Menu Tutup

Dalam Islam, Janda Menjadi Tanggungan Siapa?

Hak Seorang Janda dalam Islam

Hak seorang janda dalam Islam adalah memenuhi kebutuhan makanan, tempat tinggal, pakaian, dan kesehatan. Hak-hak ini merupakan pemberian dari suami yang wajib kepada istri, karena ikatan perkawinan yang sah. Besarnya hak seorang janda dalam Islam berdasarkan keadaan ekonomi suami dan tidak bisa dipaksakan sesuai dengan kehendak istri.

Hak seorang janda dalam Islam berlaku selama masa iddah akibat talak atau cerai yang dijatuhkan kepadanya. Masa iddah adalah masa tunggu bagi istri setelah bercerai dari suaminya sebelum ia boleh menikah lagi dengan laki-laki lain. Masa iddah ini berbeda-beda tergantung kondisi istri, apakah ia sedang hamil atau tidak, apakah ia masih haid atau sudah menopause, dan apakah ia bercerai karena talak raj’i (bisa rujuk kembali) atau talak ba’in (tidak bisa rujuk kembali).

Menurut madzhab fiqh (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali), hak seorang janda dalam Islam iddah adalah pemberian suami berupa nafkah dan tempat tinggal yang diterima istri ketika menjalani masa iddah. Hak-hak ini lebih ditekankan kepada makanan (pangan), pakaian (sandang), Tempat tinggal (papan), dan kesehatan agar tercapai tips hidup bahagia dalam Islam. Namun dalam perundang-undangan di Indonesia, esensi dari hak seorang janda dalam Islam terkait erat dengan masalah uang, status sosial, cara hidup serta perubahan situasi dan kondisi. Sehingga hak seorang janda dalam Islam bisa berkembang pada segala sesuatu yang berkaitan dengan kebutuhan hidup yang rasional. Jadi hak seorang janda dalam Islam bisa juga berupa biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan pengobatan bagi istri.

Hak seorang janda dalam Islam dan kewajiban istri dalam masa iddah menjadi suatu hal yang bersifat elastis dan fleksibel tergantung kondisi yang melingkupinya berupa kenyataan sosial dan perkembangan kebutuhan hidup individu serta kondisi riil dari kehidupan pasangan suami istri dalam perkawinan. Jadi hak seorang janda dalam Islam bisa berubah-ubah sesuai dengan keadaan dan kesepakatan antara suami dan istri.

Dalil-dalil tentang Hak Seorang Janda dalam Islam

Hak seorang janda dalam Islam tidaklah tanpa dasar. Ada beberapa dalil baik dari Al-Quran maupun dari hadits yang menjelaskan tentang hak-hak ini. Berikut adalah beberapa dalilnya:

  1. Allah SWT berfirman:

وَلِلْمُطَلَّقَاتِ مَتَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ ۖ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ

“Dan para wanita yang diceraikan wajib mendapat perbekalan yang baik-baik (dari bekas suaminya). Yang demikian itu adalah kewajiban bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 241)

Ayat ini menjelaskan bahwa para wanita yang diceraikan oleh suaminya berhak mendapatkan perbekalan atau nafkah yang baik-baik selama masa iddahnya. Perbekalan ini mencakup segala sesuatu yang dibutuhkan oleh istri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

  1. Allah SWT berfirman:

وَلَا تُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلَا يَخْرُجْنَ إِلَّا أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُّبَيِّنَةٍ ۚ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ ۚ لَا تَدْرِي لَعَلَّ اللَّهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذٰلِكَ أَمْرًا

“Dan janganlah kamu mengusir mereka dari rumah-rumah mereka (suami-suami mereka), dan janganlah mereka (sendiri) keluar, kecuali jika mereka telah melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan itu adalah hukum-hukum Allah. Barangsiapa melanggar hukum-hukum Allah, maka sungguh dia telah menganiaya dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui, boleh jadi Allah akan mengadakan sesuatu perkara sesudah itu.” (QS. At-Talaq: 1)

Ayat ini menjelaskan bahwa para wanita yang diceraikan oleh suaminya berhak tinggal di rumah-rumah mereka selama masa iddahnya, kecuali jika mereka telah melakukan perbuatan keji yang nyata seperti zina atau berkhianat kepada suami. Hak ini bertujuan untuk melindungi kehormatan dan kesejahteraan istri yang diceraikan.

  1. Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعُمْرٍو بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذْ طَلَّقْتُ امْرَأَتِي فِي حِيضِهَا فِي حِجَّةٍ وُجُوبٍ فِي زَمَنِ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم أن ترجع إلى امرأتك ثم تحبسها حتى تطهر ثم تحيض ثم تطهر ثم إن شئت فأمسك بمعروف أو فارق بإحسان ولا تطلقها في حيض فإنك قد أصبت سنة الله في خلقه

“Dari Aisyah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda kepada Umar bin Khattab RA ketika ia menceraikan istrinya dalam keadaan haid pada saat haji wajib di zaman Rasulullah SAW: ‘Kembalikanlah istrimu, kemudian tahanlah dia sampai ia suci, kemudian haid lagi, kemudian suci lagi. Kemudian jika kamu mau, maka pertahankanlah dia dengan baik atau lepaskanlah dia dengan baik. Dan janganlah kamu menceraikannya dalam keadaan haid, karena sesungguhnya kamu telah menyelisihi sunnah Allah dalam ciptaan-Nya.’” (HR. Muslim)

Hadits ini menjelaskan bahwa para wanita yang diceraikan oleh suaminya dalam keadaan haid tidak sah talaknya dan harus dikembalikan oleh suaminya sampai ia suci dan haid lagi. Kemudian suami boleh memilih untuk mempertahankan atau melepaskan istrinya dengan baik. Hal ini menunjukkan bahwa hak seorang janda dalam Islam harus diberikan dengan cara yang baik dan tidak menyakiti perasaannya.

Baca Juga: