Sebagaimana al-Qur’an, al-Hadits pun telah banyak diteliti oleh para ahli, bahkan dapat dikatakan penelitian terhadap al-Qur’an lebih banyak kemungkinan dibandingkan penelitian terhadap al-Qur’an. Hal ini antara lain dilihat dari segi datangnya al-qur’an dan al-Hadits berbeda. Kedatangan (wurud), atau turun (nuzul) nya al-Qur’an dinyakini secara mutawatir berasal dari Allah. Tidak ada satu ayat al-Qur’an yang bukan berasal dari Allah. Atas dasar ini maka dianggap tidak perlu meneliti apakah ayat-ayat al-Qur’an itu berasal dari Allah atau tidak.
Hal ini berbeda dengan Hadits. Dari segi datang (al-wurud) nya hadits tidak seluruhnya diyakini dari Nabi, melainkan ada yang berasal dari selain Nabi. Hal ini selain disebabkan sifat dari lafadz-lafadz hadits yang tidak bersifat mukjizat, juga disebabkan perhatian terhadap penulisan Hadits pada zaman Rasulullah agak kurang, bahkan beliau pernah melarangnya. Keadaan inilah yang menyebabkan para ulama seperti Imam Bukhari dan Muslim mencurahkan segenap tenaga, pikiran dan waktunya bertahun-tahun untuk meneliti hadits, dan hasil penelitiannya dibukukan dalam kitabnya Shahih Bukhari dan Shahih Muslim.
Imam Abu Daud juga meneliti hadits dan hasil penelitiannya dibukukan dalam kitab Sunan Abu Daud. Selanjutnya giliran Imam At-Thirmidzi yang hasilnya dituangkan dalam kitab Sunan At-Thirmidzi. Imam Nasa’i membuat penelitian Hadits, dan hasilnya dituangkan dalm kitab Sunan An-Nasa’i. Terakhir Imam Ibnu Majah dengan kitabnya Sunan Ibnu Majah.
Para peneliti Hadits berikutnya tampil dalam bentuk yang berbeda-beda. Model penelitian yang dilakukan menunjukkan sudut pandang masing-masing peneliti berbeda, sesuai latar belakang pendidikan yang ditempuh. Adapun model penelitian hadits yang dilakukan oleh ulama hadits berikutnya adalah sebagai berikut.
Model H.M.Quraish Shihab
Penelitian yang dilakukan Quraish Shihab terhadap hadits menunjukkan jumlahnya tidak lebih banyak jika dibandingkan dengan penelitian terhadap al-Qur’an. Dalam bukunya berjudul membumikan Al-Qur’an, Quraish Shihab hanya meneliti dua sisi dari keberadaan hadits, yaitu mengenai hubungan hadits dan al-Qur’an serta fungsi dan posisi sunnah dalam tafsir. Bahan-bahan penelitian yang beliau gunakaan adalah bahan kepustakaan atau bahan bacaan, yaitu sejumlah buku yang ditulis para pakar di bidang hadits termasuk pula al-Qur’an.
Hasil penelitian Quraish Shihab tentang fungsi hadits terhadap al-Qur’an, menyatakan bahwa al-Qur’an menekankan bahwa Rasulullah saw. berfungsi menjelaskan maksud firman-firman Allah swt. Penjelasan atau bayan tersebut dalam pandangan sekian banyak ulama beraneka ragam bentuk dan sifat serta fugsinya.
Abdul Halim Mahmud, mantan Syaikh al-Azhar, dalam bukunya al-Sunnah Fi Makanatiba wa Fi Tarikhikba, sebagaimana dikutib H.M. Quraish Shihab, menulis bahwa sunnah mempunyai fungsi yang berhubungan dengan al-Qur’an dan fungsi yang berhubungan dengan pembinaan hukum syara’. Yang pertama sekedar menguatkan dan menggaris bawahi kembali apa yang terdapat di dalam al-Qur’an. Ulama lain menyebutkan sebagai menetapkan dan memperkuat hukum-hukum yang telah ditentukan oleh al-Qur’an. Dalam keadaan demikian, maka al-Qur’an dan al-Sunnah kedua-duanya bersama-sama menjadi sumber hukum. Untuk contoh fungsi al-Sunnah yang pertama ini dapat diambil hadits yang berbunyi sebagai berikut.
“Tidakkah kamu sekalian ingin aku jelaskan tentang dosa yang paling berat? Sahut kami (para sahabat): Ya Rasulullah. Beliau meneruskan sabdanya: (1) Menyekutukan Allah; (2) Berbuat durhaka kepada kedua orang tua (saat itu Rasulullah masih bersandar, tiba-tiba duduk seraya bersabda lagi: awas ingat pula) yaitu (3) bersaksi palsu. (H.R. Bukhari dan Muslim).”
Hadits tersebut adalah sebagai menetapkan dan menggaris bawahi ayat al-Qur’an yang berbunyi:
“Dan jauhilah perkataan dusta. (QS. Al-Hajj, ayat 30)”
Adapun fungsi yang kedua dari al-Sunnah adalah memperjelas, merinci, bahkan membatasi, pengertian lahir dari ayat-ayat al-Qur’an. Yaitu memberikan perincian dan penafsiran ayat-ayat al-Qur’an yang masih mujmal, memberikan taqyid (persyaratan) ayat-ayat al-Qur’an yang masih muthlaq dan memberikan takhshish (penentuan khusus) ayat-ayat al-Qur’an yang masih umum.
Misalnya perintah mengerjakan sholat, membayar zakat dan menunaikan ibadah haji di dalam al-Qur’an tidak dijelaskan jumlah rakaat dan bagaimana cara-cara melaksanakannya; tidak diperincikan nisab-nisab zakat dan juga tidak dipaparkan cara-cara melakukan ibadah haji. Tetapi semuanya itu telah di tafshil (diterangkan secara terperinci) dan ditafsirkan sejelas-jelasnya oleh hadits. Misalnya hadits yang artinya ”Dihalakan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Adapun dua macam bangkai itu adalah bangkai ikan dan bangkai belalang. Sedangkan dua macam darah itu ialah hati dan limpa” (H.R. Ibn Madjah dan al-Hakim). Hadits ini merupakan pengecuali terhadap ayat al-Qur’an yang sifatnya umum sebagai berikut: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah dan daging babi.” (QS. al-Maidah, 5 : 3).
Selain itu hadits juga dapat mengambil peran sebagai menetapkan hukum atau aturan yang tidak didapati di dalam al-Qur’an. Dalam hubungan ini kita misalkan membaca hadits yang artinya: “Tidak boleh seseorang mengumpulkan (memadu) seorang wanita dengan ‘ammah (saudari bapak) nya dan seorang wanita dengan khalah (saudari ibu) nya”. (H.R. Bukhari Muslim), dan hadits yang artinya: “Sungguh Allah telah mengharamkannya karena senasab” (H.R. Bukhari dan Muslim). Materi hukum yang ditetapkan keharamanya oleh kedua hadits tersebut sepanjang penelitian yang dilakukan para ahli hadits tidak dijumpai di dalam al-Qur’an, sehingga Nabi Muhammad saw. mengambil inisiatif untuk mengharamkannya.
Model Musthafa Al-Siba’iy
Mustafa al-Shiba’iy yang dikenal sebagai tokoh intelektual Muslim dari Mesir dan disebut-sebut sebagai pengikut gerakan Ikhwanul Muslimin, selain banyak menulis (meneliti) tentang masalah-masalah sosial ekonomi dan sudut pandang Islam, juga menulis buku-buku materi kajian agama Islam. Di antara bukunya yang berkenaan dengan hadits adalah al-Sunnah wa Makanatuba fi al-Tafsyiri’i al-Islami yang diterjemahkan oleh Nurcholis Madjid menjadi Sunnah dan Peranannya dalam Penetapan Hukum Islam Sebuah Pembelaan Kaum Suni dan diterbitkan oleh pustaka Firdaus, Jakarta pada tahun 1991, cetakan pertama.
Penelitian yang dilakukan Musthafa al-Siba’iy dalam bukunya itu bercorak eksploratif dengan menggukan pendekatan historis dan disajikan secara deskriptif analitis. Yakni dalam sistem penyajiannya menggunakan pendekatan kronologi urutan waktu dalam sejarah. Ia berupaya mendapatkan bahan-bahan penelitian sebanyak-banyaknya dari berbagai literatur hadits sepanjang perjalanan kurun waktu yang tidak singkat.
Hasil penelitian yang dilakukan Musthafa al-Siba’iy antara lain mengenai sejarah proses terjadi dan tersebarnya hadits mulai dari Rasulullah sampai terjadinya upaya pemalsuan hadits dan usaha para ulama untuk membendungnya, dengan melakukan pencatatan sunnah, dibukukannya Ilmu Musthalah al-hadits, Ilmu Jarh dan al-Ta’dil, kitab-kitab tentang hadits-hadits palsu dan para pemalsu dan penyebarannya.
Model Muhammad Al-Ghazali
Muhammad al-Ghazali yang menyajikan hasil penelitiannya tentang hadits dalam bukunya berjudul al-Sunnah al-Nabawiyah Baina Ahl al-Fiqh wa Ahl al-Hadits adalah seorang ulama jebolan Universitas Al-Azhar Mesir yang disegani di dunia Islam, khusunya Timur Tengah, dan salah seorang penulis Arab yang sangat produktif.
Dilihat dari segi kandungan yang terdapat dalam buku tersebut, nampak bahwa penelitian hadits yang dilakukan Muhammad al-Ghazali termasuk penelitian eksploratif, yaitu membahas, mengkaji dan menyelami sedalam-dalamnya berbagai persoalan aktual yang muncul di masyarakat untuk kemudian diberikan status hukumnya dengan berpijak pada konteks hadits tersebut. Dengan kata lain Muhammad al-Ghazali terlebih dahulu memahami hadits yang ditelitinya itu dengan melihat konteksnya kemudian baru dihubungkan dengan berbagai masalah aktual yang muncul di masyarakat.
Masalah yang terdapat dalam buku hasil penelitian Muhammad al-Ghazali itu nampak cukup banyak. Setelah ia menjelaskan tentang kesahihan hadits dan persyaratannya, ia mengemukakan tentang mayit yang diazab karena tangisan keluarganya, tentang hukum qishash, salat tahiyah masjid, tentang sekitar dunia wanita yang meliputi antara kerudung dan cadar, wanita keluarga dan profesi, hubungan wanita dengan masjid, kasus-kasus pidana dan qishash, etika makan, minum, berpakain dan membangun rumah.
Model Zain al-Din ‘Abd al-Rahim bin Al-Husain Al-Iraqi
Al-Hafidz Zain al-Din ‘Abd al-Rahim bin Husain al-Iraqi yang hidup tahun 752-806 tergolong ulama generasi pertama yang banyak melakukan penelitian hadits. Bukunya berjudul al-Taqyid wa al-Idlah Syarh Muqaddiman Ibn al-Shalah adalah termasuk kitab ilmu hadits tertua yang banyak mengemukakan hasil penelitian dan banyak dijadikan rujukan oleh para peneliti dan penulis hadits generasi berikutnya. Ia disebutkan sebagai penganut madzab Syafi’i, belajar di Mesir dan mendalami bidang fikih. Di antara gurunya adalah al-Asnawiy dan Ibn ‘Udlan yang keduanya termasuk pendiri mazhab Syafi’i. Selain itu juga dikenal menguasai ilmu al-nahwu (gramatika), ilmu qira’at dan hadits.
Mengingat sebelum zaman al-Iraqi belum ada hasil penelitian hadits, maka nampak ia berusaha membangun ilmu hadits dengan menggunakan bahan-bahan hadits nabi serta berbagai pendapat para ulama yang dijumpai dalam kitab tersebut. Dengan demikian penelitiannya bersifat penelitian awal, yaitu penelitian yang ditujukan untuk menemukan bahan-bahan untuk digunakan membangun suatu ilmu.
Buku inilah buat pertama kali mengemukakan macam-macam hadits yang didasarkan pada kualitas sanad dan matannya, yaitu ada hadits yang tergolong sahih, hasan, dan dlaif. Kemudian dilihat pula dari keadaan bersambung atau terputusnya sanad yang dibaginya menjadi hadits musnad, marfu’, mauquf, mursal. Selanjutnya dilihat pula dari keadaan kualitas matannya yang dibagi menjadi hadits yang syadz dan munkar.
Sumber: academia.edu