Menu Tutup

Pengertian Ijarah, Dasar Hukum, Rukun dan Syarat-Syaratnya, Pembayaran Upah dan Sewa, Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah, Pengembalian Sewaan

A. Pengertian Ijarah

Secara sederhana, ijarah diartikan sebagai transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu. Dalam Bahasa Arab ijarah berasal dari kata أَجَرَ, yang memiliki sinonim dengan: أَكْرَي yang artinya: menyewakan, seperti dalam kalimah أَجْرَالشَّىء (menyewakan sesuatu).
Ali Fikri mengartikan ijarah menurut bahasa dengan: الكَرَاءُأَوْبَيْعُ المَنْفَعَةِ yang artinya: sewa-menyewa atau jual beli manfaat. Bila yang menjadi objek adalah transaksi manfaat atau jasa dari suatu benda, disebut ijarah al-‘ain atau sewa menyewa.

Seperti menyewa rumah untuk ditempati. Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari tenaga seseorang, disebut ijarah al-zimmah atau upah mengupah, seperti upah menjahit pakaian.

Pendapat yang sama juga juga disampaikan oleh Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh Syafi’i, bahwa ijarah berarti upah-mengupah. Sedangkan Sayyid Sabiq dalam Fiqh Sunnahnya, menjelaskan makna ijarah dengan sewa-menyewa. Ijarah baik dalam bentuk sewa menyewa maupun dalam bentuk upah mengupah itu merupakan muamalah yang telah disyari’atkan dalam Islam.

Dalam pengertian istilah, para ulama berbeda pendapat akan hal ini:
a. Ulama Hanafiyah
Ijarah adalah akad atas manfaat dengan imbalan berupa harta.
b. Ulama Malikiyah
Ijarah adalah suatu akad yang memberikan hak milik atas manfaat suatu barang yang mubah untuk masa tertentu dengan imbalan yang bukan berasal dari manfaat.
c. Ulama Syafi’iyah
Definisi akad ijarah adalah suatu akad akan manfaat yang dimaksud dan tertentu yang bisa diberikan dan dibolehkan dengan imbalan tertentu.
d. Ulama Hanabilah
Ijarah adalah suatu akad atas manfaat yang bisa sah dengan lafal ijarah dan kara’ dan semacamnya.

B. Dasar Hukum Ijarah

Hukum asal ijarah adalah mubah atau boleh, yaitu apabila dilakukan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Islam. Berikut adalah beberapa dasar hukum yang membolehkan ijarah berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis Nabi.

1. QS. Ath-Thalaq ayat 6:
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَئاَتُوْهُنَّ أُجُورَهُنَّ

Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu maka berikanlah kepada mereka upahnya.

2. QS. Al-Qashash ayat 26 dan 27:
قَالَتْ إِحْدَاهُمَايَأَبَتِ اسْتَئْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَمَنِسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الْأَمِيْنُ (26) قَالَ إنِّيْ أُرِيْدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَىَّ هَا تَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِى ثَمَانِيَ حِجَجِ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيْدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِىْ إِنْشَاءَاللّهُ مِنَ الصَّالِحِيْنَ (27)

Salah seorang di antara kedua anak perempuan itu berkata: “Hai bapakku upahlah dia, sesungguhnya orang yang engkau upah itu adalah kuat dan terpercaya”. Si bapak ber-kata: “Saya bermaksud menikahkan engkau dengan salah seorang anak perempuanku dengan ketentuan kamu menjadi orang upahan saya selama delapan musim haji”.

3. Hadis Ibnu Abbas:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُمَا قَالَ: اِحْتَجَمَ النَّبِيُّ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَعْطَى الْحُجَّامَ أَجْرَهُ
Dari Ibnu Abbas r.a. Nabi saw. Berbekam dan beliau memberikan kepada tukang bekam itu upahnya. (HR. Al-Bukhari)

4. Hadis Ibnu ‘Umar
وَعَنِ ابْنِ عُمَرَرَضِيَ اللّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَعْطُوْاأَلْأَجِيْرَأَجْرَهُ قَبْلَ أَن يَجِفَّ عَرَقُهُ.Dari Ibnu ‘Umar r.a. ia berkata: Rasulullah saw. Bersabda: berikanlah kepada tenaga kerja itu upahnya sebelum keringatnya kering. (HR. Ibnu Majah).

Dari ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis tersebut sudah jelas bahwa akad ijarah diperbolehkan dalam Islam, karena hal seperti ini juga dibutuhkan dalam masyarakat.

Tujuan disyariatkannya ijarah adalah untuk memberikan keringanan kepada umat dalam pergaulan hidup. Seseorang mempunyai uang tetapi tidak dapat bekerja, dan di lain pihak ada yang mempunyai tenaga dan membutuhkan uang. Dengan adanya ijarah keduanya saling mendapat keuntungan.

C. Rukun Ijarah dan Syarat-Syaratnya

Transaksi Ijarah dalam kedua bentuknya akan sah apabila terpenuhi rukun dan syaratnya. Berikut adalah rukun-rukun dan syarat ijarah:

1. Mu’jir dan musta’jir, yaitu orang yang melakukan akad sewa-menyewa atau upah-mengupah. Mu’jir adalah yang memberikan upah dan yang menyewakan, musta’jir adalah orang yang orang yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu. Syarat bagi keduanya ialah baligh, berakal, cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta), dan saling meridhai.
Allah Swt. berfirman:

يَأيهاالذيْنَ أمنوْالاتَأْكُلُوْاأَمْوالكُمْ بَيْنَكُم بالباطل إلاأن تَكوْنَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ
منكمْ (النساء:29)

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan bathil, kecuali dengan perniagaan secara suka sama suka. (An-Nisa’: 29)

Bagi orang yang berakad ijarah juga disyaratkan mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan.

2. Shighat ijab kabul antara mu’jir dan musta’jir, ijab Kabul sewa-menyewa dan upah-mengupah, ijab Kabul sewa-menyewa misalnya: “Aku sewakan mobil ini kepadamu setiap hari Rp. 5.000,00”, maka musta’jir menjawab “Aku menerima sewa mobil tersebut dengan dengan harga demikian setiap hari”. Ijab Kabul upah-mengupah misalnya seseorang berkata, “Kuserahkan kebun ini kepadamu untuk dicangkuli dengan upah setiap hari Rp. 5.000,00”, kemudian musta’jir menjawab “Aku akan kerjakan pekerjaan itu sesuai dengan apa yang engkau ucapkan”.

3. Ujrah, disyaratkan diketahui jumlahnya oleh kedua belah pihak, baik dalam sewa-menyewa maupun dalam upah-mengupah.

4. Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah-mengupah, disyaratkan pada barang yang disewakan dengan beberapa syarat berikut ini.
• Hendaklah barang yang menjadi objek akad sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat dimanfaatkan kegunaannya.
• Hendaklah barang yang menjadi objek sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat iserahkan kepada penyewa dan pekerja berikut kegunaannya (khusus dalam sewa-menyewa).
• Manfaat dari benda yang disewa adalah perkara yang mubah (boleh) menurut Syara’ bukan hal yang dilarang (diharamkan).
• Benda yang disewakan disyaratkan kekal ‘ain (zat)-nya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad.

D. Pembayaran Upah dan Sewa

Menurut Imam Syafi’i dan Ahmad, jika mu’jir menyerahkan zat benda yang disewa kepada musta’jir, ia berhak menerima bayarannya, karena penyewa (musta’jir) sudah menerima kegunaan.

Hak menerima upah bagi musta’jir adalah sebagai berikut:
• Ketika pekerjaan selesai dikerjakan, beralasan kepada hadis Rasulullah yang diriwayatka oleh Ibnu Majah dengan arti sebagai berikut: “Berikanlah upah sebelum keringat pekerja itu kering”.
• Jika menyewa barang, uang sewaan dibayar ketika akad sewa, kecuali bila dalam akad ditentukan lain, manfaat barang yang di-ijarah-kan mengalir selama penyewaan berlangsung.

E. Menyewakan Barang Sewaan

Musta’jir dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan kepada orang lain, dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad. Seperti penyewaan seekor kerbau, ketika akad dinyatakan bahwa kerbau itu disewa untuk membajak di sawah, kemudian kerbau tersebut disewakan lagi dan timbul musta’jir kedua, maka kerbau itu pun harus digunakan untuk membajak pula. Harga penyewaan yang kedua ini bebas, boleh lebih besar, lebih kecil, atau seimbang.

Bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (mu’jir), dengan syarat kerusakan itu bukan akibat dari kelalaian musta’jir.

F. Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah

Ijarah akan menjadi batal (fasakh) bila terdapat hal-hal sebagai berikut:
1. Terjadinya cacat pada barang sewaan yang terjadi pada tangan penyewa,
2. Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan sebagainya.
3. Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan untuk dijahitkan.
4. Terpenuhinya manfaat yang diadakan, berakhirnya masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.
5. Menurut Hanafiyah, boleh fasakh ijarah dari salah satu pihak seperti yang menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka ia dibolehkan mem-fasakh-kan sewaan itu.

G. Pengembalian Sewaan

Jika ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan. Jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya, dan jika bentuk barang sewaan adalah benda tetap atau (‘iqar), ia wajib menyerahkan kembali dalam keadaan kosong, jika barang sewaan itu tanah, ia wajib menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong dari tanaman, kecuali bila ada kesulitan untuk menghilangkannya.
Mazhab Hanbali berpendapat, bahwa ketika ijarah telah berakhir, penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang titipan.

DAFTAR PUSTAKA

  • Muslich, Ahmad Wardi. 2010. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah.
  • Syarifuddin, Amir. 2003. Garis-Garis Besar Fiqh. Bogor: Prenada Media.
  • Suhendi, Hendi. 2002. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
  • Sahrani, Sohari., Ru’fah Abdullah. 2011. FIKIH MUAMALAH. Bogor: agahalia Indonesia.
  • Pasaribu, Chairuman., Suhrawardi K. Lubis. 1996. Hukum Perjanjian dalam Islam. Jakarta: Sinar Grafika.

Baca Juga: