Menu Tutup

Pembaharuan Pendidikan Islam : Pengertian, Latar Belakang, Aspek dan Pola-Pola

Pengertian Pembaharuan Pendidikan Islam

Pembaharuan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia dimaknakan dengan hal-hal yang baru, penemuan baru yang berbeda dari hal yang sudah ada atau hal yang sudah dikenal sebelumnya dari gagasan, metode atau alat.[3] Makna yang dimaksud adalah suatu perubahan yang baru yang bersifat kualitatif, berbeda dari hal yang ada sebelumnya serta sengaja diusahakan untuk meningkatkan kemampuan dalam rangka pencapaian tujuan tertentu dalam pendidikan. Hal-hal baru yang dimaksud dalam pengertian di atas adalah apa saja/apapun yang belum dipahami, diterima atau dilaksanakan oleh si penerima pembaharuan meskipun hal itu bukan merupakan hal yang baru lagi bagi orang lain. Sementara kualitatif yang dimaksudkan di atas adalah bahwa pembaharuan tersebut potensial atau memungkinkan adanya reorganisasi atau pengaturan kembali pada unsur-unsur yang ada dalam pendidikan.

Jika dilihat secara umum, pengertian pembaharuan dalam konteks ini disamakan dengan inovasi meskipun pada esensinya antara inovasi dan pembaharuan punya pengertian yang sedikit berbeda, di mana biasanya pada inovasi perubahan-perubahan yang terjadi hanya menyangkut aspek-aspek tertentu dalam arti sempit dan terbatas, sedangkan pembaharuan biasanya perubahan yang terjadi adalah menyangkut berbagai aspek bahkan tidak menutup kemungkinan terjadi perubahan secara total atau keseluruhan. Jadi dapat disimpulkan bahwa arti pembaharuan pada esensinya lebih luas dari pada inovasi.

Selain pengertian di atas, banyak istilah-istilah pembaharuan yang dikemukakan oleh para ahli diantaranya adalah:[4]

  1. Harun Nasution menganalogikan istilah pembaharuan dengan modernisme karena istilah ini dalam kehidupan masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha mengubah paham-paham, adat-istiadat, institusi lama dan sebagainya untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Gagasan ini muncul di Barat dengan tujuan menyesuaikan ajaran-ajaran yang terdapat dalam agama Katolik dan Protestan dengan ilmu pengetahuan modern. Karena konotasi dan perkembangan yang seperti itu, Harun Nasution keberatan menggunakan istilah modernisasi Islam dalam pengertian di atas.
  2. Revivalisasi. Menurut paham ini, pembaharuan adalah membangkitkan kembali Islam yang murni sebagaimana pernah dipraktekkan Nabi Muhammad Saw dan kaum Salaf.
  3. Kebangkitan Kembali (resugence) Dalam kamus Oxford, resurgence didefinisikan sebagai “kegiatan yang muncul kembali” (the act of rising again).

Secara umum dengan didasarkan pada teori-teori di atas dapat penulis simpulkan bahwa pembaharuan pendidikan adalah suatu kegiatan pembaharuan yaitu pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengadakan perubahan dalam bidang pendidikan dengan tujuan untuk memperoleh hal atau sesuatu (pendidikan) yang lebih baik.

Latar Belakang Pembaharuan Pendidikan Islam Abad 19-20

Dalam mengkaji perjalanan historis umat Islam khususnya pada abad 19 dan 20 didapatkan beberapa latar belakang terjadinya pembaharuan pendidikan Islam pada abad itu yaitu:

  1. Kondisi internal dunia pendidikan Islam pada zaman tersebut, termasuk kondisi muslim pada umumnya.
  2. Terjadinya kontak antara Islam dengan Barat.

Latar pertama:  Dapat dikaji dari sejarah intelektual dan pendidikan Islam masa awal sampai zaman pertengahan Islam. Keberadaan institusi Pendidikan Islam sejalan dengan kemunculan Islam itu sendiri. Institusi ini berkembang seperti kuttab dan masjid. Bila kita mengambil pengertian kuttab adalah lembaga pendidikan dasar yang mengajarkan tulis baca, berhitung dan dasar-dasar agama.[5] Mesjid adalah lembaga pendidikan semenjak masa paling awal Islam.[6]

Hal ini merupakan konsekuensi logis dari diskursus keilmuan yang berkembang yang mengadakan pembedaan-pembedaan pengetahuan tertentu, misalnya antara ilmu teoritis dan praktis, ilmu yang universal (kully). Dan pembedaan yang paling penting antara ilmu agama (al-ilmu al-syar’iyah)  atau ilmu –ilmu tradisional (al-ulum al aqliyah)  dengan ilmu-ilmu rasional atau sekuler (al-ulum al-aqliyah atau ghair Syar’iyah).[7]

Dalam Islam sesungguhnya tidak diketahui pembedaan-pembedaan antara ilmu agama dan ilmu profan seperti tersebut di atas. Semua pengetahuan dalam Islam pada akhirnya bermuara pada Allah Swt. Namun pada prakteknya, kelompok pokok pengetahuan agama lebih mendominasi dibanding dengan kelompok al-ulum ghair syar’iyah.

Perkembangan tradisi pemikiran terutama perspektif umat Islam terhadap permulaan ilmu pengetahuan tersebut membawa dampak bagi dunia pendidikan Islam pada umumnya. Sehingga institusi-institusi pendidikan Islam pada akhirnya  hanya berfungsi sebagai wadah konservasi yang tentu saja kehilangan kreasi pengembangannya.

Sebelum kehancuran theologi Mu’tazilah pada masa khalifah Abbasiyah al-Makmun, mempelajari ilmu-ilmu umum yang bertitik tolak dari nalar dan kajian-kajian empiris bukan sesuatu yang tidak ada dalam kurikulum Madrasah tetapi dengan “pemakruhan” untuk tidak menyebut “pengharaman”. Penggunaan nalar setelah runtuhnya Mu‟tazilah. Ilmu-ilmu umum yang sangat dicurigai itu dihapuskan dari kurikulum Madrasah mereka yang cenderung dan masih berminat kepada ilmu-ilmu umum itu, terpaksa mempelajari secara sendiri-sendiri atau bahkan di bawah tanah, karena mereka dipandang sebagai ilmu-ilmu “subversif” yang dapat dan akan menggugat mengganggu stabilitas doktrin sunni. Pada waktu yang sama, sain mengalami transmisi ke dunia Barat (Eropa) yang kemudian melahirkan revolusi industri dan membawa mereka kepada kemajuan.

Dengan demikian dapat digambarkan bahwa akar keterbelakangan dunia Islam dalam bidang sains dan teknologi dapat dilacak dari hilangnya sains dari tradisi intelektual dan pendidikan Islam. Kondisi semacam itu tidak lepas dari kondisi sosial keagamaan masyarakat muslim secara keseluruhan pada abad pertengahan, hilangnya pemikiran rasional dan digantikan dengan pemikiran statis, taklid, bid’ah dan khurafat menjadi ciri dunia Islam saat itu.

Pemikiran jumud itu selalu merambat dalam berbagai bidang bahasa, syari’ah, aqidah dan sistem masyarakat. Kejumudan dalam hal-hal di atas tampaknya terkait antara satu dengan lainnya dan dalam kejumudan dalam satu bidang, terutama bidang aqidah mempengaruhi bidang-bidang lainnya. Dalam hal ini Muhammad Abduh berasumsi bahwa akidah Jabariyah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya kejumudan itu. Ajarannya yang cenderung pada sikap pasif kepercayaan terhadap kasih sayang Tuhan mempermudah manusia melanggar perintah Tuhan. Konsekuensinya, moral umat Islam semakin jauh menyimpang dari tuntunan Islam.[8]

Latar kedua:  Pembaharuan pendidikan Islam, seperti telah disebutkan merupakan titik kulminasi dari gejolak intelektual yang selama ini terpendam. Pada zaman pertengahan, sesungguhnya telah muncul beberapa pemikir Muslim yang dengan jeli melihat krisis keilmuan dunia Islam, tetapi mereka tenggelam di bawah arus utama yang tetap menghendaki kemapanan. Kritik-kritik tajam yang dilontarkannya bukan hanya diarahkan pada sufisme dan para filosofis yang mendewakan nasionalisme, melainkan juga ke arah teologi Asy’ari.

Periode modern merupakan zaman kebangkitan Islam, ekspedisi Napoleon di Mesir membuka mata dunia Islam terutama Turki dan Mesir akan kemunduran dan kelemahan umat Islam di samping kemajuan dan kekuatan Barat. Raja dan pemuka-pemuka Islam mulai berpikir dan mencari jalan untuk mengembalikan keseimbangan kekuatan yang telah pincang sejak abad pertengahan.[9]

Kemudian respons terhadap keadaan ini bermunculan, ada yang menjawab secara “apologetic” dengan mengatakan bahwa itu bukan kesalahan Islam tetapi kesalahan penganutnya yang tidak setia terhadap Islam. Sementara sebagian lain dengan jujur mengakui bahwa Barat memang telah berhasil mengembangkan ilmu pengetahuan  yang diadopsi dari umat Islam hingga perlu dipelajari langkah-langkah yang dijalankan Barat hingga mencapai kemajuan.[10]

Kelompok yang terakhir yang dikenal sebagai kelompok modernis Islam, kemudian melakukan gerakan pembaharuan dengan cara mentransmisikan dan mentransformasikan ilmu pengetahuan dan teknologi Barat ke dalam Islam. Para pembaharu ini pada umumnya sepakat bahwa pendidikan menjadi salah satu jalan, bahkan mungkin satu-satunya jalan yang sangat esensial bagi program pembaharuan. Untuk itulah banyak ditemui apakah dia seorang cendekiawan atau penguasa terjun langsung dalam dunia pendidikan praktis.

Dalam kontek ke-Indonesian pembaharuan pendidikan Islam menurut Karel A Steenbrink dilatarbelakangi oleh:

  1. Faktor keinginan untuk kembali pada Al-Qur’an dan Al-Hadits
  2. Faktor semangat nasionalisme dalam melawan penjajah
  3. Faktor memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya dan politik
  4. Faktor pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.[11]

Dari gambaran sejarah secara umum diketahui bahwa pembaharuan pendidikan di Indonesia abad 19 dan 20 dipengaruhi secara kuat oleh pemikiran dan usaha tokoh-tokoh pembaharu Timur Tengah pada akhir abad ke-19, khususnya Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh. Kedua tokoh ini merupakan tokoh sentral dalam menyalakan api pembaharuan pada akhir abad ke-19 di hampir seluruh dunia Islam. Pemikiran dan usaha mereka bertumpu pada keyakinan bahwa Islam adalah agama yang sangat mendorong penggunaan akal sehingga keharusan ijtihad tidak pernah tertutup. Meskipun sikap politik mereka secara tegas menunjukkan anti Barat karena praktek penjajahan yang dilakukannya terhadap Negara-negara Islam, Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh memberi dukungan kepada umat Islam untuk mempelajari ilmu pengetahuan yang lebih luas sebagaimana sudah dialami juga terlebih dahulu oleh sebagian besar Negara-negara Barat. Dalam hal inilah mereka menyerukan penataan sistem kelembagaan sosial, politik, ekonomi dan termasuk pendidikan.[12]

Gerakan Jamaluddin Al-Afgani dengan Pan Islamismenya mempunyai dua tujuan utama yaitu membangun dunia Islam di bawah satu pemerintahan dan mengusir penjajahan dunia Barat atas dunia Islam. Ia melihat diantara sebab kemunduran umat Islam adalah lemahnya persaudaraan antara sesama umat Islam. Oleh sebab itu harus dibangun solidaritas umat Islam sedunia (Pan Islamisme) sehingga umat Islam berada dalam pemerintahan yang demokratis. Dengan cara demikian umat Islam akan memperoleh kemerdekaannya kembali dan penjajah Barat atas dunia Islam dapat dienyahkan. Tentang dunia Nasrani, al-Afgani berpendapat, sekalipun mereka berlainan keturunan dan kebangsaan, namun mereka bersatu dalam menghadapi dunia Islam. Mereka sengaja menghalang-halangi kebangkitan umat Islam dan apa yang dikatakan nasionalisme dan patriotisme serta cinta tanah air bagi dunia Barat tetapi untuk dunia Islam mereka katakan sebagai fanatisme, ekstrimisme dan chauvinisme. Oleh sebab itu tidak ada jalan lain bagi umat Islam kecuali bersatu melawan penjajahan Barat Nasrani tersebut.

Sedangkan tujuan dari gerakan Muhammad Abduh adalah pemurnian amal perbuatan umat Islam berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits, pembaharuan dalam bidang pendidikan, perumusan kembali ajaran Islam menurut pikiran modern serta penolakan terhadap pengaruh Barat dan Nasrani. Muhammad Abduh menyerukan agar umat Islam kembali kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits serta kehidupan salaf al-soleh. Menurutnya Islam adalah ibadah dan muamalah. Dalam soal ibadah tidak perlu dilakukan ijtihad tetapi dalam soal muamalah diperlukan interpretasi baru sesuai dengan perubahan keadaan sekarang. Ilmu pengetahuan modern (Barat) berdasarkan sunnatullah (hukum alam), karenanya tidak bertentangan dengan Islam, untuk itu umat Islam perlu merombak sistem pendidikan baik metode maupun kurikulumnya.

Kebanyakan para pembaharu dan gerakan pembaharuan Islam di Indonesia dipengaruhi oleh salah satu dari dorongan-dorongan tersebut. Sepanjang penelitian yang telah dilakukan, tidak terdapat contoh sempurna dari para pembaharu maupun organisasi pembaharuan Islam di Indonesia yang menerima satu dorongan maupun empat dorongan. Oleh karena itu semua istilah modernis dan konservatif harus diterima dalam arti tertentu saja karena ada potensial kepentingan pribadi atau organisasi yang termasuk taqlid dalam bidang ibadah (konservatif) tetapi dalam bidang politik sangat progressif dan revolusioner.[13]

Salah satu yang menarik adalah perkumpulan Jamiat Kheir yang didirikan di Batavia pada tahun 1901 sebagai organisasi sosial yang membawa semangat tolong menolong. Jamiat Kheir dibentuk dengan tujuan utama mendirikan satu model sekolah modern untuk para pemuda Arab. Perkumpulan ini lebih menitikberatkan semangat pembaharuan melalui lembaga pendidikan modern, karena memang lebih memungkinkan bagi umat Islam untuk mengembangkan semangat yang lebih progresif, lagi pula pembaharuan melalui pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits adalah suatu hal yang tidak mungkin. Menurut Jamaluddin Al-Afgani, pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada Al-Qur’an dan Hadits dalam arti yang sebenarnya, tidaklah mungkin kalau ada pertentangan antara ajaran-ajaran Islam dengan kondisi yang dibawa perubahan zaman dan perubahan kondisi, penyesuaian dapat diperoleh dengan mengadakan interpretasi baru ajaran-ajaran Islam seperti tercantum dalam Al-Qur’an dan Hadits. Untuk interpretasi itu diperlukan ijtihad dan karenanya pintu ijtihad harus dibuka.

Jamiat Kheir merupakan lembaga pertama yang membuka jalan sebagai peletak dasar perubahan budaya baru dengan menerapkan sistem pendidikan Eropa modern, meskipun masih banyak pihak yang belum dapat menerima terjadinya perubahan dalam bidang pendidikan tersebut. Pada tahun 1880, Van Den Berg menulis bahwa sebagian besar masyarakat Arab kurang berminat terhadap pendidikan sistem Eropa dibandingkan dengan masyarakat Cina. Sebagai lembaga baru yang memperkenalkan metode pendidikan baru di kalangan masyarakat Arab pada abad 20, beberapa orang masih enggan menerima perkembangan itu seperti duduk di bangku atau belajar dari buku dan menggunakan papan tulis sebagaimana pada saat sebelumnya.

Simbol perkumpulan dengan gaya modern Eropa seperti seragam sekolah tidak diterima komunitas itu. Mereka keberatan dengan model seragam yang memakai jaket, celana panjang, kaos kaki dan sepatu seperti model tarbus. Meskipun demikian, masyarakat Arab secara berangsur-angsur menjadi lebih terbuka menerima institusi dan gagasan Eropa. Rinkes, penasehat Belanda untuk masyarakat pribumi dan Arab, mencatat perubahan tersebut sekitar tahun 1912 pada saat dimulainya era pergerakan.[14]

Antara tahun 1903 dan 1915, atas inisiatif Jamiat Kheir banyak sekolah Arab-Islam modern yang berdiri, hal ini belum pernah terjadi sebelumnya. Sekolah ini juga menarik banyak para siswa dari masyarakat pribumi dan mereka cenderung untuk masuk sekolah secara bergantian, hal ini terpaksa dilakukan karena keterbatasan pengajar dan tempat. Masyarakat pribumi memasukkan anaknya ke sekolah Arab modern dengan pertimbangan agar anak mereka mendapatkan pendidikan modern, sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian kalangan elite Arab. Pada awalnya, sebagian besar masyarakat Arab menentang inovasi bidang pendidikan. Meskipun demikian arus sekolah yang modern terus menekan yang lama kelamaan masyarakat dapat menerimanya dan akhirnya masyarakat Arab menyadari pentingnya institusi ini dalam memperkuat identitas dan posisi sosial ekonomi mereka.

Sistem pendidikan modern pada umumnya dilaksanakan oleh pemerintah, yang pada mulanya adalah dalam rangka memenuhi tenaga-tenaga ahli untuk kepentingan pemerintah dengan menggunakan kurikulum dan mengembangkan ilmu-ilmu pengetahuan modern. Sedangkan sistem pendidikan tradisional yang merupakan sisa-sisa dan pengembangan sistem zawiyah, ribat atau pondok pesantren yang telah ada di kalangan masyarakat pada umumnya tetap mempertahankan kurikulum tradisional yang hanya memberikan pendidikan dan pengajaran keagamaan. Dualisme sistem dan pola pendidikan inilah yang selanjutnya mewarnai pendidikan Islam di semua negara dan masyarakat Islam di zaman modern. Dualisme ini pula yang merupakan problema pokok yang dihadapi oleh usaha pembaharuan pendidikan Islam.

Jamiat Kheir sebagai lembaga pendidikan modern pertama mempelopori keterpaduan antara kedua sistem tersebut, dengan cara memasukkan kurikulum ilmu pengetahuan modern ke dalam sistem pendidikan tradisional, dan memasukkan pendidikan agama ke dalam kurikulum sekolah-sekolah modern. Selanjutnya perkumpulan ini menjadi contoh bagi sekolah-sekolah yang didirikan oleh organisasi-organisasi Islam lain, sehingga sistem pendidikan tradisional akan berkembang secara berangsur-angsur mengarah ke sistem pendidikan modern.

Dan inilah sebenarnya yang dikehendaki oleh para pemikir pembaharuan pendidikan Islam, yang berorientasi pada ajaran Islam yang murni, sebagaimana dipelopori oleh al-Afgani, Muhammad Abduh, dan lain-lain. Sampai sekarang proses pemaduan antara kedua sistem dan pola pendidikan Islam ini, tampak masih berlangsung di kalangan masyarakat Islam Indonesia.

Jamiat Kheir membangun sekolah bukan semata-mata bersifat agama tapi sekolah dasar biasa dengan kurikulum agama, berhitung, sejarah, ilmu bumi dan bahasa pengatar Melayu. Bahasa Inggris merupakan pelajaran wajib, pengganti bahasa Belanda. Sedangkan pelajaran bahasa Arab sangat ditekankan sebagai alat untuk memahami sumber-sumber Islam.[15]

Dilihat dari pelaksanaan program pendidikannya, Jamiat Kheir telah melakukan beberapa langkah pembaharuan dalam bidang pendidikan Islam. Pertama, pembaharuan dalam bidang organisasi dan kelembagaan. Hal ini tampak pada perlunya dan semacam organisasi dalam menyelenggarakan pendidikan. Kelengkapan itu semakin jelas ketika terbentuknya yayasan pendidikan Jamiat Kheir, yang sekaligus mengesahkan sistem pengajaran klasikal seperti bangku, papan tulis dan tentunya ruang belajar yang menyamai kelengkapan sarana sekolah-sekolah pemerintah ketika itu.

Kedua, pembaharuan dalam aspek kurikulum dan metode mengajar. Saat-saat institusi pendidikan Islam masih menerapkan sistem pengajaran pesantren dan surau, Jamiat Kheir mulai melangkah ke sistem pengajaran klasikal (sekolah). Kurikulum yang digunakan merupakan perpaduan antara kurikulum sekolah pemerintah (mata pelajaran umum) dan kurikulum agama (mata pelajaran agama). Langkah-langkah pembaharuan pendidikan yang seperti itu pulalah pada hakikatnya yang dicetuskan oleh Muhammad Abduh di Mesir sebelumnya.

Pada umumnya dapat dianalisa bahwa pembaharuan pendidikan Islam setelah munculnya usaha-usaha dari tokoh-tokoh pembaharuan Islam. Pelopor pembaharuan tersebut yaitu:

Syekh Muhammad Abduh

Muhammad Abduh lahir di desa Mahillah di Mesir Hilir, ibu bapaknya adalah orang biasa yang tidak mementingkan tanggal dan tempat lahir anak-anaknya. Ia lahir pada tahun 1849, tetapi ada yang mengatakan bahwa ia lahir sebelum tahun itu, tetapi sekitar tahun 1845 dan beliau wafat pada tahun 1905. Ayahnya bernama Abduh ibn Hasan Khairillah, silsilah keturunan dengan bangsa Turki dan ibunya mempunyai keturunan dengan Umar bin Khatab, khalifah kedua (khulafaurrasyidin).[16]

Orang tuanya sangat memperhatikan terhadap pendidikannya, pada tahun1862 ia dikirim oleh ayahnya ke perguruan agama di mesjid Ahmadi yang terletak di desa Tanta. Hanya dalam waktu enam bulan ia berhenti karena tidak mengerti apa yang diajarkan gurunya. Setelah belajar di Tanta pada tahun 1866 ia meneruskan ke perguruan tinggi di Al-Azhar di Kairo, disinilah ia bertemu dengan Jamaludin Al-Afghani dan kemudian ia belajar filsafat di bawah bimbingan Afghani, di masa inilah ia mulai membuat karangan untuk harian Al-Ahram yang pada saat itu baru didirikan. Pada tahun 1877 studinya selesai di Al-Azhar dengan hasil yang sangat baik dan mendapat gelar Alim. Kemudian ia diangkat menjadi dosen Al-Azhar disamping itu ia mengajar di Universitas Darul Ulum.

Pokok-pokok pikiran Muhammad Abduh dapat disimpulkan dalam empat aspek, yaitu:[17]

Pertama, aspek kebebasan, antara lain dalam usaha memperjuangkan cita-cita pembaharuannya, Muhammad Abduh memperkecil ruang lingkupnya, yaitu Nasionalisme Arab saja dan menitikberatkan pada pendidikan. Kedua, aspek kemasyarakatan, antara lain usaha-usaha pendidikan perlu diarahkan untuk mencintai dirinya, masyarakat dan negaranya. Dasar-dasar pendidikan seperti itu akan membawa kepada seseorang untuk mengetahui siapa dia dan siapa yang menyertainya. Ketiga, aspek keagamaan, dalam masalah ini Muhammad Abduh tidak menghendaki adanya taqlid, guna memenuhi tuntutan ini pintu ijtihad selalu terbuka. Dalam artian umum ijtihad adalah upaya intelektual yang sungguh-sungguh untuk mencapai satu pandangan tertentu tentang agama.[18] Keempat, aspek pendidikan antara lain, Al-Azhar mendapatkan perhatian perbaikan, demikian juga bahasa Arab dan pendidikan pada umumnya cukup mendapat perhatiannya.

Menurut Muhammad Abduh bahasa Arab perlu dihidupkan dan untuk itu metodenya perlu diperbaiki dan ini ada kaitannya dengan metode pendidikan. System menghafal di luar kepala perlu diganti dengan sistem penguasaan dan penghayatan materi yang dipelajari.

Pembaharuan Rasyid Ridha

Rasyid Ridha adalah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di Al-Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jauh dari kota Tripoli (Suria). Ia berasal dari keturunan Al-Husain, cucu Nabi Muhammad SAW. Oleh karena itu ia memakai gelar Al-sayyid depan namanya. Semasa kecil ia dimasukkan ke madrasah tradisional di Al-Qalamun untuk belajar menulis, berhitung dan membaca Al-Qur’an di tahun 1882, ia melanjutkan pelajaran di Al-Madrasah Al-Wataniah Al-Islamiah (Sekolah Nasional Islam) di Tripoli.[19]

Di Madrasah ini, selain bahasa Arab diajarkan pula bahasa Turki dan Prancis dan disamping pengetahuan-pengetahuan agama juga pengetahuan-pengetahuan modern. Sekolah ini didirikan oleh Al-Syaikh Husain Al-Jisr, seorang ulama Islam yang telah dipengaruhi oleh ide-ide modern, tetapi umur sekolah tersebut tidak panjang. Kemudian Rasyid Ridha meneruskan pelajarannya di salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli.

Pada dasarnya pokok pikiran Rasyid Ridha tidak jauh berbeda dengan gurunya, terutama dalam titik tolak pembaharuannya yang berpangkal dari segi keagamaan, tuntutan adanya kemurnian ajaran Islam, baik dari segi akidahnya maupun dari segi amaliyahnya. Menurut pendapat dari Rasyid Ridha ummat Islam mundur karena tidak lagi menganut ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya dan perbuatan mereka telah menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Disamping itu sebab-sebab yang membawa kemunduran ummat Islam karena faham fatalisme, ajaran-ajaran tariqad atau tasawuf yang menyeleweng semua itu membawa kemunduran ummat Islam menjadi keterbelakangan dan menjadikan ummat tidak dinamis.

Dalam hubungannya dengan akal pikiran, Rasyid ridha berpendapat bahwa derajat akal itu lebih tinggi akan tetapi hanya dapat dipergunakan dalam masalah kemasyarakatan saja, tidak dapat dipergunakan dalam masalah ibadah. Keistimewaan akal tergantung pada keistimewaan instrinsik ilmu, artinya oleh karena ilmu itu secara instrinsik adalah sesuatu yang istimewa, maka segala sesuatu yang memfasilitasi  pengembangan ilmu adalah juga istimewa.[20] Diantara aktivis beliau dalam bidang pendidikan antara lain membentuk lembaga yang dinamakan dengan “al-dakwah wal irsyad” pada tahun 1912 di Kairo.

Para lulusan dari sekolah ini akan dikirim ke negeri mana saja yang membutuhkan bantuan mereka. Kemudian melalui majalah Al-Manar ia menjelaskan bahwa Inggris dan Prancis yang berusaha membagi-bagi daerah Arab ke dalam kekuasaannya masing-masing. Bentuk pemerintahan yang dikehendaki oleh Rasyid Ridha adalah bentuk kekhalifahan yang tidak absolute, khalifah hanya bersifat koordinator, tidaklah mungkin menyatukan ummat Islam ke dalam satu system pemerintahan yang tunggal karena khalifah hanya menciptakan hukum perundang-undangan dan menjaga pelaksanaannya.

Rasyid Ridha menyadari pertentangan yang makin ada diantara nasionalisme dan kesetiaan kepada persatuan Islam. Menurutnya paham nasionalisme bertentangan dengan paham ummat Islam karena persatuan dalam Islam tidak mengenal perbedaan bangsa dan bahasa. Meskipun Rasid Ridha berguru pada Muhammad Abduh tetapi dalam hal pembaharuan mereka memiliki perbedaan. Muhammad Abduh lebih luas pergaulannya,disamping itu penguasaan bahasa asing lebih menguasai dibanding Rasyid Ridha.

Perbedaan antara guru dan murid tersebut sangat terlihat, misalnya dalam hal paham-paham teologi dan juga dalam Tafsir Al-Manar, ketika murid memberi komentar terhadap uraian guru. Sedangkan dalam masalah teologi, Muhammad Abduh menafsirkan ayat-ayat Mutajassimah secara filosofis rasional, sedangkan Rasyid Ridha menafsirkan apa adanya ia tidak mentakwil.[21]

Rasyid Ridha sebagai ulama yang selalu menambah ilmu pengetahuan dan selalu berjuang selama hayatnya, ia meninggal pada tanggal 23 Jumadil Ula 1354/ 22 Agustus 1935, ia meninggal dunia dengan aman sambil memegang Al-Qur’an ditangannya.

Aspek-Aspek Pembaharuan

Ada tiga aspek atau sudut pandang dalam pembaharuan pendidikan Islam diantaranya:

  1. Antropasentris atau golongan pendidikan berorientasi pada pendidikan di Barat. Bahwa mereka berpandangan bahwa sumber pada kekuatan dan kesejahteraan hidup yang dialami Barat adalah hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang mereka capai.  Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dicapai oleh bangsa Barat sekarang tidak lain adalah merupakan pengembangan dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang pernah berkembang di dunia Islam. Atas dasar demikian, maka untuk mengembalikan kekuatan dan kejayaan umtat Islam, sumber kekuatan dan kesejahteraan tersebut harus dikuasai kembali.

Penguasaan tersebut, harus dicapai melalui proses pendidikan untuk itu harus meniru pola pendidikan yang berkembang oleh dunia Barat, sebagaimana dulu dunia Barat pernah meniru dan mengembangkan sistem pendidikan pendidikan dunia Islam. Dalam hal ini usaha pembaharuan pendidikan Islam adalah dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah dengan pola sekolah Barat, baik sistem maupun isi pendidikan.

  1. Teosentris atau berorientasi pada sistem ajaran Islam yang murni. Pendapat bahwa Islam sendiri merupakan sumber bagi kemajuan dan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan modern. Islam sendiri sudah penuh dengan ajaran-ajaran dan pada hakikatnya mengandung potensi untuk membawa kemajuan dan kesejahteraan serta kekuatan bagi umat manusia. Dalam hal ini Islam telah membuktikan pada masa-masa kejayaannya.
  2. Teo-antrosentris atau yang berorientasi pada Nasionalisme. Rasa Nasionalisme muncul bersamaan dengan perkembangan pola kehidupan modern dan mulai dari Barat. Bangsa-bangsa Barat mengalami rasa kemajuan nasionalisme yang kemudian menimbulkan kekuatan-kekuatan politik yang berdiri sendiri.

Disamping itu, adanya keyakinan dikalangan pemikir-pemikir pembaharuan dikalangan umat Islam, bahwa pada hakikatnya ajaran Islam bisa diterapkan dan sesuai dengan segala zaman dan tempat. Golongan nasionalis ini berusaha untuk memperbaiki umat Islam dengan memperhatikan situasi dan kondisi obyektif umat Islam yang bersangkutan. Dalam usaha tersebut bukan mengambil budaya Barat sudah maju, tetapi juga mengambil unsur-unsur yang berasal dari nenek moyang warisan bangsa yang bersangkutan.[22]

Pola-Pola Pembaharuan Pendidikan dalam Islam

Dengan memperhatikan gambaran di atas diketahui berbagai macam penyebab lemah dan mundurnya umat Islam dan dengan memperhatikan sebab-sebab kemajuan dan kekuatan yang dialami oleh bangsa-bangsa Eropa maka pada garis besarnya terjadi tiga pola pemikiran pembaharuan pendidikan Islam yaitu:

Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pola pendidikan modern

Golongan yang berorientasi pada pola pendidikan modern di Barat, pada dasarnya mereka berpandangan bahwa sumber kekuatan dan kesejahteraan hidup yang di alami oleh Barat adalah sebagai hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang mereka capai. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dicapai oleh bangsa-bangsa Barat sekarang tidak lain adalah merupakan pengembangan dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang pernah berkembang di dunia Islam. Atas dasar demikian maka untuk mengembalikan kekuatan dan kejayaan umat Islam, sumber kekuatan dan kesejahteraan tersebut harus dikuasai kembali.

Dalam hal ini usaha pembaharuan pendidikan Islam adalah dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah dengan pola sekolah Barat, baik sistem maupun isi pendidikannya. Di samping itu pengiriman pelajar-pelajar ke dunia Barat terutama ke Prancis untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern tersebut banyak dilakukan oleh penguasa-penguasa di berbagai negeri Islam.[23]

Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada sumber Islam yang murni

Pola ini berpandangan bahwa sesungguhnya Islam sendiri merupakan sumber bagi kemajuan dan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan modern. Islam sendiri sudah penuh dengan ajaran-ajaran dan pada hakekatnya mengandung potensi untuk membawa kemajuan dan kesejahteraan serta kekuatan bagi umat manusia. Dalam hal ini Islam telah membuktikannya pada masa-masa kejayaannya.[24]

Menurut analisa mereka diantara sebab-sebab kelemahan umat Islam adalah karena mereka tidak lagi melaksanakan ajaran agama Islam secara semestinya. Ajaran-ajaran Islam yang menjadi sumber kemajuan dan kekuatan ditinggalkan dan menerima ajaran-ajaran Islam yang tidak murni lagi. Hal tersebut terjadi setelah mandeknya perkembangan filsafat Islam, ditinggalkannya pola pemikiran rasional dan kehidupan umat Islam telah di warnai oleh pola kehidupan yang bersifat pasif. Di samping itu dengan mandeknya perkembangan fiqih yang di tandai penutupan pintu ijtihad, umat Islam telah kekurangan daya untuk mengatasi problematika hidup yang menantangnya sebagai akibat dari perubahan dan perkembangan zaman.

Pola pembaharuan ini di rintis oleh Mohammad bin Abd Al-Wahab, kemudian dicanangkan kembali oleh Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Menurut Jamaludin al-Afghani, pemurnian ajaran agama Islam dengan kembali ke Al-Qur’an dan Al-Hadits dalam arti yang sebenarnya tidaklah mungkin. Ia berkeyakinan bahwa Islam adalah sesuai dengan semua bangsa, semua zaman dan semua keadaan.

Menurut Muhammad Abduh, bahwa pengetahuan modern dan Islam adalah sejalan dan sesuai karena dasar ilmu pengetahuan modern adalah sunatullah sedangkan dasar Islam adalah Wahyu Allah Swt. Kedua-duanya berasal dari Allah Swt. Oleh karena itu umat Islam harus menguasai keduanya.[25]

Usaha pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada nasionalisme

Rasa nasionalisme timbul bersamaan dengan berkembangnya pola kehidupan modern dan mulai dari Barat. Bangsa-bangsa Barat mengalami kemajuan rasa nasionalisme yang kemudian menimbulkan kekuatan-kekuatan politik yang berdiri sendiri. Keadaan tersebut mendorong pada umumnya bangsa-bangsa Timur dan bangsa terjajah lainnya untuk mengembangkan nasionalisme masing–masing. Umat Islam mendapati kenyataan bahwa mereka terdiri dari berbagai bangsa yang berbeda latar belakang dan sejarah perkembangan kebudayaannya. Mereka pun hidup bersama dengan orang-orang yang beragama lain tapi sebangsa. Inilah yang juga mendorong perkembangannya rasa nasionalisme di dunia Islam.

Disamping itu,adanya keyakinan dikalangan pemikir-pemikir pembaharuan dikalangan umat Islam bahwa pada hakikatnya ajaran Islam bisa diterapkan dan sesuai dengan segala zaman dan tempat. Oleh karena itu ide pembaharuan yang berorientasi pada nasionalisme ini pun bersesuaian dengan ajaran Islam.

Ide kebangsaan atau nasionalisme inilah yang pada tahap perkembangan berikutnya mendorong timbulnya usaha-usaha merebut kemerdekaan dan mendirikan pemerintahan sendiri di kalangan bangsa-bangsa pemeluk Islam. Dalam bidang pendidikan umat Islam yang telah membentuk pemerintahan nasional tersebut mengembangkan sistem dan pola pendidikan nasionalnya sendiri-sendiri.[26]

[1] Mujamil Qomar, Epistemologi Pendidikan Islam dari Metode Rasional hingga Metode Kritik, (Jakarta: Erlangga 2005), hal. 233.

[2] Mujamil Qomar,  Epistemologi Pendidikan…, hal. 115.

[3] Peter Salim dan Yenni, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, 1991), hal. 376.

[4] Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Raja Grafindo  Persada, 2008), hal. 72.

[5] Hasan Asari, Menyingkap Zaman Keemasan Islam, Kajian Lembaga-lembaga Pendidikan, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2013) cet. 3, hal. 6

[6] Hasan Asari, Menyingkap Zaman…,hal. 44

[7] Rahman. F.  Islam dan Modernisme : Tentang Transformasi Intelektual. (Bandung:  Pustaka, 1985) hal. 63.

[8] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan. (Jakarta: Bulan Bintang, 2006), hal. 32.

[9] Harun Nasution, Pembaharuan dalam…., hal. 54.

[10] Jhon Esposito L, Dinamika Kebangkitan Islam Watak Proses dan Tantangan, (Jakarta: Rajawali, 1987), hal. 76

[11] Karel A. Steenbrink, Pesantren Madrasah Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta: LP3ES, 1994), hal. 26.

[12] Muhammad Mahsyur Amin, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Indonesian Spirit Fondation, 2004), hal. 155.

[13] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900 – 1942, (Jakarta: LP3ES, 1996), hal. 71.

[14] Muhammad Mahsyur Amin, Sejarah Peradaban…, hal. 176.

[15] Muhammad Mahsyur Amin, Sejarah Peradaban…, hal. 177-178.

[16] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, (Jakarta : Logos, 1997), hal. 154.

[17] M. Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta : Raja  Grafindo Persada, 1988), hal. 69.

[18] Hasan Asari, Menguak Sejarah Mencari ‘Ibrah, Risalah Sejarah Sosial-Intelektual Muslim Klasik, (Bandung: Citapustaka Media Perintis, 2013), hal. 149

[19] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan …., hal. 162.

[20] Hasan Asari, Nukilan Pemikiran Islam Klasik, Gagasan Pendidikan Abu Hamid Al-Ghazali, (Medan: IAIN PRESS, 2012), hal. 84

[21] Harun Nasution, Pembaharuan dalam… hal. 71-72

[22] Zuhairini Dkk, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksra, 2010), hal. 117-118.

[23] Zuhairini Dkk, Sejarah Pendidikan…, hal. 116-120.

[24] Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hal. 246-247.

[25] Widda Djuhan, Sejarah Pendidikan Islam Klasik, (Ponorogo: LPPI STAIN, 2010), hal.  69-70.

[26] Zuhairini Dkk, Sejarah Pendidikan….,hal. 122-123

Baca Juga: