Menu Tutup

Upaya Bangsa Indonesia dalam Menghadapi Disintegrasi pada Awal Kemerdekaan

Latar Belakang

Bangsa Indonesia telah berhasil memproklamasikan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, setelah lebih dari tiga setengah abad berada di bawah penjajahan bangsa asing. Namun, kemerdekaan ini tidak diterima begitu saja oleh Belanda, yang masih menganggap Indonesia sebagai koloni mereka. Belanda berusaha untuk mengembalikan kekuasaannya di Indonesia dengan bantuan dari Sekutu, yang diwakili oleh Inggris.

Sesuai dengan perjanjian Wina pada tahun 1942, negara-negara Sekutu bersepakat untuk mengembalikan wilayah-wilayah yang kini diduduki Jepang pada pemilik koloninya masing-masing bila Jepang berhasil diusir dari daerah pendudukannya. Menjelang akhir perang tahun 1945, sebagian wilayah Indonesia telah dikuasai oleh tentara Sekutu. Satuan tentara Australia telah mendaratkan pasukannya di Makasar dan Banjarmasin, sedangkan Balikpapan telah diduduki oleh Australia sebelum Jepang menyatakan menyerah kalah.

Sementara Pulau Morotai dan Irian Barat bersama-sama dikuasai oleh satuan tentara Australia dan Amerika Serikat di bawah pimpinan Jenderal Douglas MacArthur, Panglima Komando Kawasan Asia Barat Daya (South West Pacific Area Command/SWPAC). Setelah perang usai, tentara Australia bertanggung jawab terhadap Kalimantan dan Indonesia bagian Timur, Amerika Serikat menguasai Filipina dan tentara Inggris dalam bentuk komando SEAC (South East Asia Command) bertanggung jawab atas India, Burma, Srilanka, Malaya, Sumatra, Jawa dan Indochina. SEAC dengan panglima Lord Mountbatten sebagai Komando Tertinggi Sekutu di Asia Tenggara bertugas melucuti bala tentara Jepang dan mengurus pengembalian tawanan perang dan tawanan warga sipil sekutu (Recovered Allied Prisoners of War and Internees/RAPWI) [1][1].

Berbeda dengan Australia dan Amerika Serikat yang bersikap netral terhadap kemerdekaan Indonesia, Inggris justru membawa serta NICA (Netherland Indies Civil Administration), yaitu pemerintahan sipil Hindia Belanda yang dipimpin oleh Dr. Hubertus J van Mook. NICA bertujuan untuk mengembalikan kekuasaan Belanda di Indonesia dengan cara apapun. Pada tanggal 29 September 1945, tentara Inggris selaku wakil Sekutu tiba di Jakarta, dengan didampingi Dr. Charles van der Plas, wakil Belanda pada Sekutu. Kehadiran tentara Sekutu ini ditentang oleh pemerintah Republik Indonesia yang dipimpin oleh Soekarno-Hatta. Belanda menganggap Soekarno-Hatta sebagai kolaborator Jepang dan tidak mau mengakui kemerdekaan Indonesia [1][1].

Perjuangan Melawan Agresi Militer Belanda

Pemerintah Republik Indonesia berusaha untuk mempertahankan kemerdekaannya dengan cara diplomasi maupun perlawanan fisik. Di bidang diplomasi, pemerintah Republik Indonesia mengirimkan utusan-utusan ke berbagai negara untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan internasional. Beberapa negara yang pertama kali mengakui kemerdekaan Indonesia adalah Mesir, India, Pakistan, Iran, Irak, Lebanon, Suriah, Arab Saudi dan Yaman 2. Selain itu, pemerintah Republik Indonesia juga berusaha untuk mendapatkan simpati dari rakyat Belanda sendiri dengan menyebarkan pamflet-pamflet yang berisi tentang penjajahan Belanda di Indonesia 3.

Baca Juga:  Perlawanan Banten Terhadap VOC

Di bidang perlawanan fisik, pemerintah Republik Indonesia membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR), yang kemudian berganti nama menjadi Tentara Nasional Indonesia (TNI), sebagai alat pertahanan negara. TNI terdiri dari mantan pejuang pergerakan kemerdekaan, mantan tentara PETA (Pembela Tanah Air), mantan tentara Heiho, dan rakyat sipil yang bersedia berjuang. TNI dipimpin oleh Jenderal Sudirman, yang terpilih sebagai panglima besar pada tanggal 12 November 1945 4. TNI menghadapi tantangan yang berat, karena harus berperang melawan tentara Belanda yang lebih lengkap dan modern dalam hal persenjataan dan peralatan. Namun, TNI tidak gentar dan berjuang dengan semangat patriotisme dan nasionalisme yang tinggi.

Tentara Belanda melakukan dua kali agresi militer terhadap Indonesia, yaitu pada tahun 1947 dan 1948. Agresi militer pertama dimulai pada tanggal 21 Juli 1947, dengan tujuan untuk menguasai daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti minyak bumi, karet, teh, kopi, dan batubara. Agresi militer ini melanggar perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati oleh kedua belah pihak pada tanggal 14 Oktober 1946 di Linggarjati. Perjanjian Linggarjati menyatakan bahwa Belanda mengakui Republik Indonesia sebagai bagian dari negara federal Indonesia yang akan dibentuk bersama-sama dengan Belanda 5. Namun, Belanda tidak menepati janjinya dan malah menyerang Indonesia.

Agresi militer pertama ini berhasil ditahan oleh TNI dengan strategi gerilya dan bantuan dari rakyat. TNI berhasil menghancurkan beberapa sarana transportasi dan komunikasi milik Belanda, serta melakukan serangan-serangan mendadak di berbagai tempat. Rakyat juga membantu TNI dengan memberikan informasi, logistik, dan perlindungan. Agresi militer pertama ini berakhir pada tanggal 4 Agustus 1947 dengan perjanjian gencatan senjata di Roem-van Roijen, yang dinamakan demikian karena disusun oleh Mohammad Roem dari pihak Indonesia dan van Roijen dari pihak Belanda 6. Perjanjian ini mengatur tentang penghentian permusuhan, penarikan pasukan, pembentukan komisi tiga negara (Indonesia, Belanda, dan Australia) untuk mengawasi pelaksanaan gencatan senjata, dan pembukaan kembali hubungan diplomatik antara Indonesia dan Belanda.

Agresi militer kedua dimulai pada tanggal 19 Desember 1948, dengan tujuan untuk menghancurkan pemerintahan Republik Indonesia secara total. Agresi militer ini juga melanggar perjanjian gencatan senjata yang telah disepakati oleh kedua belah pihak pada tanggal 7 Mei 1949 di Renville. Perjanjian Renville menyatakan bahwa Indonesia dan Belanda akan membentuk negara federal Indonesia yang berdaulat dan merdeka dalam lingkup Uni Indonesia-Belanda 7. Namun, Belanda kembali tidak menepati janjinya dan malah menyerang Indonesia.

Baca Juga:  Nasionalisme Indonesia: Pengertian, Sejarah, dan Peran Pendidikan

Agresi militer kedua ini lebih brutal dan sistematis daripada agresi militer pertama. Tentara Belanda berhasil menduduki ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta, pada tanggal 19 Desember 1948. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Hatta, Menteri Pertahanan Amir Syarifuddin, dan beberapa tokoh lainnya ditangkap dan dibuang ke Bangka. Namun, sebelum ditangkap, Soekarno sempat memberikan mandat kepada Sjafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Sumatera Barat . PDRI bertugas untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan Indonesia selama pemerintah pusat tidak berfungsi.

TNI tidak menyerah begitu saja dengan agresi militer kedua ini. TNI terus melakukan perlawanan dengan strategi gerilya di berbagai daerah. Salah satu perlawanan yang paling heroik adalah Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Serangan ini dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto, yang saat itu menjabat sebagai Komandan Resimen 10 TNI Divisi V/Brawijaya. Serangan ini bertujuan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Republik Indonesia masih ada dan berdaulat, serta untuk menggugah semangat juang rakyat Indonesia. Serangan ini berhasil menguasai kembali Yogyakarta selama enam jam, dan mengibarkan bendera merah putih di Istana Kepresidenan. Serangan ini juga berhasil menyelamatkan beberapa tokoh penting, seperti Sutan Sjahrir, Mohammad Natsir, dan Assaat .

Posted in Ragam

Artikel Terkait: