Menu Tutup

Landasan Ontologis, Epistemologis dan Aksiologis Pancasila

Pancasila adalah ideologi bangsa Indonesia yang memiliki landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis. Landasan ontologis berkaitan dengan hakikat eksistensi bangsa Indonesia yang beragam dan bersatu. Landasan epistemologis berkaitan dengan cara pandang dan cara berpikir bangsa Indonesia yang mengutamakan nilai-nilai moral dan kearifan lokal. Landasan aksiologis berkaitan dengan tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia yang ingin mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Artikel ini akan menjelaskan ketiga landasan tersebut secara lebih rinci.

Landasan Ontologis Pancasila

Ontologi adalah ilmu yang menyelidiki hakikat sesuatu atau tentang ada, keberadaan atau eksistensi1. Ontologi juga disamakan dengan metafisika, yaitu ilmu yang menyelidiki hal-hal yang berada di luar alam fisik2. Secara ontologis, penyelidikan Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mengetahui hakikat dasar dari sila-sila Pancasila1.

Pancasila yang terdiri atas lima sila, setiap sila bukanlah merupakan asas yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan memiliki satu kesatuan dasar ontologis. Dasar ontologis Pancasila pada hakikatnya adalah manusia, yang memiliki hakikat mutlak yaitu monopluralis, atau monodualis, karena itu juga disebut sebagai dasar antropologis1. Monopluralis berarti manusia adalah makhluk individu sekaligus makhluk sosial. Monodualis berarti manusia adalah makhluk lahiriah sekaligus makhluk batiniah3.

Subyek pendukung pokok dari sila-sila Pancasila adalah Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil1. Hubungan kesesuaian antara negara dan landasan sila-sila Pancasila adalah berupa hubungan sebab-akibat: Negara sebagai pendukung hubungan, sedangkan Tuhan, manusia, satu, rakyat, dan adil sebagai pokok pangkal hubungan. Landasan sila-sila Pancasila yaitu Tuhan, manusia, satu, rakyat dan adil adalah sebagai sebab, dan negara adalah sebagai akibat1.

Contoh konkret dari landasan ontologis Pancasila adalah Bhinneka Tunggal Ika, yaitu semboyan yang menggambarkan keragaman bangsa Indonesia yang tetap bersatu dalam semangat gotong royong. Bhinneka Tunggal Ika berasal dari kitab Sutasoma karya Mpu Tantular, seorang pujangga dari Kerajaan Majapahit4. Semboyan ini menunjukkan bahwa bangsa Indonesia menghargai perbedaan suku, agama, ras, budaya, dan pandangan politik sebagai kekayaan bangsa yang tidak menghalangi persatuan nasional.

Contoh lainnya adalah musyawarah mufakat, yaitu cara pengambilan keputusan secara demokratis dengan mengutamakan musyawarah untuk mencapai mufakat atau kesepakatan bersama. Musyawarah mufakat merupakan tradisi lama bangsa Indonesia yang mencerminkan sikap saling menghormati, menghargai, dan mengakui perbedaan pendapat. Musyawarah mufakat juga menunjukkan bahwa bangsa Indonesia tidak mau tunduk pada kekuasaan satu orang atau kelompok saja, melainkan ingin berpartisipasi dalam menentukan nasib bersama.

Contoh lainnya lagi adalah kerukunan antarumat beragama, yaitu sikap saling menghormati dan toleransi antara pemeluk agama yang berbeda di Indonesia. Kerukunan antarumat beragama merupakan salah satu syarat untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia yang majemuk. Kerukunan antarumat beragama juga merupakan wujud dari pengamalan sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengakui keberagaman keyakinan dan kepercayaan di Indonesia.

Baca Juga:  Visi, Misi, Dan Kompetensi Pendidikan Kewarganegaraan

Landasan Epistemologis Pancasila

Epistemologi adalah cabang filsafat yang menyelidiki asal, syarat, susunan, metode, dan validitas ilmu pengetahuan1. Epistemologi meneliti sumber pengetahuan, proses dan syarat terjadinya pengetahuan, batas dan validitas ilmu pengetahuan. Epistemologi adalah ilmu tentang ilmu atau teori terjadinya ilmu atau science of science1.

Secara epistemologis, kajian Pancasila sebagai filsafat dimaksudkan sebagai upaya untuk mencari hakikat Pancasila sebagai suatu sistem pengetahuan. Pancasila sebagai sistem filsafat pada hakikatnya juga merupakan sistem pengetahuan. Ini berarti Pancasila telah menjadi suatu belief system, sistem cita-cita, menjadi suatu ideologi. Oleh karena itu Pancasila harus memiliki unsur rasionalitas terutama dalam kedudukannya sebagai sistem pengetahuan1.

Dasar epistemologis Pancasila pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan dasar ontologis Pancasila, yaitu hakikat sifat kodrat manusia sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Sebagai suatu paham epistemologi, maka Pancasila mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka moralitas kodrat manusia serta moralitas religius dalam upaya untuk mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup manusia1.

Contoh konkret dari landasan epistemologis Pancasila adalah nilai-nilai luhur yang terkandung dalam sila-sila Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, dan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Nilai-nilai luhur ini merupakan hasil dari perenungan dan pengalaman bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai tantangan sejarah. Nilai-nilai luhur ini juga merupakan pedoman hidup bagi bangsa Indonesia dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Contoh lainnya adalah falsafah hidup orang Jawa, yaitu suatu sistem pemikiran yang mencerminkan cara pandang dan cara hidup orang Jawa. Falsafah hidup orang Jawa memiliki beberapa konsep utama, antara lain: manunggaling kawula gusti (persatuan antara hamba dan Tuhan), rukun (harmoni), tepa selira (empati), andhap asor (rendah hati), ngemong (melayani), ngalah (mengalah), nrimo (menerima), dan tawakal (berserah diri). Falsafah hidup orang Jawa mengajarkan orang Jawa untuk menjalani hidup dengan penuh kesadaran, tanggung jawab, keseimbangan, dan ketenangan.

Baca Juga:  Kerajaan Maritim Hindu-Buddha di Indonesia

Contoh lainnya lagi adalah adat istiadat masyarakat Minangkabau, yaitu suatu sistem nilai dan norma yang mengatur kehidupan masyarakat Minangkabau. Adat istiadat masyarakat Minangkabau memiliki beberapa prinsip utama, antara lain: adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah (adat bersumber dari syariat, syariat bersumber dari kitabullah), bundo kanduang (ibu sebagai pusat keluarga), nagari (desa sebagai kesatuan sosial), koto piliang (dewan adat), ninik mamak (pemimpin adat), alua pasambahan (sambutan tamu), rantau (perantauan), dan merantau (berperantauan). Adat istiadat masyarakat Minangkabau mengajarkan masyarakat Minangkabau untuk menjaga identitas budaya, keagamaan, dan kekeluargaan mereka.

Posted in Ragam

Artikel Terkait: