Di dalam kitab-kitab fiqih klasik, kita mengenal ada istilah wathan (الوطن). Dalam kamus bahasa Arab, kata wathan sering diartikan sebagai negeri. Sehingga ada ungkapan, hubbul wathani minal iman, cinta negeri termasuk bagian dari iman.
Namun kalau wathan diterjemahkan menjadi negeri, penerapannya menjadi tidak sesuai dengan konteks kita hari ini. Wathan kita adalah Indonesia, sebuah wilayah yang besar sekali membentang dari Sabang sampai Marauke. Terdiri dari 17 ribu pulau dengan tiga wilayah waktu.
Maka kita tidak pernah jadi musafir kecuali kita keluar negeri. Yang terdekat dari kita di Jakarta kalau keluar negeri adalah ke Singapura. Sedangkan kalau kita ke Banda Aceh, Medan, Papua atau Sumbawa, meski secara jarak lebih jauh, namun semua itu masih di dalam negeri Indonesia yang sama. Lalu apakah selama masih di wilayah NKRI kita tidak pernah bisa jadi musafir?
Tentu jawabnya tidak demikian. Sebab penerjemahan kata wathan menjadi negeri Indonesia menjadi kurang relevan. Sebab di masa kenabian luasnya wathan tidak ada yang seluas NKRI.
Maka yang lebih logis itu menerjemahkan makna wathan itu harus dilihat bagaimana contoh penerapannya di masa Rasulullah SAW langsung, karena sumber rujukan kita dalam mempelajari hadits nabawi tentu keadaan di Madinah di masa kenabian. Semua itu tentu biar lebih sejalan dengan maqashid dan teknis syariat aslinya.
Batas Wathan sejauh mana?
Praktek di masa Nabi SAW, seseorang sudah dianggap telah menjadi musafir ketika keluar dari batas kota Madinah, yaitu dengan niat dalam hati bahwa dia akan menuju tempat tertentu sejauh jarak safar. Di dalam kitab fiqih, para ulama menuliskan sebagai berikut :
Ketika seseorang melewati penghabisan gedung-gedung wilayah tempat tinggalnya dan meninggalkan rumah-rumah. Termasuk dalam hal ini secara ‘urf bangunan-banguan yang saling tersambung, taman-taman yang ditempati, sawah-sawah dan pagar-pagar batas kota.
Jadi begitu keluar dari perumahan dan pemukiman, sebenarnya kita sudah keluar dari wathan, bukan berarti kita harus keluar negeri dulu. Maka wathan ini lebih tepat kalau kita terjemahkan di zaman sekarang menjadi wilayah pemukiman, seperti komplek perumahan wilayah RT/RT atau setidaknya kelurahan.
Alasannya karena di masa kenabian, begitu rumah-rumah penduduk Madinah sudah terlewati, maka yang terbentang di depan mata adalah padang pasir tak bertepi, maka itulah batas wathan bagi orang-orang Madinah sudah dimulai.
Seberapa Luas Madinah Di Masa Itu?
Pertanyaan ini menarik sekali karena kita tahu bahwa luas Madinah di masa kini dengan di masa itu sudah jauh berbeda.
Sebagai contoh kecil bahwa ketika Nabi SAW hijrah menuju Madinah, Beliau SAW dan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahuanhu sempat menginap di Quba selama beberapa hari. Kedatangan Beliau SAW di Quba belum dianggap telah sampai di Madinah. Dan para shahabat di Madinah masih berharap-harap cemas menanti kedatangan Beliau.
Setelah menginap beberapa hari di Quba, barulah kemudian Nabi SAW meneruskan perjalanan menempuh padang pasir untuk tiba di Madinah. Saat itulah terjadi penyambutan luar biasa dimana masyarakat Madinah tumpah ruah di jalan menyambut kedatangan Nabi SAW.
Padahal kalau hari ini kita berziarah city tour di kota Madinah, tempat yang disebut Quba itu ternyata lokasinya ada di dalam Madinah. Saat ini berdiri masjid yang dikenal dengan masjid Quba.
Ada banyak sumber menyebutkan bahwa luas kota Madinah di masa itu hanya seluas Masjid An-
Nabawi sekarang ini saja. Di masa sekarang, luas bangunan masjidnya saja mencapai 100 ribu meter persegi. Sedangkan halamannya seluas 135 ribu meter persegi. Masjid nabawi saat ini bisa menampung 535 ribu jamaah atau setengah juga manusia. Di musim haji, jamaah bisa meluap ke luar gedung dan mencapai satu juta orang.
Dan kalau dihitung dari jumlah penduduk, ada catatan sejarah yang dirilis oleh Markaz Buhuts wa Dirasat Al-Madinah, bahwa sebelum Rasulullah SAW hijrah ke Madinah, jumlah penduduknya diperkirakan antara 12 ribu hingga 15 ribuan orang. Dengan kedatangan Nabi SAW ke Madinah, maka perlahan tapi pasti, jumlah penduduk Madinah pun semakin banyak, karena beliau memang menjadikan Madinah sebagai Darul-Hijrah, atau kota tujuan hijrah.
Hasil penelitian Markaz Buhuts ini menyebutkan bahwa ketika beliau SAW wafat, kota Madinah sudah berpenduduk kurang lebih sekitar 30 ribuan orang.1
Maka bila dibandingkan dengan masa sekarang ini, kira-kira yang dimaksud dengan wathan itu adalah desa atau kampung. Bisa juga komplek perumahan.
Sekedar perbandigan saja, penduduk satu keluarahan di Jakarta itu bisa berbeda-beda. Di keluarahan tempat saya tinggal, ternyata penduduknya hanya sekitar 3 ribuan orang saja, sedangkan di keluarahan agak di pinggiran Jakarta, penduduknya bisa mencapai 50 ribu jiwa.
Batas Wathan Kalau Di Jakarta Bagaimana?
Disini letak kesulitannya. Agak sulit menetapkan batas-batasnya kalau kita tinggal di kota besar semacam Jakarta ini.
Meski Jakarta sebenarnya merupakan kampung, tapi batas-batas antara satu kampung dengan kampung yang lain nyaris sudah sangat tersamar, mengingat kota Jakarta adalah gabungan dari beribu kampung yang menyatu.
Di masa lalu, Jakarta terdiri dari sekain banyak kampung. Sejak berdirinya Kota Jayakarta tahun 1527 silam, telah ada lebih dari seribu nama kampung hadir di Jakarta. Pada peta Batavia antara tahun 1897-1910, diketahui ada sekitar 200 hingga 500 kampung. Jumlah dan nama kampung pun terus bertambah dan silih berganti seiring perkembangannya kini.
Satu kampung dengan kampung yang lain dipisah dengan kebun, sawah, rawa dan lahan-lahan kosong. Maka di Jakarta kita menemukan banyak tempat yang masih menggunakan penyebutan kampung, seperti kampung Melayu, kampung Ambon, kampung Batak, kampung Arab, kampung Cina dan lainnya.
Para peneliti menyebutkan bahwa kampung yang ada di Jakarta sedikit banyak tercipta karena penjajah Belanda yang banyak mendatangkan berbagai suku bangsa ke Batavia saat itu.
Selain itu juga nama kampung di Jakarta juga diberi nama sesuai karakteristik suatu tempat hingga geografisnya. Daerah yang banyak menghasilkan buah-buahan dinamakan kampung Rambutan, dan yang banyak buah duku dinamakan kampung Duku.
Jadi kalau kita hidup di masa itu, mudah saja kita membuat batas-batas wathan, yaitu asalkan kita sudah keluar kampung kita, maka kita sudah keluar dari wathan.
Tapi di masa sekarang ini, meksi kampung-kampung itu masih ada namanya, namun batas-batasnya sudah pudar dan hilang lenyap. Satu kampung dengan kampung lainnya nampak menjadi satu, karena banyak faktor.
Pertama, karena kampung itu melebar wilayah cakupannya. Kedua, daerah yang dulunya sawah, kebun dan rawa kini jadi perumahan dan wilayah hunian juga. Bahkan DAS atau daerah aliran sungai pun dijadikan hunian manusia. Walhasil, mana batas-batas kampung itu menjadi lenyap.
Jakarta berubah dari yang tadinya kota yang terdiri dari sekian banyak kampung menjadi satu kampung yang besar sekali. Semua batas-batas perkampungan menjadi hilang, meski nama-nama kampung itu masih ada.
Sampai disini para ulama kontemporer tentu berselisih paham. Apakah kita masih menggunakan batas kampung berdasarkan masa lalu ataukah kita mengubah batasnya menjadi kampung besar bernama Jakarta?
Anggaplah misalnya kita memihak pada pendapat yang kedua, yaitu batasnya bukan lagi
batas kampung di masa lalu, tetapi batasnya adalah luasnya Jakarta. Namun masalahnya belum selesai sampai disitu. Sebab ternyata batas kota Jakarta di masa lalu dengan di mas sekarang pun ikut berubah juga.
Di masa lalu, kalau sudah melewati Pasar Minggu, maka kita sudah merasa di luar Jakarta. Daerah Poltangan, Lenteng Agung, Depok dan seterusnya saat itu disepakati sebagai bukan Jakarta. Begitu juga kalau kita sudah melewati Terminal Bus Cililitan, maka kita sudah merasa di luar kota. Daerah Condet dan Kramat Djati sudah di luar kota Jakarta, apalagi Pondok Gede dan Taman Mini Indonesia Indah, itu dianggap wisata keluar kota.
Tapi hari ini semua orang yang tinggal di wilayah itu mengaku sebagai orang Jakarta. Dan memang secara KTP, masih KTP Jakarta. Demikian juga kalau mereka punya kendaraan bermotor, platnya tetap B yang menunjukkan identitas kendaraan Jakarta.
Maka tidak bisa dipungkiri bahwa Jakarta sendiri mengalami pemekaran wilayah, bahkan kita sudah tidak lagi melihat batas kota Jakarta dan wilayah luar Jakarta. Justru yang terjadi semuanya sambung-menyambung menjadi satu mega kota raksasa meliputi Jakarta, Bogor, Tengerang dan Bekasi. Tidak ada batas yang memisahkan antara semua wilayah itu secara fisik atau alam, seperti sawah, kebun atau rawa. Yang ada hanya garis virtual di peta pemerintahan. Dalam kenyataannya, semua wilayah itu jadi satu kesatuan.
Jadi kesimpulannya ada sedikit beda pemahaman, antara mereka yang mengatakan bahwa batas wathan atau kampung itu menggunakan batas yang lama, meski secara fisik sudah tidak ada lagi. Maka ukurannya menjadi komplek perumahan, atau batas RT, RT atau kelurahan.
Sementara yang lain mengatakan bahwa batas wathan itu mengikuti perkembangan zaman. Maka selama masih di Jakarta hingga Bogor, Tangerang dan Bekasi masih dianggap satu wathan yang sama. Selama belum keluar dari wilayah Jabodetabek maka belum dikatakan sebagai musafir.
Apa Konsekuensi Masing-Masing Pendapat
Kalau kita pakai pendapat yang pertama, maka asalkan kita sudah keluar dari komplek perumahan, RT, RW atau setidaknya kelurahan, maka kita sudah resmi berstatus musafir. Mislnya kita mau menjama’ taqdim atau ta’khir, tinggal kita cari masjid di luar wilayah pemukiman kita.
Mudahnya, kalau kita mau keluar kota naik bus, maka di terminal bus itu kita sudah jadi musafir. Demikian juga kalau kita naik kereta api, maka kita bisa shalat jama’ taqdim dan ta’khir di stasiun kereta. Dan sama juga kalau kita naik pesawat terbang, maka semua sudah bisa dilakukan ketika kita ada di bandara.
Saya pribadi cenderung pada pendapat yang yang pertama ini.
Namun seandainya ada yang punya pendapat yang kedua, maka konsekuensinya dia belum jadi musafir kecuali setelah secara fisik benar-benar keluar kota, dalam arti kita bertemu dengan sawah, kebun, rawa, hutan atau wilayah kosong tak berpenghuni. Dan untuk Jakarta, ini agak jauh jaraknya. Sebutlah dari Jakarta sampai ke Bogor dan puncak, kita sudah tidak lagi melewati sawah, kebun, rawa atau hutan. Sebab semuanya sudah menjadi satu yaitu wilayah yang dihuni oleh manusia.
Sumber:
Ahmad Sarwat, Lc,.MA., Fiqih Musafir, Jakarta Selatan: Rumah Fiqih Publishing, 2020.