Menu Tutup

Syirkah: Pengertian, Landasan Hukum, Prinsip, Rukun dan Syarat, Macam-Macam dan Berakhirnya Akad Syirkah

Syirkah: Pengertian, Landasan Hukum, Prinsip, Rukun dan Syarat, Macam-Macam dan Berakhirnya Akad Syirkah

Syirkah merupakan salah satu konsep penting dalam ekonomi Islam yang merujuk pada persekutuan atau kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk memperoleh keuntungan bersama.

Konsep ini tidak hanya berlaku dalam transaksi bisnis, tetapi juga memiliki dasar hukum yang kuat dalam fiqih Islam.

Dalam artikel ini, kita akan membahas secara mendalam tentang syirkah, mulai dari pengertian dasar hingga berbagai aspek yang melingkupinya.

Pembahasan mencakup landasan hukum yang mengatur syirkah, prinsip-prinsip utama yang harus dipahami oleh para pihak yang terlibat, serta rukun dan syarat yang diperlukan agar akad syirkah sah dan efektif.

Selain itu, kita juga akan mengulas berbagai macam jenis syirkah yang ada, seperti syirkah amlak dan syirkah uqud, serta kondisi-kondisi yang menyebabkan berakhirnya akad syirkah.

Dengan pemahaman yang jelas tentang syirkah, diharapkan pembaca dapat lebih bijak dalam menjalankan persekutuan atau investasi berbasis syariah ini.

A. Pengertian Syirkah (Musyarakah)

Syirkah dalam bahasa Arab berasal dari kata “الشركة” (ash-Shirkah), yang artinya adalah persekutuan atau kerjasama antara dua orang atau lebih dalam suatu usaha. Dalam bahasa Arab, istilah الاختلاط (al-ikhtilath) juga digunakan untuk menggambarkan makna campuran, yang merujuk pada tindakan mencampurkan sesuatu sehingga tidak mungkin dibedakan. Dalam konteks ini, syirkah berarti dua pihak yang mencampurkan harta mereka dalam suatu usaha yang sama, meskipun dalam praktiknya, percampuran tersebut tidak selalu terjadi secara fisik.

Secara umum, syirkah atau musyarakah merujuk pada kerjasama atau persekutuan dalam berbagai bentuk, baik dalam hal harta, kerja, atau usaha tertentu. Pengertian ini berbeda-beda menurut para ulama, tergantung pada mazhab dan perspektif yang mereka anut.

Pendapat Ulama tentang Syirkah

1. Ulama Malikiyah

Menurut ulama Malikiyah, syirkah berarti pemberian izin kepada dua mitra kerja untuk mengelola harta (modal) bersama. Dalam pengertian ini, masing-masing pihak memberikan izin kepada mitra lainnya untuk mengatur harta mereka tanpa adanya perbedaan hak kepemilikan yang mencolok. Sebagai contoh, dalam suatu usaha bersama, kedua belah pihak memiliki hak yang sama dalam mengelola harta yang ada, meskipun mereka mungkin tidak mencampur hartanya secara fisik.

2. Ulama Hanabilah

Ulama Hanabilah mendefinisikan syirkah sebagai persekutuan hak atau pengaturan harta. Dalam perspektif ini, kedua pihak memiliki hak yang setara dalam mengelola usaha atau harta bersama. Konsep ini lebih menekankan pada pembagian hak-hak yang jelas antara para mitra dalam transaksi syirkah.

3. Ulama Syafi’iyah

Menurut ulama Syafi’iyah, syirkah adalah tetapnya hak kepemilikan antara dua orang atau lebih, sehingga tidak ada pembeda antara hak pihak yang satu dengan hak pihak lainnya. Semua mitra dalam syirkah memiliki hak yang sama, dan hak tersebut tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Ini menunjukkan tingkat kesetaraan yang tinggi dalam pengelolaan dan pembagian keuntungan maupun kerugian.

4. Ulama Hanafiyah

Bagi ulama Hanafiyah, syirkah adalah transaksi antara dua orang atau lebih yang bersekutu dalam modal dan keuntungan. Dalam hal ini, keuntungan dan kerugian dibagi sesuai dengan kesepakatan yang dibuat sebelumnya. Syirkah dalam pandangan Hanafiyah lebih mengarah pada pengaturan pembagian keuntungan dan kerugian secara proporsional antara para mitra usaha.

Pandangan Sayyid Sabiq tentang Syirkah

Sayyid Sabiq, dalam bukunya Fiqh Sunnah, menyebut bahwa musyarakah atau syirkah adalah bentuk kerjasama atau persekutuan antara dua pihak atau lebih dalam sebuah usaha. Ia menyamakan konsep syirkah dengan istilah koperasi dalam dunia ekonomi modern, yang menunjukkan adanya suatu kerjasama antara anggota untuk mencapai tujuan ekonomi bersama. Dalam konteks ini, keuntungan dan kerugian dibagi sesuai dengan kontribusi masing-masing pihak dalam usaha tersebut.

Pandangan Dewan Syariah Nasional tentang Musyarakah

Dewan Syariah Nasional (DSN) mengartikan musyarakah sebagai pembiayaan berdasarkan akad kerjasama antara dua pihak atau lebih dalam suatu usaha tertentu. Setiap pihak memberikan kontribusi dana yang diharapkan dapat menghasilkan keuntungan bersama. Dalam musyarakah, keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam konteks ekonomi syariah, musyarakah sering diterapkan dalam pembiayaan perbankan syariah, di mana bank dan nasabah berbagi risiko dan hasil usaha.

Definisi Musyarakah Menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaili

Dr. Wahbah Az-Zuhaili, dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, menyatakan bahwa musyarakah adalah akad kerjasama antara dua atau lebih pihak untuk menjalankan suatu usaha tertentu. Masing-masing pihak memberikan kontribusi dana dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan risiko akan ditanggung bersama. Dalam pandangannya, musyarakah mengandung unsur tawā’ud (kesepakatan) antara pihak-pihak yang terlibat, yang meliputi pembagian keuntungan dan kerugian secara adil sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat sebelumnya.

B. Landasan Hukum Syirkah dalam Islam

Dalam pandangan Islam, hukum syirkah (perkongsian atau kerjasama) pada dasarnya adalah mubah (boleh), karena termasuk dalam kategori muamalah—yakni urusan duniawi yang berkaitan dengan interaksi antar manusia dalam hal transaksi ekonomi, sosial, dan budaya. Syirkah mengajarkan pentingnya kerjasama dan saling membantu antara dua pihak atau lebih dalam berbagai bentuk usaha. Namun, syirkah hanya diperbolehkan selama tidak melibatkan unsur-unsur yang diharamkan, seperti riba, judi, penipuan, atau transaksi yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah.

Dasar Hukum Syirkah dalam Al-Qur’an

Landasan hukum syirkah dalam Islam bisa ditemukan dalam Al-Qur’an, terutama dalam Surah Shad [38:24], yang berbunyi:

“…Memang banyak di antara orang-orang yang bersekutu itu berbuat zalim kepada yang lain, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan dan hanya sedikitlah mereka yang begitu…” (QS. Shad: 24).

Ayat ini mengisyaratkan bahwa syirkah, meskipun mengandung potensi untuk berbuat zalim (seperti pengkhianatan dalam pembagian hasil atau kesepakatan), pada dasarnya diperbolehkan jika dijalankan dengan niat baik, berdasarkan prinsip keadilan dan kebajikan. Dalam konteks ini, musyrikin (orang yang bersekutu) yang melakukan perbuatan zalim ditegur oleh ayat ini, namun tidak ada larangan langsung terhadap praktik syirkah.

Syirkah dalam Sejarah Nabi Dawud: Pada zaman Nabi Dawud a.s., ada contoh praktik syirkah dalam bentuk perkongsian ternak kambing yang mengalami perselisihan antara dua pihak. Dari kisah ini, dapat dipahami bahwa syirkah yang melibatkan kerjasama antar pihak, jika dilakukan dengan jujur dan adil, diperbolehkan, bahkan dipraktikkan oleh para nabi.

Hadits yang Menyatakan Kebolehan Syirkah

Dalam hadits-hadits Nabi Muhammad SAW, syirkah mendapat pengakuan dan tidak dilarang. Salah satu hadits yang menegaskan kebolehan syirkah adalah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a., yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

“Sesungguhnya Allah berfirman: ‘Aku adalah pihak ketiga dari dua orang yang bersekutu, selama tidak ada salah satu dari keduanya yang berkhianat kepada sahabatnya. Jika ada yang berkhianat, maka Aku keluar dari perkongsian tersebut.’” (HR. Abu Dawud)

Hadits ini menegaskan bahwa Allah SWT akan memberkahi kerjasama atau syirkah antara dua orang selama keduanya tidak melakukan pengkhianatan. Dalam hal ini, khianat menjadi faktor yang membatalkan keberkahan dalam transaksi tersebut.

Syirkah Antara Muslim dan Non-Muslim

Syirkah tidak hanya terbatas pada sesama Muslim, tetapi juga dapat dilakukan antara seorang Muslim dan kafir dzimmi (orang non-Muslim yang hidup di bawah perlindungan negara Islam). Hal ini sesuai dengan prinsip muamalah dalam Islam yang mengajarkan kerjasama antar umat beragama dalam aspek yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Misalnya, hadits tentang penduduk Khaibar yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW mempekerjakan penduduk Khaibar dengan sistem bagi hasil dari hasil pertanian.

“Dari Ibnu Umar, sesungguhnya Rasulullah SAW pernah mempekerjakan penduduk Khaibar dengan upah separuh dari hasil panenan tanah yang digarap berupa buah atau tanaman.” (Muttafaq ‘alaih)

Hadits ini menunjukkan bahwa kerjasama ekonomi dalam bentuk syirkah, meskipun dengan orang yang tidak seagama, diperbolehkan selama usaha tersebut tidak mengandung unsur yang diharamkan dalam Islam.

C. Prinsip-Prinsip Dasar dalam Syirkah

Syirkah dalam Islam tidak hanya mengatur kerjasama secara teknis, tetapi juga mencakup prinsip-prinsip moral dan etis yang tinggi. Beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan dalam syirkah adalah:

a. Keadilan dalam Pembagian Keuntungan dan Kerugian

Salah satu prinsip utama dalam syirkah adalah pembagian keuntungan dan kerugian yang adil. Keuntungan yang diperoleh dari usaha bersama harus dibagi sesuai dengan kontribusi masing-masing pihak. Begitu pula dengan kerugian, yang harus ditanggung sesuai dengan porsi modal yang diberikan, atau berdasarkan kesepakatan yang berlaku. Prinsip ini mengacu pada kaidah fiqh yang menyatakan bahwa “Tidak ada keuntungan tanpa risiko” (لَا رِبْحَ إِلَّا بِمَخَاطَرَةٍ).

b. Transparansi dan Kejujuran

Syirkah menuntut adanya keterbukaan dalam segala hal yang berhubungan dengan usaha bersama. Setiap pihak yang terlibat harus memiliki pemahaman yang jelas tentang hak dan kewajiban masing-masing, termasuk mengenai pembagian keuntungan, kerugian, dan kewajiban administrasi. Dalam al-Qur’an Surat Al-Baqarah (2:282), Allah berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu saling berhutang dengan hutang yang ditentukan waktu pembayarannya, hendaklah kamu menuliskannya…”
(QS. Al-Baqarah: 282)

Ayat ini mengajarkan kita untuk selalu mencatat dan mengklarifikasi setiap transaksi secara jelas agar tidak terjadi sengketa di kemudian hari.

c. Keberlanjutan dan Kerjasama yang Seimbang

Islam mengajarkan bahwa dalam syirkah, setiap pihak harus berusaha menjaga agar usaha bersama berjalan secara berkelanjutan. Setiap pihak dalam syirkah harus menjaga hubungan kerjasama dengan cara yang harmonis, menghindari perselisihan, dan berusaha untuk mendukung kesuksesan bersama. Hal ini sejalan dengan prinsip mudarabah yang mengutamakan kemitraan yang saling mendukung untuk kemajuan bersama.

d. Tidak Ada Penyalahgunaan Kepercayaan

Salah satu hal yang ditekankan dalam syirkah adalah penghindaran terhadap penyalahgunaan kepercayaan atau khiyanah (خِيَانَةٌ). Setiap pihak yang terlibat dalam syirkah harus menjaga amanah dengan baik, termasuk pengelolaan modal dan pembagian keuntungan. Penyalahgunaan amanah dalam syirkah dapat berakibat fatal bagi hubungan bisnis dan bahkan dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum dalam Islam.

e. Tidak Boleh Ada Unsur Riba

Salah satu prinsip terpenting dalam syirkah adalah bahwa tidak boleh ada unsur riba ( رِبًا ) dalam transaksi tersebut. Dalam Islam, riba adalah bentuk pengambilan keuntungan yang tidak adil dan dilarang keras dalam segala bentuk transaksi bisnis. Oleh karena itu, setiap bentuk kerjasama dalam syirkah harus bebas dari unsur riba dan harus dilakukan dengan cara yang halal dan transparan.

D. Rukun dan Syarat Syirkah

1. Rukun Syirkah

Para ulama memiliki pendapat yang berbeda mengenai rukun syirkah. Menurut ulama Hanfiyah, rukun syirkah terdiri dari ijab (ungkapan penawaran untuk melakukan perserikatan) dan qabul (ungkapan penerimaan perserikatan). Sementara itu, sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa akad adalah salah satu bagian penting dalam syirkah, sebagaimana dalam akad jual beli. Adapun rukun syirkah menurut para ulama terdiri dari beberapa unsur berikut:

  • Sighat (Ijab dan Qabul)
    Keabsahan akad syirkah bergantung pada hal yang ditransaksikan serta kalimat akad yang digunakan, yang harus mengandung makna izin untuk membelanjakan barang syirkah oleh pihak-pihak terkait.
  • Al-Aqidain (Subjek Perikatan)
    Para pihak yang terlibat dalam akad syirkah harus memenuhi beberapa syarat, antara lain: mereka harus berakal, baligh, dan merdeka atau tidak dalam paksaan. Selain itu, pihak yang terlibat dalam syirkah juga harus kompeten dalam memberikan wewenang untuk perwakilan, karena dalam syirkah, mitra kerja mewakilkan harta untuk dikelola bersama.
  • Mahallul Aqd (Objek Perserikatan)
    Objek perserikatan mencakup baik modal maupun pekerjaan. Modal yang diberikan oleh masing-masing pihak akan digabungkan menjadi satu harta bersama dalam perseroan, tanpa mempermasalahkan asal-usulnya.

2. Syarat Syirkah

Menurut ulama Hanafiyah, terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam syirkah, baik yang berlaku umum untuk semua jenis syirkah maupun yang spesifik untuk setiap jenis syirkah. Berikut adalah syarat-syarat syirkah:

  • Syarat Umum untuk Semua Bentuk Syirkah
    Terdapat tiga syarat utama yang berlaku untuk semua jenis syirkah:

    1. Benda yang Diakadkan: Harus dapat diterima sebagai objek perwakilan.
    2. Keuntungan: Pembagian keuntungan harus jelas dan diketahui oleh kedua pihak, misalnya setengah, sepertiga, atau pembagian lainnya.
    3. Keuntungan Bersama: Keuntungan harus dianggap sebagai bagian yang dimiliki bersama oleh para pihak yang terlibat dalam syirkah.
  • Syarat Syirkah Amwal (Syirkah Modal)
    Ada dua syarat khusus terkait syirkah amwal:

    1. Modal (harta pokok) harus ada pada saat akad dilakukan, baik jumlahnya sama maupun berbeda. Modal ini tidak boleh berupa utang atau harta yang tidak ada saat akad dilakukan.
    2. Modal yang digunakan dalam akad syirkah harus berupa barang yang memiliki nilai, seperti uang.
  • Syarat Syirkah Mufawadhah (Syirkah Kerja Sama)
    Dalam syirkah mufawadhah, terdapat beberapa syarat penting:

    1. Modal (harta pokok) harus sama di antara para pihak yang terlibat.
    2. Pihak yang terlibat harus memiliki kapasitas untuk memberikan jaminan (kafalah).
    3. Objek akad syirkah mencakup semua jenis transaksi jual beli atau perdagangan.
    4. Pembagian keuntungan harus dilakukan dengan cara yang sama untuk semua pihak.
    5. Kata yang digunakan dalam akad harus mencerminkan konsep mufawadhah.

Jika salah satu syarat syirkah tidak dipenuhi, maka akad tersebut akan berubah menjadi syirkah inan, di mana syarat-syarat tertentu tidak diperlukan.

  • Syarat Syirkah Abdan (Syirkah Kerja)
    Syarat-syarat untuk syirkah abdan umumnya mengikuti ketentuan yang sama dengan syirkah mufawadhah jika bentuk syirkahnya adalah mufawadhah. Namun, jika berbentuk syirkah inan, tidak diperlukan syarat-syarat mufawadhah, kecuali kecakapan dan wakalah.
  • Syarat Syirkah Wujuh
    Dalam syirkah wujuh, apabila bentuknya adalah mufawadhah, maka syarat-syarat yang berlaku adalah syarat-syarat syirkah mufawadhah. Namun, jika bentuk syirkah wujuh adalah inan, maka tidak diperlukan syarat-syarat mufawadhah.

Pendapat Mazhab Lain

  • Mazhab Malikiyah
    Menurut ulama Malikiyah, syarat-syarat yang berlaku untuk orang yang terlibat dalam akad syirkah adalah merdeka, baligh, dan cakap. Sementara itu, modal syirkah tidak harus berupa uang tunai. Syirkah juga dapat dilakukan dengan uang dirham atau dinar, atau bahkan dengan barang dagangan, baik yang sejenis maupun yang berbeda. Barang dagangan ini diukur sesuai dengan harga pasarannya.
  • Mazhab Syafi’iyah
    Mazhab Syafi’iyah berpendapat bahwa hanya syirkah inan yang sah, sedangkan syirkah lainnya dianggap batal.

E. Macam-Macam Syirkah

Syirkah, dalam hukum Islam, dibagi menjadi dua jenis utama: syirkah amlak (kongsi hak milik) dan syirkah uqud (kongsi transaksi). Dalam hukum positif, syirkah amlak dianggap sebagai syirkah paksa (ijbariyah), sementara syirkah uqud adalah syirkah sukarela (ikhtiyariyah).

1. Syirkah Amlak (Kongsi Hak Milik)

Syirkah amlak adalah persekutuan antara dua orang atau lebih yang memiliki hak atas suatu harta bersama, tanpa adanya akad syirkah khusus. Syirkah jenis ini dibagi menjadi dua jenis:

  • Syirkah Ikhtiyar (Sukarela): Terjadi ketika kedua belah pihak secara sukarela setuju untuk memiliki suatu barang bersama, misalnya membeli barang atau menerima hibah atau wasiat bersama.
  • Syirkah Jabar (Paksa): Terjadi ketika dua orang atau lebih secara otomatis menjadi pemilik bersama atas suatu harta, misalnya karena mereka mewarisi suatu barang.

2. Syirkah Uqud (Kongsi Transaksi)

Syirkah uqud adalah persekutuan yang melibatkan dua orang atau lebih untuk berbagi harta dan keuntungan. Dalam jenis syirkah ini, keuntungan dibagi secara proporsional sesuai dengan kontribusi masing-masing pihak, begitu juga dengan kerugian yang ditanggung berdasarkan modal yang diinvestasikan.

Berikut ini adalah macam-macam syirkah uqud:

  • Syirkah Inan: Persekutuan antara dua orang atau lebih di mana masing-masing pihak memberikan sebagian dana dan terlibat dalam pekerjaan. Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan, dan tidak ada persyaratan persamaan dalam harta, tindakan, atau keuntungan. Salah satu pihak dapat bertanggung jawab sepenuhnya tanpa rekannya. Jika ada kerugian, maka kerugian ditanggung bersama sesuai kesepakatan.
  • Syirkah Mufawadhah: Merupakan persekutuan antara dua orang atau lebih yang memiliki kesetaraan dalam hal modal, pengelolaan harta, dan tanggung jawab agama. Kedua belah pihak terikat dengan transaksi yang dilakukan oleh masing-masing pihak.
  • Syirkah Wujuh: Persekutuan antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan keahlian dalam bidang tertentu. Mereka membeli barang secara kredit dan menjualnya kembali dengan tunai, berbagi keuntungan dan kerugian. Dalam hal ini, persekutuan tidak melibatkan pekerjaan atau modal, hanya reputasi dan keahlian.
  • Syirkah Abdan: Persekutuan antara dua orang yang masing-masing memberikan kontribusi tenaga atau keahlian, tanpa menyertakan modal. Pekerjaan mereka bisa sama atau berbeda. Jenis syirkah ini juga dikenal dengan nama syirkah a’mal (pekerjaan) atau syirkah taqabbul (penerimaan).
  • Syirkah Mudharabah (Qiradh): Terjadi antara dua belah pihak, di mana satu pihak (shahibul mal) memberikan seluruh modal, dan pihak lainnya (mudharib) mengelola modal tersebut. Keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sementara kerugian ditanggung oleh pemodal, kecuali jika kerugian disebabkan oleh kelalaian pengelola.

3. Pendapat Ulama Mengenai Syirkah Uqud

Para ulama memiliki pandangan berbeda mengenai jumlah jenis syirkah uqud:

  • Ulama Hanabilah berpendapat bahwa syirkah uqud terbagi menjadi lima jenis: syirkah inan, syirkah mufawadhah, syirkah abdan, syirkah wujuh, dan syirkah mudharabah.
  • Ulama Hanafiyah menyebutkan enam jenis syirkah uqud, yaitu: syirkah amwal, syirkah mufawadhah, syirkah inan, syirkah a’mal, syirkah mufawadhah, dan syirkah wujuh.
  • Ulama Malikiyah dan Syafi’iyah hanya mengakui empat jenis syirkah uqud: syirkah inan, syirkah mufawadhah, syirkah abdan, dan syirkah wujuh.

F. Berakhirnya Akad Syirkah

Syirkah dapat berakhir karena beberapa sebab yang disepakati oleh pihak-pihak yang terlibat dalam akad tersebut. Berikut adalah beberapa kondisi yang menyebabkan berakhirnya syirkah:

  1. Pembatalan oleh Salah Satu Pihak
    Syirkah dapat berakhir jika salah satu pihak memutuskan untuk membatalkannya, meskipun pihak lainnya tidak setuju. Ini karena syirkah merupakan akad yang bersifat tidak mengikat, menurut pandangan mayoritas ulama. Syirkah terjadi atas dasar kesepakatan sukarela antara kedua belah pihak, dan jika salah satu pihak tidak ingin melanjutkannya, akad ini tidak wajib dilaksanakan.
  2. Kematian Salah Satu Pihak
    Jika salah satu pihak meninggal dunia, syirkah hanya berakhir bagi pihak yang meninggal tersebut. Jika jumlah anggota syirkah lebih dari dua, maka syirkah akan tetap berlanjut dengan anggota yang masih hidup. Namun, jika ahli waris dari pihak yang meninggal ingin bergabung dalam syirkah tersebut, maka akan dilakukan perjanjian baru untuk pihak ahli waris tersebut.
  3. Murtad atau Masuk ke Negeri Musuh
    Jika salah satu pihak murtad (keluar dari agama Islam) atau pergi ke negeri musuh, maka kedudukannya dalam syirkah dianggap batal, sama seperti jika pihak tersebut meninggal dunia.
  4. Gila atau Hilang Kecakapan untuk Mengelola Harta
    Jika salah satu pihak menjadi gila atau kehilangan kecakapan dalam mengelola harta, maka syirkah akan berakhir bagi pihak tersebut karena mereka tidak lagi dapat mengelola atau bertanggung jawab atas harta syirkah.
  5. Rusaknya Modal Syirkah
    Syirkah dapat berakhir jika modal yang disertakan rusak atau hilang sebelum dibelanjakan atau digunakan. Dalam hal ini, syirkah tidak dapat dilanjutkan karena modal yang menjadi dasar akad tersebut sudah tidak ada.
  6. Ketidaksesuaian Modal pada Awal Akad
    Salah satu syarat sahnya akad syirkah adalah adanya persamaan antara modal yang disetorkan oleh masing-masing pihak. Jika pada awal akad, modal yang diserahkan tidak setara atau tidak sesuai, maka syirkah tidak sah dan dianggap batal.

Daftar Pustaka

  1. Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqih Islam 5. Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani, dkk. Jakarta: Gema Insani, 2011.
  2. Asro, Muhamad, dan Kholid, Muhamad. Fiqh Perbankan. Bandung: CV. Pustaka Setia, 2011.
  3. Trimulato. “Analisis Potensi Produk Musyarakah Terhadap Pembiayaan Sektor Riil UMKM.” Jurnal Ekonomi & Studi Pembangunan, 1 (April 2017): 47.
  4. Nawawi, Ismail. Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer. Bogor: Ghalia Indonesia, 2012.
  5. Marlina, Ropi, dan Pratami, Yola Yunisa. “Koperasi Syariah Sebagai Solusi Penerapan Akad Syirkah Yang Sah.” Amwaluna, 2 (Juli 2017): 266.
  6. Departemen Agama. Mushaf al-Azhar.
  7. Musthofa, Adi Bisri. Tarjamah Shahih Muslim Jilid 3. Semarang: CV. Asy Syifa’, 1993.
  8. Saripudin, Udin. “Syirkah Dan Aplikasinya Dalam Lembaga Keuangan Syariah.” Jurnal Ekonomi Dan Bisnis, 1 (April 2016): 64-67.
  9. Muslich, Ahmad Wardi. Fiqh Muamalat. Jakarta: Amzah, 2017.
  10. Setiawan, Deny. “Kerja Sama (Syirkah) Dalam Ekonomi Islam.” Jurnal Ekonomi, 3 (September 2013): 4-7.
  11. Dewan Syariah Nasional. Fatwa No: 08/DSN-MUI/IV/2000 Tentang Pembiayaan Musyarakah.
  12. Sabiq, Sayyid. Fiqhus Sunnah. Jakarta: Pena Pundi Aksara, 2008.

Lainnya