Merokok merupakan fenomena yang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat di berbagai belahan dunia. Dalam dunia Islam, perdebatan tentang hukum merokok telah berlangsung sejak abad ke-11 Hijriah (15 Masehi) ketika rokok mulai dikenal, terutama pada masa Dinasti Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Seiring waktu, para ulama berusaha untuk menetapkan hukum merokok melalui ijtihad, yang menghasilkan beragam pandangan mulai dari mubah, makruh, hingga haram. Artikel ini membahas secara mendalam sejarah, perkembangan fatwa, serta pandangan dua organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU), tentang hukum merokok.
1. Sejarah Perdebatan Hukum Merokok dalam Islam
Pada masa awal kemunculannya, rokok dianggap sebagai kebiasaan baru yang belum memiliki dasar hukum yang jelas dalam Islam. Para ulama pada masa Dinasti Utsmaniyah segera merespons dengan mengeluarkan fatwa yang umumnya menetapkan hukum makruh, mengingat dampak negatif yang mulai terlihat. Namun, perdebatan ini terus berkembang hingga lima abad kemudian, ketika data ilmiah dan medis mulai digunakan untuk memperkuat argumentasi hukum terkait merokok.
Sebagian besar ulama bersepakat bahwa rokok membawa dampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan sosial. Namun, karena tidak adanya nash Al-Qur’an maupun hadis yang secara langsung mengatur hukum merokok, maka para ulama mengandalkan prinsip-prinsip fiqih seperti qiyas, maqāshid al-syarī’ah, dan ijtihad dalam menentukan hukum rokok.
Perkembangan Fatwa di Dunia Islam
Fatwa tentang hukum merokok telah diterbitkan di berbagai negara dengan pendekatan yang beragam. Di beberapa wilayah, fatwa tentang rokok sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, dan medis masyarakat setempat. Di Timur Tengah, ulama pada abad ke-18 dan 19 banyak mengeluarkan fatwa yang menggolongkan merokok sebagai perbuatan makruh, karena dianggap tidak bermanfaat tetapi juga tidak menyebabkan kerusakan langsung. Di sisi lain, dengan berkembangnya ilmu kesehatan modern, ulama kontemporer mulai meninjau ulang fatwa tersebut.
2. Fatwa Muhammadiyah tentang Hukum Merokok
Awal Fatwa dan Perubahannya
Muhammadiyah, melalui Majelis Tarjih dan Tajdid, pada tahun 2005 awalnya menetapkan bahwa merokok adalah mubah. Fatwa ini didasarkan pada keterbatasan data ilmiah tentang dampak negatif merokok. Namun, pada tahun 2010, setelah kajian ulang dengan melibatkan para ahli kesehatan, demografi, dan sosiologi, Muhammadiyah merevisi fatwa tersebut menjadi haram.
Fatwa haram tersebut menegaskan bahwa upaya menjaga kesehatan masyarakat adalah bagian dari tujuan syariah (maqāshid al-syarī’ah). Dalam amar fatwa disebutkan bahwa:
“Wajib hukumnya mengupayakan pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat setinggi-tingginya serta menciptakan lingkungan yang kondusif bagi kehidupan sehat yang merupakan hak setiap individu.”
Dalil-Dalil Pengharaman Merokok
Muhammadiyah mendasarkan pengharaman merokok pada beberapa dalil utama:
- Larangan Mengkonsumsi Khabā’its (Hal-Hal Buruk) Allah berfirman:
“…yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk…” (QS. Al-A’raf: 157).
- Larangan Menjatuhkan Diri ke dalam Kebinasaan
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…” (QS. Al-Baqarah: 195).
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa: 29).
- Larangan Perbuatan Mubazir Merokok dianggap sebagai tindakan pemborosan yang dilarang oleh syariat:
“Dan janganlah kamu menghambur-hamburkan hartamu secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan…” (QS. Al-Israa’: 26-27).
- Bahaya bagi Orang Lain Merokok tidak hanya membahayakan diri sendiri, tetapi juga orang di sekitarnya, sebagaimana disebutkan dalam hadis Nabi Muhammad saw:
“Tidak ada bahaya terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad, dan Malik).
- Pelanggaran terhadap Maqāshid al-Syarī’ah Merokok bertentangan dengan lima tujuan utama syariat, yaitu perlindungan terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Dampak Medis sebagai Dasar Fatwa
Muhammadiyah merujuk pada penelitian medis yang menyatakan bahwa rokok mengandung lebih dari 4000 zat kimia, termasuk 200 racun berbahaya seperti tar, nikotin, dan karbon monoksida. Efek merokok meliputi:
- Risiko 14 kali lebih besar terkena kanker paru-paru, mulut, dan tenggorokan.
- Risiko 4 kali lebih besar terkena kanker esofagus.
- Risiko 2 kali lebih besar terkena serangan jantung.
Penelitian WHO juga mencatat bahwa lebih dari 8 juta kematian per tahun secara global diakibatkan oleh kebiasaan merokok, termasuk perokok pasif.
Upaya Penerapan Fatwa
Fatwa Muhammadiyah menekankan prinsip at-tadrij (berangsur) dalam penerapannya. Para perokok diimbau untuk secara bertahap menghentikan kebiasaan merokok, didukung oleh fasilitas terapi yang disediakan oleh pusat-pusat kesehatan Muhammadiyah.
3. Fatwa Nahdlatul Ulama tentang Hukum Merokok
Perspektif Hukum yang Relatif
NU, melalui forum Bahtsul Masail, menyatakan bahwa hukum merokok bersifat relatif. Merokok dapat dihukumi mubah, makruh, atau haram tergantung pada dampaknya terhadap individu dan masyarakat. Pandangan ini didasarkan pada prinsip bahwa tidak ada dalil spesifik dari Al-Qur’an atau hadis yang secara eksplisit mengatur hukum merokok.
Tiga Pendapat Utama dalam NU
- Mubah Merokok dianggap tidak membawa mudarat yang signifikan dan bukan benda yang memabukkan.
- Makruh Rokok dinilai membawa mudarat kecil yang tidak cukup untuk dijadikan dasar pengharaman.
- Haram Berdasarkan penelitian medis yang menunjukkan bahwa merokok membawa banyak mudarat, seperti risiko kanker dan penyakit kardiovaskular, sebagian ulama NU menghukumi merokok sebagai haram.
Pandangan Ulama NU
KH Arwani Faishal mencatat bahwa fatwa makruh untuk merokok didasarkan pada pertimbangan sosial dan budaya masyarakat Indonesia, di mana merokok telah menjadi kebiasaan yang sulit dihilangkan secara langsung. Namun, NU tetap mendorong edukasi tentang bahaya merokok melalui kampanye kesehatan.
Perbedaan dengan Muhammadiyah
Perbedaan antara Muhammadiyah dan NU terletak pada pendekatan terhadap illat (alasan hukum). Muhammadiyah lebih menitikberatkan pada hasil penelitian medis yang menunjukkan dampak negatif merokok, sementara NU cenderung melihat dampaknya dalam konteks sosial dan budaya yang lebih luas.
Pengaruh Sosial dan Ekonomi
NU juga mencatat bahwa banyak ulama dan kiai yang merupakan perokok. Faktor sosial ini memengaruhi penetapan hukum, mengingat perubahan hukum secara drastis dapat menimbulkan resistensi di kalangan masyarakat.
Kesimpulan
Perdebatan hukum merokok dalam Islam mencerminkan dinamika ijtihad yang terus berkembang seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Muhammadiyah dengan tegas mengharamkan merokok berdasarkan data medis, sedangkan NU cenderung memilih pendekatan yang lebih fleksibel dengan mempertimbangkan konteks sosial. Kedua pandangan ini menunjukkan bahwa fatwa dalam Islam tidak bersifat statis, melainkan dapat berubah sesuai dengan situasi dan kondisi.
Sebagai umat Islam, penting bagi kita untuk memahami alasan di balik setiap fatwa dan berusaha menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari demi kemaslahatan bersama. Fatwa bukan hanya sekadar aturan, tetapi juga refleksi dari upaya menjaga keseimbangan antara agama, ilmu pengetahuan, dan kebutuhan umat.
Sumber: M.Yusuf Amin Nugroho, FIQH AL-IKHTILAF NU-Muhammadiyah.