainnya