Menu Tutup

Fikih pada masa Sahabat / Khulafaurrasyiddin

Dengan wafatnya Rasulullah saw, maka berarti wahyu yang diturunkan pun ikut berhenti. Kedudukan beliau diganti oleh khulafaur Rasydin. Adapun tugas dari seorang khalifah[1] adalah menjaga kesatuan umat dan[2] pertahanan negara. Masa mulai dari periode khulafaur Rasyidin dan sahabat-sahabat yang senior , hingga[3] lahirnya Imam Madzhab yaitu dari tahun 11-132 H. Ini meliputi periode khulafaur Rasyidin (11-40 H = 632-661 M).

Pada masa ini daerah kekuasaan Islam semakin luas[4], meliputi beberapa daerah di luar semenanjung Arabia, seperti Mesir, Syria, Iran (Persia) dan Iraq. Dan bersamaan dengan itu pula, agama Islam berkembang dengan pesat mengikuti perkembangan daerah tersebut. Di periode sahabat ini, kaum muslimin telah memiliki[5] rujukan hukum syari‟at yang sempurna berupa Al-qur‟an dan Hadits Rasul. Kemudian dilengkapi dengan ijma‟ dan qiyas, diperkaya dengan adat istiadat dan peraturanperaturan berbagai daerah yang bernaung dibawah naungan Islam. Dapat kita tegaskan bahwa di zaman khulafaur Rasyidin lengkaplah dalil-dalil tasyri Islami (dasar-dasar fiqih Islam) yang empat, yaitu: Al-Kitab, As Sunnah, Al-Qiyas atau ijtihad, atau ra‟yu dan Ijma‟ yang bersandar pada Al-Kitab, atau As-Sunnah, atau Qiyas(Djafar, 1992).

Sahabat-sahabat besar dalam periode ini menafsirkan nash-nash hukum dari Al Qur‟an maupun dari Al Hadits, yang kemudian menjadi pegangan untuk menafsirkan dan menjelaskan nash-nash itu. Selain itu para sahabat besar memberi pula fatwa-fatwa dalam berbagai masalah besar[6] memberi pula fatwa-fatwa dalam berbagai masalah terhadap kejadian-kejadian yang tidak ada nashnya yang jelas mengenai hal itu, yang kemudian menjadi dasar ijtihad(Asshiddieqi, 1999).\

Metode Dalam Mengenal Hukum

Para Khulafaur Rasyidin dalam menghadap suatu masalah atau berbagai masalah mereka lebih dahulu mencari nashnya dari Al Quran atau Sunnah, kalau mereka tidak menemukan dalam Al Quran dan Sunnah mereka mengadakan pertemuan dengan fuqoha sahabat[7] untuk meminta pendapat mereka. Apabila mereka telah sepakati suatu pendapat, maka mereka menetapkan pendapat[8] itu sebagai suatu[9] keputusan. Inilah yang disebut ijma‟.Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan baru para sahabat kembali kepada Alqur‟an dan Sunnah Nabi. Para sahabat banyak yang hafal al-Qur‟an, kendati pernah timbul keresahan ketika banyak yang gugur ketika menghadapi peperangan. Karenanya kembali kepada al-Qur‟an itu mudah. Hadits memang diriwayatkan dan dihafal. Tetapi nasib hadits tidak sebagus al-Qur‟an karena perhatian mereka lebih terpusat kepada al-Qur‟an. Disamping dihafal, al-Qur‟an juga ditulis. Namun demikian, sumber hukum Islam dimasa ini adalah al-Qur‟an dan hadits. Berdasar kedua sumber hukum itulah para kahlifah dan sahabat berijtihad dengan menggunakan akal pikiran.

Pada umumnya dalam memutuskan hukum, sahabat tidak sendirian, tetapi bertanya terlebih dahulu kepada sahabat lain, takut kalau salah. Sikap ini menunjukkan bahwa penafsiran terhadap al-Qur‟an bukan hak perogratif sahabat. Selanjutanya keputusan diambil dari hasil consensus, yang lazim disebut ijma’. Melihat luasnya kekuasaan Islam, tetapi kesepakatan beberapa[10] pemuka Islam yang dipandang mewakili keseluruhan. Pada awal masa sahabat ini , yaitu pada masa kholifah Abu Bakar dan masa kholifah Umar, para sahabat dengan cara bersama-bersama menetapkan hukum terhadap sesuatu yang tidak ada nashnya. Hukum yang di keluarkan oleh para sahabat dengan cara bersama-sama ini di sebut sebagai ijma‟ sahabat.

Kholifah Umar pun berbuat demikian, yaitu apabila sulit baginya mendapatkan[11] hukum dala al-qur‟an dan as-sunnah, maka [12] beliau memperhatikan apakah telah ada keputusan-keputusan terhadap masal itu[13]. Jika Abu Bakar mendapatkan suatu keputusan hukum, maka Umar memutuskan dengan hukum itu, dan kalau tidak[14] maka beliau memanggil pemuka-pemuka kaum muslimin, apabila sepakat tentang hukum tersebut, maka beliau[15] memeberikan keputusan dengan hukum yang telah di sepakati tersebut.

Metode yang digunakan pada masa sahabat dapat ditempuh melalui beberapa cara diantaranya : a. Dengan semata pemahaman lafaz yaitu memahami maksud yang terkandung dalam lahir lafaz. Contohnya bagaimana hukum membakar harta anak yatim. Ketentuan jelas dalam alquran hanya larangan memakan harta anak yatim secara aniaya, sedangkan hukum membakarnya tidak ada. Karena semua orang itu tahu bahwa membakar dan memakan harta itu sama dalam hal mengurangi atau menghilangkan harta anak yatim, maka keduanya juga sama hukumnya yaitu haram. Cara ini kemudian disebut penggunaan metode mafhum. b. Dengan cara memahami alasan atau illat yang terdapat dalam suatu kasus (kejadian) yang[16] baru, kemudian menghubungkannya kepada dalil nash yang memiliki alasan atau illat yang sama dengan kasus tersebut. Cara[17] ini kemudian disebut[18] metode qiyas.

Keistimewaan Fiqih Pada Masa Khulafaur Rasyidin

Pada masa Sahabat merupakan masa perkembangan fiqih yang diistilahkan sebagai masa muda remaja yang dimulai dari periode Khulafaur Rasyidin dan sahabatsahabat senior hingga lahirnya imam mazhab dari tahun 11-132 H. Meliputi periode

Khulafaur Rasyidin (11-40 H = 632-661 M) dan periode Umayyah (40-132 H = 661750 M).

Ada 3 keistimewaan yang menonjol pada masa Khulafaur Rasyidin, yaitu:

  • Kodifikasi ayat-ayat al-Qur‟an serta menyebarkannya yang dimaksudkan untuk mempersatukan umat Islam dalam satu wajah tentang bacaan al-Qur‟an agar tidak ada perbedaan yang berakibat perpecahan.
  • Pertumbuhan tasyri‟ dengan ra‟yu sebagai motivasi besar terhadap[19] para fuqaha untuk menggunakan rasio sebagai[20][21] sumber ketiga yaitu qiyas.

Pengaturan peradilan

Setelah masa Khulafaur Rasyidin kemudian diganti dengan masa Dinasti

Umayyah, berkembanglah Ahlul Hadist disamping Ahlu Ra‟yi. Bahkan perbedaan pendapat antara 2 kelompok ini semakin tajam pada dinasti Abbasiyah (132-656 H) dan kian bertambah subur dan berkembang dengan baik serta menjadi gerakan ilmiah yang berpengaruh luas yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab fiqhi dalam Islam. Keistimewaan pada periode Khulafaur Rasyidin bahwa fiqih pada[22] masa ini muncul sesuai dengan perjalannya waktu. Dalam artian, kapan[23] ada[24] suatu permasalahan yang tidak terdapat di dalam Nash, maka para mujtahidin berusaha menggali hukumnya dari al qur‟an dan sunnah.Dalam[25] masa ini terjadi pengumpulan al qur‟an dan menjadikannya dalam satu mushaf. Hal ini terjadi karena untuk menghindari perpecahan diantara umat islam yang sudah mulai merambah ke seluruh tanah[26] arab.

Dalam masa ini juga belum ada periwayatan hadits, kecuali jika ada sebuah kebutuhan untuk mengetahui suatu hukum. Di masa ini juga telah menghadirkan sumber hukum baru yaitu ijma‟. Dan ini banyak sekali timbul permasalahan yang merujuk pada ijma‟.

Adapun peninggalan-peninggalan masa sahabat yang ada hubungannyadengan fiqih ialah:

  • Penjelasan-penjelasan yang bersifat yuridis terhadap nash-nash hukum al-qur‟an dan as-sunah. Penjelasan-penjelasan yang demikian iti terjadi, ialah ketika sahabat membahas nash-nash hukum untuk di terapkan kepada kejadian-kejadian lalu timbul pendapat-pendapat tentang pengertian dan maksud sebenarnya dari nashnash. Dalam melahirkan pendapat-pendapat itu mereka bersandar pada bakat serta kemampuan mereka dalam bidang bahasa , pada bakat serta kemampuan mereka dalam penetapan hukum dan pada pengetahuan[27] mereka, tentang hikmah diturunkannya syari‟at serta sebab –sebab turunnya al;qur‟andan di datangkannya al-hadits.
  • Dari kumpulan pendapat-pendapat itu terbentuklah syarah yang bersifat yuridis terhadap nash-nash hukum, yang syarah itu dianggap sebagai landasan terpercaya dalam menafsirkan nash-nash tersebut dan untuk menjelaskan keumumannya dan nash serta cara-cara penerapannya.
  • Fatwa-fatwa hasil ijtihad yang di berikan oleh tokoh-tokoh sahabat, terhadap kejadian-kejadian yang tidak ada nashnya. Cara mujtahid dikalangan sahabat itu apabila tidak mendapatkan nash dalam al-qur‟an atau as-sunah tentang hukum sesuatu kejadian yang diajukan. Mereka berijtihad untuk menemukan hukum dengan berbagai jalan istinbath.

Contoh contoh ijtihad yang dilakukan pada masa sahabat:

Diantara beberapa contoh[28] ijtihad yang dilakukan oleh sahabat, antara83 lain:

  • [29]Memerangi orang yang tidak mau membayar zakat

Diriwayatkan, Abu Bakar sebagai Khalifah pernah memerangi orang yang menolak membayar zakat. Umar bin al-Khattab menegurnya dengan berkata, “ Saya pernah disuruh Rasulullah memerangi orang sampai mereka mengucap la ilaha illa Allah. Kalau mereka sudah mengucapkannya, Allah menjaga harta dan darahnya, kecuali dengan “hak”nya. Semua urusan ditangan Allah”. Abu bakar menyahut, “ Demi Allah, sungguh saya akan memerangi siapa saja yang membedakan sholat dengan zakat. Sebab zakat termasuk “hak”nya atas harta.

  • Ahli waris

Pada zaman Umar Bin Khattab terdapat serombongan ahli waris yang terdiri dari suami(1/2) ibu(1,6) dan tiga orang saudara seibu semuanya sesuai dngan ketentuan Al Qur‟an. Kebetulan dalam rombongan itu ada pula saudara laki-laki kandung yang berdasarkan hadits nabi adalah “ahli waris sisa harta”. Karena harta sudah terbagi habis maka saudara kandung tidak dapat bagian apa-apa. Tidak dapatnya saudara kandung, sedangkan saudara seibu mendapat, tentu tidak enak dirasakannya. Dalam hal ini umar menetapkan bahwa saudara kandung bergabung dengan saudara seibu dalam mengambil hak 1/3 harta yaitu hak saudara seibu. Hak istri atas yaitu ¼ bila suami tidak meninggalkan anak dan 1/8 bila suami meninggalkan anak. Istri ini tidak mendapat hak apa-apa bila sebelum suami mati istri sudah di cerai terlebih dahulu.

  • Hukuman diyat karena pengampunan salah seorang Wali

Ketika haji wada‟ Nabi menyuruh pilih keluarga korban, qishas atau denda bagi pembunuh (pembunuh disengaja). Ini sesuai firman[30] Allah dalam surat AlBaqarah[31] ayat 17:

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema’afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema’afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma’af) membayar (diat) kepada yang memberi ma’af dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih”

  • Pernikahan seorang wanita yang sedang dalam „iddah

Tentang kasus semacam ini terdapat dalam sunnah maupun Alqur‟an. Ali ra. dalam menjawab masalah ini[32] berpegang pada prinsip umum, tidak ada

larangan abadi”. Maka, cukuplah diberi hukuman fisik dan perceraian, serta “iddah ganda”. Sementara Umar ra. dalam mengambil sikap keras itu karena menutup pintu kesalahan yang sama bagi orang lain. Tentang iddah wanita yang kematian suami disebutkan oleh Allah secara pasti dalam Surat Al-Baqarah ayat

234 yaitu 4 bulan 10 hari: “Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah Para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber’iddah) empat bulan sepuluh hari. kemudian apabila telah habis ‘iddahnya, Maka tiada dosa bagimu (para wali) membiarkan mereka berbuat terhadap diri mereka menurut yang patut. Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.

[1] Abu Umar Ibrahim, Tarikh Al Khulafa’ Ar Rasyidin, Hikmah Ahlulsunnah, Yogyakarta, 2011, H.15

[2] Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia,

[3] Febrialdi R, Gitanjali, Mediakita, Jakarta, 2018, H.35

[4] Azhar Arsyad, Step By Step, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2013, H. 122

[5] Lihat, Azhar Arsyad, Dasar-Dasar Penguasaan Bahasa Inggris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2015,

H.44

[6] Moh. Rifa‟i, Risalah Tuntunan Shalat Lengkap, Pt. Karya Toha Putra, Semarang, 2011, H.17

[7] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana, Jakarta, 2003, H.33

[8] Mua‟rif, Tanya Jawab Agama, Surah Muhammadiyah, Yogyakarta, 2013, H.92

[9] Erna Novitasari, Pengantar Manajemen, Quadrant, Yogyakarta, 2017, H.57

[10] Abu Rizky Tazaka, Motivasi Islami,  As-Salam Publishing, Solo, 2015, H. 178

[11] „Aidh Al-Qarni, La Tahzan, Qisthi Press, Jakarta, 2011, H. 306

[12] None, Curahan Hati Seputar Islami, Erlangga,Jakarta, 2011,H.24

[13] Azhar Arsyad, Menguasai Kata Kerja Populer Dan Preposisi Bahasa Arab, Pustaka Pelajar, 2010,

H.169 

[14] Labib Mz, Cara Cepat Mengenal Bahasa Arab, Bintang Usaha Jaya, Surabaya, 2011, H.23

[15] M.Hasbih Ash Shiddiqie, Sejarah Dan Pengantar Ilmu Hadis, Bulan Bintang, Jakarta, 1991, H.266 

[16] Ibnu Qayyim Al-Jauziah,Firasat, Pustaka Azzam, Jakarta, 2000, H.160

[17] Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, Ciputat Press, Jakarta, 2002, H. 128

[18] Ahmad Rifa‟i Rif‟an, The Perfect Muslimah, Pt  Gramedia, Jakarta, 2018, H.53

[19] Achmad Sunarto, Agar  Selalu Dicintai Allah, Ampel Mulia, Surabaya, 2014, H.93

[20] Tim Penulis Iqf, Mahasiswa-Mahasiswa Penghafal Quran, Indonesia Quran Fuondation, Depok,

[21] , H. 142

[22] Agus Mustofa, Lorong Sakaratul Maut, Padma Press, Surabaya, 2013, H. 68

[23] Alimin Dan Saifuddin Zuhri, Metode Mumtaz, Orbit Publishing, Jakarta, 2015, H.25

[24] Kaharuddin Ali, Mahir Berbahasa Arab, Lb-H Press, Parepare, 2015, H.114

[25] Sulaiman, Dakwah Islamiah, Yayasan Perguruan Islam Ganra, Solo, 2015, H.51

[26] Muhammad Mukharom Ridho, 30 Materi Pilihan Kultum Ramadhan, Pustaka Iltizam, Solo, 2014, H58

[27] Rusmin Tumanggor, Kholis Ridho Dan Nurochim, Ilmu Sosial Dan Budaya Dasar, Kencana,

Jakarta, 2010, H.147

[28] Suseno W.Pranomo, Complete English Grammar, Nidyapustaka, 2015, H.31

[29] Abu Ya‟la Kurnaedi Dan Nizar Sa‟ad Jabal, Metode Asy-Syafi’i Ilmu Tajwid Praktis, Pustaka Imam

Syafi‟i, Jakarta, 2016, H.15

[30] Pembina Pondok Pesantren As‟adiyah Pusat Sengkang, Kumpulan Materi Da’watul Islamiyah, Lampena Intimedia, Sengkang, 2014, H.15

[31] Ali Nurdin, Syaiful Mikdar Dan Wawan Suharmawan, Pendidikan Agama Islam, Universitas Terbuka, Jakarta, 2009, H.1.7

[32] Baso Pallawagau, Bahasa Arab ‘Ammiyah, Panrita Global Media, Gowa, 2016, H. 16

Sumber: Ilmu Fiqih: Suatu Pengantar Dialektika Konsep Klasik dan Kontemporer/ oleh Agus Muchsin- Yogyakarta: Jusuf Kalla School of Government Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (JKSG-UMY), 2019.

Baca Juga: